Apakah anda orang geram ataukah tersenyum setelah menonton film Joker yang diperankan Arthur (Joaquin Phoenix)?
Ataukah kita tersenyum lantaran borok-borok kehipokritan diri dalam melihat kenyataan terbongkar dari dalam, seolah ingin memaksan kita untuk jujur, jujur melihat kenyataan bahwa banyak hal yang membuat keadaan tidak baik-baik saja?
Joker seperti memvisualisasikan suatu kenyataan sehari-hari, bahwa dalam kehidupan kita yang asyik, ada rupa-rupa manusia mengalami kehidupan yang jauh dari nalar dan pengalaman hidup kita sehari-hari. Tentang kehidupan orang-orang yang terbuang, diacuhkan, ditindas, dan didiskriminasi terus menerus dari berbagai penjuru.
Apakah ini ilusi? Tidak. Di bawah cahaya terang malam, ada banyak kehidupan berlangsung seperti itu.
Orang-orang yang hidup dalam tapal batas antara kehidupan dan kematian, harapan dan keputusasaan, dalam gelombang perjuangan hidup untuk tegar yang tak pernah dimenangkan. Mereka adalah sang liyan yang mengalami ketertindasan eksistensial dari struktur yang terus menerus meminggirkan mereka.
Bukanlah Joker yang harus dikutuk, tapi kitalah. Segerombolan masyarakat yang menciptakan Joker-Joker bagi kehidupan. Kita yang mewakili ketidakpedulian, melengkapi kebrengsekan elit politik kita.
Pengucilan, ketidakadilan, dan kepongahan yang diparadekan di ruang-ruang publik yang serakah, sembari membebankan ampas-ampas kepongahan itu ke komponen kelas sosial terlantar.
Benar kata Joker, ketika para elit membincangkan kematian satu dua orang, orang-orang seperti gempar. Amarah dan murka menyatu seolah ingin memperlihatkan kepedulian.
Tapi rasanya, itu tidak berlaku ketika orang-orang kecil yang terlantar mengalami kematian serupa. Diskriminasi-diskriminasi berlangsung sekian lamanya di alam masyarakat modern yang konon katanya sudah melek tentang HAM.
Ada berapa banyak kematian yang terjadi di kehidupan kita. Dari kematian yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan kekuasaan secara kasat mata hingga penindasan secara halus yang menggerogoti hidup manusia secara perlahan-lahan?
Kepada para elit yang menggunakan kekuasaan untuk mengamputasi ruang hidup rakyat kecil, sejatinya merekalah joker-joker kebrutalan sesungguhnya. Hanya karena lapisan moralitas feodal yang dijadikan tameng, kita memujinya dan seolah menempatkan ia dalam strata kelas yang prestisius.
Ini memang paradoks. Paradoksal ini terbentuk, sebab ruang kebenaran dan moralitas sejak dari dulu telah dikooptasi oleh elit-elit feodal berkuasa, dalam mendefinisikan definsi-definis moral kepada msyarakat.
Kita yang geram melihat film Joker misalnya, adalah bukti bahwa pendefinisan moralitas kita murni terkooptasi oleh pendefinisan moralitas borjuis, elitis, yang selalu memandang 'kekacauan' sebagai amoral.
Namun ada yang kita lupakan. Di alam percampuran antara feodalisme dan kapitalisme sekarang ini, irisan-irisan rasa sakit dari pengebiran hak-hak hidup terjadi melahirkan gumpalan-gumpalan kekecewaan dan keputusasaan yang massal sebagai konsekuensi. Beginilah kenyataannya.
Pada titik tertentu ia akan meluber begitu saja, menemukan bentuknya yang bermacam-macam. Orang yang mengaku normal menyebutnya sejenis kegilaan. Tapi salah. Toh, kemudian batas antara kegilaan dan kewarasan tak ada.
Satu-satunya yang membedakan seperti kata Foucault hanyalah jumlah. Yang merasa waras lebih banyak daripada yang gila. Itu saja.
Pada dasarnya, semua manusia itu gila. Orang-orang yang belajar psikologi secara dalam memahami hal itu. Kegilaan yang lahir dari fatalisme hidup yang tak pernah berjalan dalam pijakan-pijakan rasionalitas.
Rupa-rupa manusia belajar 'berdamai' dengan itu. Ada yang menjinakkan diri lewat kepercayaan ataupun agama.
Tapi ia berbeda dengan Joker. Kepedihan psikis, dan keterbunuhan eksistensial yang dialami membawa dampak yang melampaui keterbunuhan eksistensial manusia pada umumnya. Ia menghidupkan tangis dan tawa dalam satu kesatuan psikis dan kekacauan di satu sisi.
Ketika manusia sudah mengalami titik terdalam dari ketangisan eksistensial, maka satu-satunya ekspresi yang kepedihan yang tersisa adalah tertawa. Memilih untuk tertawa, menertawakan diri, menertawakan kehidupan, dan segala bentuk penderitaan yang terjadi dan dialami, sebagai sebuah komedi.
Manusia yang lemah, dan dilemahkan terus menerus, tanpa pernah memenangkan perlawanan, maka menertawai adalah bentuk perlawanan terakhir dari diri akan seluruh ketertindasan yang menimpa.
Dititik itu, tragedi persis berubah menjadi komedi. Lantas apakah dengan begitu, tragedi menjadi hilang? Tentu saja tidak. Pada titik itu tragedi menjadi semakin dalam pada ruang rasa sakit yang tak bisa lagi diutarakan.
Kata-kata Joker ini seperti menjadi jawabannya, "aku berharap bahwa kematianku suatu saat lebih berarti daripada kehidupanku". Â Ini adalah pernyataan eksistensial, penegasan akan penyerahan. Tak ada makna, kering, kemuakan dari kehidupan yang penuh dengan moralitas palsu yang hipokrit.
Di dalam masyarakat yang sakit, ada banyak kegilaan yang muncul. Joker adalah korban dari sakitnya suatu masyarakat, yang muncul  layaknya simbol kekacauan, yang menjadikan kekacauan sebagai laku protes terhadap kehidupan manusia yang rusak, hipokrit, penuh penindasan dan pengebirian.
Mereka bukanlah orang-orang buruk pada dasarnya, melainkan orang-orang yang dipaksa untuk bertindak melampaui nalar umum suatu masyarakat tentang moralitas.
Lantas kenapa kita harus kaget dan muak dengan Joker, kalau pembunuhan aparat terhadap demonstran belakangan ini atau tentang kasus pembunuhan yang tak pernah tuntas di negeri ini, atau tentang berapa jumlah manusia yang terbunuh sia-sia di Papua, tak pernah membuat kita kaget apalagi muak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H