Hari ini tepatnya 25 Juni 2017, kita terlebih umat Muslim telah merayakan Idul Fitri 1438 H. Idul Fitri sering disebut sebagai hari kemenangan. Kemenangan setelah satu bulan penuh menahan atau latihan mengendalikan hasrat yang kita sebut puasa. Hingga tibalah saatnya orang-orang yang menang dari proses tersebut merayakan kemenangannya.
Segala perjuangan yang dilakukan sungguh-sungguh akan selalu bermuara pada kemenangan, ini seperti hukum optimisme alam. Sejatinya kita memahami bahwa, kemenangan Idul Fitri bukanlah kemenangan akhir melainkan ia adalah kemenangan siklus untuk kembali ke yang awal, kembali ke yang suci, yang kita sebut fitrah, sebagai titik tolak untuk kemudian kembali lagi pada ritme yang hidup yang baru.
Sebagaimana kemenangan dalam hal apapun, kita sering mendengar ungkapan ini, bahwa "Merebut kemenangan itu mudah, sedang yang sulit adalah mempertahankan". Â Dan memang barangkali benar. Tugas terberat bagi seorang pejuang adalah mempertahankan kemenangan. Bergerak dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Dari sosial kembali ke diri, lalu dari diri untuk kembali bertolak pada kehidupan sosial itu sendiri. Konteksnya adalah mendidik diri adalah mendidik kehidupan sosial itu sendiri.
Kalau puasa yang kita rayakan kemenangannya ini, telah mengajari kita tentang bagaimana mengendalikan hasrat, nafsu, keserakahan, ketamakan, amarah, lisan, bahkan libido, pertanyaan intrisiknya adalah sudah cukupkah latihan yang kita lalui untuk bisa membiasakan hal demikian setidak-tidaknya untuk 11 bulan akan datang? Saya rasa inilah tantangan uji kemenangan yang sejatinya, yang akan membelah tentang siapa yang menang dan siapa yang pura-pura menang?
Kita yang terbiasa mengumbar kebencian sektarian lewat medsos, akankah perilaku ini bakal berubah setelah merayakan Idul Fitri sebagai ekspresi merayakan kemenangan pengendalian atas hasrat? Atau kita para majikan yang terbiasa menghardik dan memakan hak pekerja kita, akankah ketamakan ini terus berlanjut? Kalau tidak, lantas kemenangan apa yang kita rayakan?
Begitupun, kita yang terbiasa berzakat dan bersedekah, akankah ini terus berlanjut? Bukankah puasa telah cukup mengaajarkan untuk bisa menahan agar bisa belajar untuk memberi? Menahan hasrat untuk bisa belajar berkorban? Â
Belumkah cukup puasa 30 hari itu memahamkan bahwa seonggok daging yang berlebihan dalam diri kita akibat konsumsi yang berlebihan, pertanda bahwa ada hak orang-orang miskin, para yatim, dan orang papa lainnya yang kita sedot? Belum cukupkah kita memahami bahwa dibalik dompet kita yang tebal itu, atau dibalik menu makan kita yang aneka macam itu tiap harinya, ada hak orang-orang kecil di dalamnya yang Tuhan telah titip, dan ajarkan kita lewat berpuasa?
Ada dimensi sosial yang dituju dari proses berpuasa ini (QS: Almaidah [5]: 89, 95), dll. Itulah sebabnya, kenapa kita diwajibkan untuk menunaikan zakat fitrah sebagai penyempurna ibadah puasa kita 30 hari sebelumnya. Bahkan dikatakan dalam hadist, bahwa:amalan puasa akan terus menggelantung di langit sebelum zakat fitrah ditunaikan. Artinya apa? Amalan ibadah kepada Tuhan tidak akan sampai dan akan terus bergelantung selama orang-orang kecil, miskin, papah, tidak dipenuhi hak-haknya.
Dalam Islam, kita paham bahwa kemiskinan sebagai produk ketimpangan tidak pernah muncul karena faktor-faktor fatalis teologis (takdir), melainkan karena faktor sosial. Ia adalah bentukan struktur sosial yang tidak adil. Bentukan struktur yang tidak adil ini tidak lepas dari ketamakan dan keserakahan manusia-manusia yang kuat dalam menindas yang lemah. Kemisikinan adalah produk ketamakan sekaligus produk pembiaraan sosial. Kemisikinan adalah cermin masyakarat yang sakit, antara bercampurnya ketamakan beserta sifat acuh/pembiaran oleh yang lain.
Puasa seolah menitipkan pesan untuk itu. Suatu pesan ketika realitas kemanusiaan berada di ambang ketidakwarasan global akibat keserakahan. Apa yang disebut Paus Fransiskus, ketika ia mengatakan: suatu fenomena ketika yang lemah menderita kelaparan, sedang yang kuat (yang berlebih) menderita kekenyangan.
Kita berada pada siklus penderitaan, akibat manusia tidak mampu memenangkan diri dari hasrat, yang akhirnya membawa ketamakan-ketamakan dalam diri itu dalam kehidupan sosial yang berwujud keserakahan, sikap egoisme, yang banyak merugikan orang lain.