Indonesia merupakan negara yang sangat rawan gempa dan tsunami, dan hal ini disebabkan oleh posisi geografisnya yang berada di "Cincin Api Pasifik" (Ring of Fire). Wilayah ini adalah zona seismik yang aktif, di mana tiga lempeng tektonik utama bertemu: Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Pertemuan lempeng-lempeng ini menyebabkan aktivitas geologis yang intens, termasuk gempa bumi yang sering terjadi.
BMKG melaporkan sebanyak 13.798 aktivitas gempa pada 2019 dengan magnitudo hingga 8, sementara pada 2020 dilaporkan 10.163 aktivitas dengan magnitudo serupa. Pada tahun 2021, Indonesia mengalami 10.570 kali gempa bumi yang tercatat oleh BMKG. Untuk tahun 2022, BMKG mencatat bahwa Indonesia mengalami 9.492 kali gempa bumi sepanjang tahun.
Sepanjang tahun 2023, BMKG mencatat sebanyak 10.789 aktivitas gempa yang terjadi di wilayah Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa frekuensi gempa bumi di Indonesia masih tinggi di 5 tahun terakhir, melebihi rata-rata tahunan yang biasanya sekitar 7.000 kali.
Di tengah risiko tinggi bencana alam, keberadaan dan pemahaman akan alat seismograf sangatlah penting untuk keselamatan masyarakat. Seismograf berfungsi sebagai alat deteksi yang memberikan informasi cepat mengenai lokasi dan kekuatan gempa. Dengan kemajuan teknologi, seismograf modern kini mampu mendeteksi gempa kecil hingga besar dengan lebih cepat dan akurat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memasang ratusan seismograf di seluruh Indonesia, terutama di wilayah pesisir yang rawan tsunami, untuk mempercepat sistem peringatan dini. Hingga tahun 2023, BMKG telah memasang seismograf di 438 lokasi di seluruh Indonesia.
Apa itu seismograf?
Seismograf adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mencatat getaran yang dihasilkan oleh gempa bumi, terdiri dari beberapa komponen utama. Di dalamnya terdapat seismometer, yang berfungsi sebagai sensor untuk mendeteksi gerakan tanah dengan mengubah energi gerak menjadi energi listrik. Sinyal listrik ini kemudian diperkuat oleh amplifier sebelum dicatat oleh rekorder, yang dapat berupa media kertas atau digital.
Jam berfungsi untuk memberikan tanda waktu pada setiap catatan, sedangkan power supply menyediakan daya untuk seluruh rangkaian alat.
Cara kerja seismograf dimulai ketika gelombang seismik yang dihasilkan oleh gempa bumi merambat melalui tanah; seismometer mendeteksi gelombang ini dan merekamnya dalam bentuk seismogram, yang menunjukkan pola gelombang dan kekuatan gempa. Data yang direkam kemudian dianalisis untuk menentukan lokasi episenter, kedalaman, dan magnitude gempa, sehingga seismograf memainkan peran vital dalam pemantauan aktivitas seismik dan mitigasi bencana.
Seismograf tidak hanya berfungsi sebagai alat pendeteksi gempa, tetapi juga bagian dari sistem peringatan dini yang membantu masyarakat bersiap menghadapi bencana. Setelah mendeteksi getaran tanah dalam hitungan detik, data dari seismograf dikirim ke pusat pemantauan untuk dianalisis, memungkinkan BMKG memberikan peringatan mengenai kekuatan, lokasi, dan potensi tsunami. Ratusan seismograf yang tersebar di Indonesia mempercepat proses ini, terutama di wilayah rawan gempa.
Teknologi terkini memungkinkan analisis data secara real-time, menghasilkan informasi akurat yang dapat digunakan pemerintah dan masyarakat untuk menyusun rencana evakuasi dan mitigasi risiko. Selain berfungsi dalam sistem peringatan, seismograf juga berperan dalam edukasi, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tanggap darurat dan kesiapsiagaan bencana.
Teknologi seismograf telah mengalami perubahan besar dari alat analog sederhana menjadi sensor digital yang canggih. Seismograf analog menggunakan mekanisme massa berat dan pena yang mencatat getaran pada kertas.
Namun, alat ini memiliki keterbatasan dalam hal akurasi dan kecepatan. Di era modern, seismograf digital dilengkapi sensor elektronik yang mampu mendeteksi getaran dengan lebih akurat, mengubah sinyal menjadi data digital melalui konverter, dan memungkinkan analisis data secara real-time. Ini berarti getaran dari gempa, baik kecil maupun besar, dapat direkam secara lengkap, sehingga data yang terkumpul lebih komprehensif.
