Pada kasus ini, pak Samirin dijerat dengan pasal 107 huruf d tentang Perkebunan dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan di denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah). Unsur subjek hukum yaitu orang yang melanggar hukum telah dipenuhi oleh kakek Samirin. Unsurnya yaitu mengambil barang milik orang lain dengan sengaja dan tanpa ijin mengambil 1,9 kg getah karet milik PT. Bridgestone SRE. Kakek Samirin juga telah terbukti bahwa bukanlah pihak yang berhak mengambil getah karet milik PT Brigestone SRE karena bukan karyawan ataupun pihak yang diberikan wewenang untuk itu.
Apabila dilihat dari segi jumlah atau besarnya barang yang diambil oleh kakek Samirin yaitu seberat 1,9 Kg getah karet dengan harga senilai Rp. 17.480,- kala itu. Dari hal tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah ini jauh lebih kecil dari batas jumlah menurut pasal 364 KUHP dan Peraturan Mahkamah Agung no 2 Tahun 2012 yaitu sebesar dua juta lima ratus rupiah. Maka kasus pencurian getah karet yang dilakukan oleh kakek Sarimin bukan merupakan kasus pencurian biasa melainkan termasuk kategori tindak pidana pencurian ringan.
Apabila kasus ini dianalisis berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2012, seharusnya kakek Samirin tidak dapat dilakukannya penahanan namun harus dilakukannya acara pemeriksaan cepat oleh Hakim Tunggal. Seperti yang tertuang pada PERMA No. 2 Tahun 2012 pasal 2 ayat (2) tentang apabila nilai barang kurang dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara dengan acara Pemeriksaan Cepat. Kemudian pasal 2 ayat (3) tentang apabila terdakwa sebelumnya dilakukan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan maupun perpanjang penahanan. Atas perkara ini, hakim tidak menggunakan dasar dari KUHP melainkan menggunakan Undang-Undang Perkebunan. Melihat hal ini dapat dikatakan bahwa aparat penegak hukum lebih memperkarakan kakek Samirin ke dalam ranah hukum positif dibandingkan diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Kasus ini sebaiknya diselesaikan ditingkat masyarakat itu sendiri, apalagi melihat bahwa kakek Samirin ini sudah lanjut usia yang buta terhadap hukum.Â
Dilihat dari perspektif positivisme hukum, para penegak hukum harus menciptakan keselarasan antara hukum dan moralitas dengan cara mencari jalan tengah hukum dalam tataran aksiologis dengan menerapkan keadilan yang memihak bagi masyarakat golongan bawah. Keadilan restoratif (keadilan terhadap korban) harus diwujudkan secara rill dari keadilan hukum Sosiologis yang melibatkan berbagai pihak pada pemulihan kondisi sosial kemasyarakatan dan mencapai nilai-nilai keadaan dan manfaat secara simultan dan diikuti dengan kepastian hukum, dua nilai yaitu tujuan dalam proses pencarian dan tujuan dalam konteks penerapannya.
Mahzab Hukum Positivisme
Pendapat saya tentang mahzab hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia
1. Adanya kekakuan dalam Hukum
Hukum Positivisme di Indonesia sering dianggap kaku dan juga tidak fleksibel. Karena hukum di Indonesia menerapkan hukum sebagai "tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Dimana hukum lebih banyak menindas kelompok masyarakat yang kurang lemah dan kurang mampu sementara apabila pihak penguasa melakukan pelanggaran sering kali tidak mendapatkan sanksi yang setimpal.
2. Adanya kesenjangan antara hukum dan moralitasÂ
Positivisme hukum yang memisahkan hukum dari moralitas dapat menyebabkan ketidakadilan. Di Indonesia sering kali terdapat situasi dimana hukum tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang menjadi harapan masyarakat.
3. Haruslah terdapat pendekatan yang lebih manusiawiÂ