Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa yang Salah dari LGBT?

21 Desember 2017   13:23 Diperbarui: 21 Desember 2017   13:29 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak ditolaknya permohonan AILA (Aliansi Cinta Keluarga) dalam uji judicial review permohonan perluasan norma atas KUHP (khususnya pasal 284, 285, dan 292) ditolak oleh MK. Isu LGBT kembali berseliweran menjadi perdebatan warganet. Tidak sedikit di antaranya menolak dengan berbagai landasan argumentasi sosial terlebih dengan menggunakan perspektif agama.

Padahal kalau kita berkaca pada akar-akar masyarakat kita yang lampau, isu LGBT ini rasanya tidak pernah benar-benar dianggap sebagai suatu persoalan serius.

Saya melihat, bahwa fenomena booming-nya isu ini tidak lepas dari keterkaitan antara diskursus LGBT yang menyeruak di negara-negara Eropa-Amerika yang lalu kemudian diimpor dalam bentuk public campaign disini. Jadi ada semacam ideology cmpaign disini yang tak bisa diabaikan. Kita tahu, bahwa sedikitnya sudah ada lebih dari 20 negara yang memang telah mengakui bahkan melegalkan LGBT. Sedikit di antaranya seperti Spanyol, AS, Kanada, hingga Jerman.

Ada upaya untuk merespon keberhasilan LGBT dari negara Eropa itu seperti membuka jalan pihak pro-LGBT di Indonesia ingin menempuh jalan yang sama, yakni jalan untuk mendapatkan legalitas pengakuan sah dari negara lewat jalan public campaign. Dan disinilah kemudian muncul konstraksi penentangan dari pihak kontra, hingga kemudian puncaknya adalah muncul keinginan dari pihak kontra untuk memperluas norma KUHP agar LGBT harus bisa dianggap sebagai perilaku menyimpang yang dapat dikriminalisasi.

Saya menghindari penghakiman untuk memahami apakah ia (LGBT) adalah penyakit ataukah gejala biologis natural, ataukah ia hanya konstruksi sosial gaya hidup? Semua punya tupoksi kebenarannya masing-masing.

Lalu setelah itu kemudian akar argumen yang berhadapan hanya satu: pihak pro berlandaskan argumen kebebasan semua golongan, dan pihak kontra berargumen dengan menggunakan alasan nilai-norma masyarakat yang dibentur terlebih nilai agama. Di luar dari perdebatan keabsahan data bagi kedua belah pihak untuk masing-masing mendukung argumentasinya akan dampak, ada tidaknya dampak buruk atau tidak, saya rasa mesti dikaji dengan objektif.

Saya sendiri justru menilai bahwa apa yang kita sesalkan dari isu LGBT ini adalah public campaign-nya itu sendiri, yang mau tak mau pasti akan melabrak sturuktur nilai yang telah mapan dianut oleh masyarakat, jadi sudah pasti ada konstraksi pertentangan disitu. Nilai-norma yang dimaksud disini terlebih pada norma agama yang mau tak mau diakui telah menubuh dalam kehidupan bermasyarakat yang luas.

Bisa dikatakan, nyaris tidak ada satupun agama (setidaknya dalam penafsiran arus utama) yang bisa mengakui secara sah LGBT itu sendiri sebagai suatu yang absah. Alasan utamanya bahwa agama cenderung memandang bahwa praktik bersangkutan justru menyimpang dari kodrat manusia itu sendiri, terlebih ketika diperhadapkan pada doktrin-doktrin agama tentang kesucian keluarga dan fungsi suci reproduksi dalam keluraga.

Kita bisa tidak sepakat dengan doktrin agama itu, namun kita tidak bisa begitu saja mengabaikan fakta sosial lain bahwa agama justru sudah menubuh sebagai suatu sumber nilai di masyarakat itu sendiri yang kuat.

Meskipun sebenarnya, seperti saya sebut sebelumnya, bahwa jauh sebelum munculnya "public campaign" ini rasanya keberdaan LGBT tidak pernah kok menjadi persoalan seserius sekarang ini, bahkan di tengah masyarakat yang memiliki jejak kerelegiusan sekalipun. Ini mungkin mewakili adanya akulturasi antara agama dan adat yang terjadi di beberapa masyarakat tertentu.

Saya melihat di beberapa masyarakat khususnya di desa-desa, keberadaan para sebut saja 'waria' sepertinya tidak pernah dipersoalan keberadaannya oleh masyarakat kok. Meskipun secara individu orang bisa tidak bersepakat pada piliha hidup personal itu, namun secara sosial itu tidaklah membuat masyarakat untuk melakukan stigma, pengucilan apalagi kriminalisasi. Mereka justru tetap berbaur tanpa ada sekat normatif.

Makanya jangan heran di masyarakat Sulawesi Selatan misalnya, di setiap momen hari nasional, kita mudah melihat para waria berbaris gerak jalan atau bermain bola dengan lucu untuk menghibur masyarakat. Dan masyrakat tidak pernah berpikir untuk mengutuk apalagi mengkriminalisais mereka dengan stigma-stigma yang timpang. Bahkan justru ikut menikmati hiburan mereka.

