Namun, alat ini memiliki keterbatasan dalam hal akurasi dan kecepatan. Di era modern, seismograf digital dilengkapi sensor elektronik yang mampu mendeteksi getaran dengan lebih akurat, mengubah sinyal menjadi data digital melalui konverter, dan memungkinkan analisis data secara real-time. Ini berarti getaran dari gempa, baik kecil maupun besar, dapat direkam secara lengkap, sehingga data yang terkumpul lebih komprehensif.
Teknologi seismograf digital ini memungkinkan peringatan dini yang lebih cepat, membantu pihak berwenang dan masyarakat mempersiapkan langkah-langkah tanggap bencana dengan lebih baik dan mengurangi risiko kehilangan nyawa dan kerusakan infrastruktur. Kinerja Stasiun Seismik BMKG dalam Mendukung Peringatan Dini, menurut Puspito et al. (2023), stasiun BMKG di Indonesia telah menunjukkan kemampuan yang andal dalam mendeteksi gempa bumi dangkal dan sedang di seluruh wilayah.
Dengan kesenjangan azimuthal di bawah batas kritis 210°, lokasi gempa dapat ditentukan secara akurat. Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa lebih dari 80% peristiwa gempa berhasil terdeteksi dalam waktu 0,5 menit di semua wilayah Indonesia. Temuan ini menggarisbawahi peran penting teknologi stasiun seismik dalam mempercepat respon peringatan dini di negara dengan tingkat aktivitas seismik yang tinggi.
Apa Hubungan Seismograf dengan InaTEWS?
Seismograf memainkan peran vital dalam sistem peringatan dini tsunami, khususnya melalui InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Ketika terjadi gempa bawah laut, seismograf mendeteksinya dengan cepat dan mengirim data ke pusat pemantauan untuk dianalisis. Setelah gempa terdeteksi, sistem InaTEWS menggunakan teknologi Decision Support System (DSS) untuk mengevaluasi potensi tsunami.
Jika gempa memiliki potensi untuk menghasilkan tsunami, peringatan dini dapat dikeluarkan dalam waktu sekitar lima menit, memberikan kesempatan bagi masyarakat di wilayah pesisir untuk mengevakuasi diri. Pengalaman tsunami Aceh 2004 menjadi pengingat betapa pentingnya sistem peringatan yang cepat dan efektif untuk meminimalkan dampak bencana. Dengan seismograf modern yang terintegrasi dalam InaTEWS, Indonesia bisa meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman tsunami dan melindungi lebih banyak nyawa serta properti.
Sejak inagurasi sistem pada tahun 2008, Indonesia melalui sistem peringatan dini tsunami InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) telah mengalami perkembangan signifikan. Pada tahap awal (2008–2018), sistem ini menggunakan teknologi seperti SeisComP otomatis, Decision Support System (DSS), dan TOAST, yang memungkinkan pengiriman peringatan dalam waktu lima menit dengan dukungan 176 sensor.
Pada periode 2019–2023, InaTEWS diperkuat dengan peningkatan jumlah sensor dari 370 menjadi 521 unit, serta pengurangan waktu respons menjadi 3–5 menit.
Dalam upaya meningkatkan kapasitas untuk masa depan (2023 dan seterusnya), InaTEWS meluncurkan inisiatif "SisPro Merah Putih" yang menekankan otomatisasi proses pengolahan dan penyebaran informasi gempa, sehingga peringatan dini dapat disampaikan dalam waktu 1–3 menit dengan target penambahan sensor hingga 600 unit.
“SisPro Merah Putih” masih dalam tahap pengembangan, saat ini BMKG masih menggunakan Seiscomp yang dikembangkan di Jerman. BMKG saat ini menggunakan metode skenario untuk meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini tsunami. Ketika gempa besar terjadi, data gempa tersebut akan dicocokkan dengan salah satu skenario yang sudah disusun untuk menentukan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.
Pada tahun 2021, BMKG telah menyusun lebih dari 18.000 skenario. Jumlah ini meningkat menjadi 20.000 skenario pada 2022 dan bertambah lagi menjadi 22.000 skenario pada 2023. Penambahan skenario ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi peringatan dini, meminimalkan kesalahan dalam prediksi, dan memberikan waktu evakuasi yang lebih panjang kepada masyarakat di daerah berisiko tsunami.
Hal ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam memperkuat mitigasi bencana dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman gempa dan tsunami.