Teknologi seismograf digital ini memungkinkan peringatan dini yang lebih cepat, membantu pihak berwenang dan masyarakat mempersiapkan langkah-langkah tanggap bencana dengan lebih baik dan mengurangi risiko kehilangan nyawa dan kerusakan infrastruktur. Kinerja Stasiun Seismik BMKG dalam Mendukung Peringatan Dini, menurut Puspito et al. (2023), stasiun BMKG di Indonesia telah menunjukkan kemampuan yang andal dalam mendeteksi gempa bumi dangkal dan sedang di seluruh wilayah.
Dengan kesenjangan azimuthal di bawah batas kritis 210°, lokasi gempa dapat ditentukan secara akurat. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa lebih dari 80% peristiwa gempa berhasil terdeteksi dalam waktu 0,5 menit di semua wilayah Indonesia. Temuan ini menggarisbawahi peran penting teknologi stasiun seismik dalam mempercepat respon peringatan dini di negara dengan tingkat aktivitas seismik yang tinggi.
Apa Hubungan Seismograf dengan InaTEWS?
Seismograf memainkan peran vital dalam sistem peringatan dini tsunami, khususnya melalui InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Ketika terjadi gempa bawah laut, seismograf mendeteksinya dengan cepat dan mengirim data ke pusat pemantauan untuk dianalisis. Setelah gempa terdeteksi, sistem InaTEWS menggunakan teknologi Decision Support System (DSS) untuk mengevaluasi potensi tsunami.
Jika gempa memiliki potensi untuk menghasilkan tsunami, peringatan dini dapat dikeluarkan dalam waktu sekitar lima menit, memberikan kesempatan bagi masyarakat di wilayah pesisir untuk mengevakuasi diri. Pengalaman tsunami Aceh 2004 menjadi pengingat betapa pentingnya sistem peringatan yang cepat dan efektif untuk meminimalkan dampak bencana. Dengan seismograf modern yang terintegrasi dalam InaTEWS, Indonesia bisa meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman tsunami dan melindungi lebih banyak nyawa serta properti.
Sejak inagurasi sistem pada tahun 2008, Indonesia melalui sistem peringatan dini tsunami InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) telah mengalami perkembangan signifikan. Pada tahap awal (2008–2018), sistem ini menggunakan teknologi seperti SeisComP otomatis, Decision Support System (DSS), dan TOAST, yang memungkinkan pengiriman peringatan dalam waktu lima menit dengan dukungan 176 sensor.
Pada periode 2019–2023, InaTEWS diperkuat dengan peningkatan jumlah sensor dari 370 menjadi 521 unit, serta pengurangan waktu respons menjadi 3–5 menit.
Dalam upaya meningkatkan kapasitas untuk masa depan (2023 dan seterusnya), InaTEWS meluncurkan inisiatif "SisPro Merah Putih" yang menekankan otomatisasi proses pengolahan dan penyebaran informasi gempa, sehingga peringatan dini dapat disampaikan dalam waktu 1–3 menit dengan target penambahan sensor hingga 600 unit.
“SisPro Merah Putih” masih dalam tahap pengembangan, saat ini BMKG masih menggunakan Seiscomp yang dikembangkan di Jerman. BMKG saat ini menggunakan metode skenario untuk meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini tsunami. Ketika gempa besar terjadi, data gempa tersebut akan dicocokkan dengan salah satu skenario yang sudah disusun untuk menentukan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.
Pada tahun 2021, BMKG telah menyusun lebih dari 18.000 skenario. Jumlah ini meningkat menjadi 20.000 skenario pada 2022 dan bertambah lagi menjadi 22.000 skenario pada 2023. Penambahan skenario ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi peringatan dini, meminimalkan kesalahan dalam prediksi, dan memberikan waktu evakuasi yang lebih panjang kepada masyarakat di daerah berisiko tsunami.
Hal ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam memperkuat mitigasi bencana dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman gempa dan tsunami.
Hal Apa Saja yang Dapat Kita Lakukan Sebagai Masyarakat?
Memahami peran seismograf dan sistem peringatan dini dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi situasi darurat. Masyarakat bisa mulai dengan mengunduh aplikasi Info BMKG di ponsel untuk mendapatkan notifikasi langsung tentang gempa dan potensi tsunami di sekitar mereka. Mengikuti latihan evakuasi juga sangat penting, karena latihan ini membantu masyarakat memahami jalur evakuasi dan titik kumpul yang aman.
Selain itu, dengan memahami prosedur evakuasi khusus di daerah mereka, masyarakat dapat lebih siap dan mengurangi risiko kepanikan saat bencana terjadi.
Bergabung atau membentuk kelompok siaga bencana di lingkungan sekitar juga akan memperkuat solidaritas, berbagi informasi penting, dan melakukan simulasi evakuasi bersama. Langkah-langkah ini tidak hanya memperkuat kesiapan, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama dalam mitigasi risiko bencana alam di komunitas mereka.
Refrensi:
https://www.bmkg.go.id/berita/?lang=ID&p=36913&tag=press-releas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H