Di masyrakat Bugis itu sendiri yang mendiami daratan Sulawesi Selatan misalnya, masyarakat ini bahkan dalam sejarahnya mengenal 5 jenis gender dalam struktur masyarakatnya. Ini jauh dari apa yang dipahami oleh masyrakat umumnya yang lazim hanya mengenal 2 jenis gender: laki-laki dan perempuan.

Kelima jenis gender itu meliputi: orowane/burane yang mewakili laki-laki secara maskulin, makkunrai mewakili golongan perempuan secara feminim, calalai mewakili golongan perempuan yang berperilaku layaknya laki-laki, calabai sering diplesetkan menjadi makkunrane (makkunrai burane), mewakili golongan laki-laki yang memiliki tata laku perempuan, dan terakhir adalah bissu.

Bissu ini sebenarnya adalah calabai (laki-laki yang feminim), namun tingkatannya dianggap lebih dari sekadar laki-laki atau perempuan. Ia dianggap tidak mewakili dari keempat gender tersebut lantaran posisi politisnya yang tergolong tinggi dalam struktur masyarakat Bugis. Atau bahasa lainnya ia adalah perpaduan dari keseluruhan gender yang ada, karena itu bissu ini begitu dihormati keberadaannya.

Bahkan saking dihormatinya, ia bahkan dianggap sebagai satu-satunya kelompok yang sah dianggap mampu menjadi perantara antara Raja dan Dewata (Tuhan) dalam segala ritual kebudayaan orang Bugis. Karena itu ia punya kekuatan politis untuk melegitimasi bahkan mungkin mendelegitimasi kekuasaan raja sekalipun. Dan ini menarik.

Lalu, ketika para inlander pembebek segala bentuk apa yang diklaim kemajuan di Barat, melihat bahwa ada perubahan politis dari status LGBT disana, lalu kemudian di impor kesini tanpa sedikitpun memahami sturktur masyarakat kita sendiri, disnilah dimunculkanlah public campaign untuk mempromosikan LGBT, yang akhirnya mendapat penentangan dari sebagain masyarakat itu sendiri. Yang mungkin pada tataran tertentu keduanya sama-sama tidak memahami struktur masyarakat dengan baik selain sekadar menafisr apa yang dianggapnya benar/salah semata.

Padahal bisa dikatakan, kalau Barat baru mengenal tiga gender sedangkan masyarakat kita seperti masyarakat Bugis berpuluh-puluh tahun yang lalu bahkan sudah mengenal 5 jenis gender, melampaui dari apa yang disebut pencapaian Barat kini.

Bedanya adalah bahwa kalau masyarakat dulu (dan sampai sekarang pun), memandang bahwa gender lain selain laki-laki/perempuan itu ada secara natural, tapi ia tidak penah dipahami sebagai hasil dari konstruksi ideology campaign. Bedanya dengan isu LGBT sekarang yang diboomingkan justru seolah ingin mengkampanyekan yang konsekuensinya menabrak struktur tatanan yang telah ada garisnya dalam masyarakat.

Ini ibaratkan, di suatu desa, masyarakatnya sudah adem dan tentram, tak pernah mempersoalkan keberadaan waria misalnya apalagi ingin mengkriminalisasi mereka. Ia berbaur dengn masyarakat dan masyarakat menerimanya, itu terbukti ketika ada upacara pernikahan keberadaan waria ini sangat mengambil peran signifikan dari membuat kue, dekorasi, hingga rias pengantin. Praktis masyarakat tidak pernah mempersoalkan bahkan tidak sedikit mereka-mereka justru menjadi penghibur paling lucu di tengah-tengah masyarakat untuk menggambarkan keharmonisan mereka di tengah masyarakat.

Lalu setelah itu semua, datanglah para intelektuil ini yang membentur-benturkan antara waria tadi yang mewakili LGBT dibenturkan dengan masyarakat, lewat public campaign LGBT sembari mengutip apa saja bahkan kitab suci sekalipun. Ingat, persoalannya adalah mengkampanyekan. Lalu ketentraman yang ada justru retak, karena masyarakat sebelumnya tidak pernah memahami LGBT sebagai sebuah konstruksi sosial yang lahir karena proses pengaruh-mempengaruh orang lewat kampanye seperti itu.

Dan setelah itu ya begitulah yang terjadi. Pro-kontra yang tak usai, kedua belah pihak sudah serasa saling ingin mengkriminalisasi satu sama lain. Orang tua yang selama ini berpikir bahwa LGBT tebentuk secara alami dan bahkan bisa disetir secara alami pula menolak pembentukannya menjadi ketakutan akan anak-anaknya lantaran merasa terancam bahwa LGBT bisa saja terbentuk sebagai hasil konstruksi sosial kampanye ideologis yang dilakukan para pihak tertentu. Lalu terjadilah chaoskeributan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun