Mohon tunggu...
22_Pina Rahmadani
22_Pina Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca, bermain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kasus Pencurian, Seorang Kakek Mencuri Sisa Getah Karet dan Bagaimana Cara Pandang Filsafat Hukum Positivisme

24 September 2024   22:29 Diperbarui: 24 September 2024   22:35 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nama : Pina Rahmadani

Nim : 222111158

Kelas : HES/5D

Artikel ini untuk memenuhi tugas sosiologi hukum Dosen Pengampu Muhammad Julijanto, S.Ag,. M.Ag

Kasus Pencurian, seorang Kakek mencuri sisa Getah Karet dan Bagaimana cara pandang Filsafat Hukum Positivisme

Kasus:

Pada tanggal 17 Juli 2019 sekitar pukul 17.00 WIB, kakek Samirin disaat melakukan perjalanan pulang dari menggembalakan kambingnya, tiba-tiba memiliki niat untuk mengambil getah karet milik PT. Bridgestone SR. Kemudian dia mengambil kresek dari tong sampah karyawan dan memasukkan getah karet kedalamnya seraya menggiring kambingnya pulang. Saat kakek sedang memungut getah karet, tak diduga satpam perkebunan memergoki kakek Samirin dan kakek Samirin harus dibawa ke pengadilan.

Analisis kasus dengan cara pandang filsafat hukum positivisme

Kasus kakek Samirin yang mencuri sisa getah karet ini menimbulkan konflik sosial antara pihak pelaku dengan korban yakni PT Brigeston. Menurut Ade Saptono, konflik tersebut terjadi akibat persediaan sumberdaya yang semakin terbatas. Cara mendapatkan sumberdaya masih menampilkan kepentingan perorangan atau kelompok tertentu. 

Pihak kepolisian, pengadilan, kejaksaan maupun perusahaan dalam kasus kakek Samirin, mereka tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan ini dengan norma, nilai, dan hukum kebiasaan masyarakat dengan cara bermusyawarah mufakat secara kekeluargaan, melainkan kasus kakek Samirin langsung dimasukkan ke pengadilan bahkan kakek Samirin harus menerima hukuman dipenjara selama 2 bulan 4 hari setelah dikeluarkannya putusan Nomor 590/Pid.B/2019/PN Sim. Putusan ini menyatakan bahwa kakek Samirin sudah melakukan tindak pidana karena mengambil getah karet seberat 1,9 kg milik PT. Bridgestone SRE tanpa izin.

Kasus pencurian getah karet oleh kakek Samirin dikatakan sudah memenuhi kriteria tindak pidana pencurian menurut Pasal 362 KUHP yang berbunyi:"barangsiapa yang mengambil suatu benda baik seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling, banyak sembilan ratus rupiah".

Pada kasus ini, pak Samirin dijerat dengan pasal 107 huruf d tentang Perkebunan dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan di denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah). Unsur subjek hukum yaitu orang yang melanggar hukum telah dipenuhi oleh kakek Samirin. Unsurnya yaitu mengambil barang milik orang lain dengan sengaja dan tanpa ijin mengambil 1,9 kg getah karet milik PT. Bridgestone SRE. Kakek Samirin juga telah terbukti bahwa bukanlah pihak yang berhak mengambil getah karet milik PT Brigestone SRE karena bukan karyawan ataupun pihak yang diberikan wewenang untuk itu.

Apabila dilihat dari segi jumlah atau besarnya barang yang diambil oleh kakek Samirin yaitu seberat 1,9 Kg getah karet dengan harga senilai Rp. 17.480,- kala itu. Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah ini jauh lebih kecil dari batas jumlah menurut pasal 364 KUHP dan Peraturan Mahkamah Agung no 2 Tahun 2012 yaitu sebesar dua juta lima ratus rupiah. Maka kasus pencurian getah karet yang dilakukan oleh kakek Sarimin bukan merupakan kasus pencurian biasa melainkan termasuk kategori tindak pidana pencurian ringan.

Apabila kasus ini dianalisis berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2012, seharusnya kakek Samirin tidak dapat dilakukannya penahanan namun harus dilakukannya acara pemeriksaan cepat oleh Hakim Tunggal. Seperti yang tertuang pada PERMA No. 2 Tahun 2012 pasal 2 ayat (2) tentang apabila nilai barang kurang dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan acara Pemeriksaan Cepat. Kemudian pasal 2 ayat (3) tentang apabila terdakwa sebelumnya dilakukan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan maupun perpanjang penahanan. Atas perkara ini, hakim tidak menggunakan dasar dari KUHP melainkan menggunakan Undang-Undang Perkebunan. Melihat hal ini dapat dikatakan bahwa aparat penegak hukum lebih memperkarakan kakek Samirin ke dalam ranah hukum positif dibandingkan diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Kasus ini sebaiknya diselesaikan ditingkat masyarakat itu sendiri, apalagi melihat bahwa kakek Samirin ini sudah lanjut usia yang buta terhadap hukum. 

Dilihat dari perspektif positivisme hukum, para penegak hukum harus menciptakan keselarasan antara hukum dan moralitas dengan cara mencari jalan tengah hukum dalam tataran aksiologis dengan menerapkan keadilan yang memihak bagi masyarakat golongan bawah. Keadilan restoratif (keadilan terhadap korban) harus diwujudkan secara rill dari keadilan hukum Sosiologis yang melibatkan berbagai pihak pada pemulihan kondisi sosial kemasyarakatan dan mencapai nilai-nilai keadaan dan manfaat secara simultan dan diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yaitu tujuan dalam proses pencarian dan tujuan dalam konteks penerapannya.

Mahzab Hukum Positivisme

Pendapat saya tentang mahzab hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia

1. Adanya kekakuan dalam Hukum

Hukum Positivisme di Indonesia sering dianggap kaku dan juga tidak fleksibel. Karena hukum di Indonesia menerapkan hukum sebagai "tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Dimana hukum lebih banyak menindas kelompok masyarakat yang kurang lemah dan kurang mampu sementara apabila pihak penguasa melakukan pelanggaran sering kali tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.

2. Adanya kesenjangan antara hukum dan moralitas 

Positivisme hukum yang memisahkan hukum dari moralitas dapat menyebabkan ketidakadilan. Di Indonesia sering kali terdapat situasi dimana hukum tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi harapan masyarakat.

3. Haruslah terdapat pendekatan yang lebih manusiawi 

Dengan mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi individu. Hal ini dapat menciptakan keadilan dan mengurangi ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun