Bukankah bahwa kebaikan, kejujuran, dan sifat-sifat kebaikan lainnya tidak pernah ditentukan oleh etnik dan agama seseorang? Begitupun, bahwa keburukan dan sifat-sifat tidak baik lainnya adalah sesuatu yang bersifat universal, yang bisa terjadi pada setiap manusia, tanpa memandang etnik atau agama yang bersangkutan? Kita yang waras akan mudah berkata, bahwa keburukan bisa lahir dari manusia dengan etnik atau agama apapun, begitupun terhadap kebaikan.
Apalagi, ketika perkara lowongan kerja ini praktis justru lebih dekat kepada perkara kinerja. Lantas apakah ada keterhubungan antara kinerja terhadap etnik seseorang? Saya pikir sama sekali tidak terkait.
Fenomena penyimpulan-penyimpulan tak berdasar para rasialis dalam mengkateogri etnik terhadap faktor-faktor budaya/kebiasaan yang sengaja ia lekatkan, sebenarnya adalah fenomena dari kecacatan berpikir yang fatal. Ini seperti cermin dari masyarakat kita yang sakit.
Saat sekarang ini, sangat mudah kita menjumpai secara terselubung pengkategorian-pengkategorian seperti ini. Etnik A pemalas, etnik B kapitalis/pelit, etnik C tidak bisa dipercaya, dll. Bahkan ada yang sampai samar-samar mengkategorikan etnik tertentu sebagai domain dari kriminalitas. Ini adalah penyimpulan-penyimpulan tak berdasar sama sekali.
Ini mirip dengan kasus, beberapa waktu yang lalu, ketika ramai, muncul berita-berita yang menyampaikan betapa sulitnya sodara-sodara kita yang dari Papua untuk mencari kos-kosan di kota Jogjakarta. Bukan lantaran kos-kosan sudah penuh, tapi karena ditolak lantaran streotipe rasialis yang dilekatkan terhadap mereka orang-orang papua. Dengan identitas-identitas artifisial destruktif yang dilekatkan kepadanya. Mulai dari isu pelaku kriminal,hingga isu persoalan ketidakteraturan, dsbnya.
Rasialisme tidak pernah muncul dengan sendirinya. Saya pikir, kalau kita memandang dari sudut pandang kelas, maka kemunculan rasialisme dari kalangan bawah yang berwujud kebencian tak berdasar, bisa dikata sebagai bagian  dari produk struktur sosial politik yang kacau. Bagi pemikir-pemikir yang percaya pada kredo Marxisme, realitas rasialisme  tidak pernah terpisah dari struktur sosial yang timpang, dengan segenap ketidakadilan yang menyertainya. Ini mudah dilihat dari hembusan anti-etnik tertentu di beberapa daerah lainnya, seperti Jakarta? Hal itu tidak lepas dari keburaman sosial yang timpang, ditambah dengan politik perebutan kekuasaan yang menggoreng segalanya.
Tapi, kalau ia dilihat dari sudut pandang kelas atas. Maka rasialisme kelas atas ini, tidak jauh-jauh dari apa yang dikatakan Chomsky, sebagai bentuk ketidakwarasan. Buah dari hasrat borjuisme dalam melanggengkan penaklukan dan penindasan itu sendiri. Fenomena rasisme berkedok lowongan kerja ini, sebenarnya tak lain adalah bentuk ketaklukan para elit mengikuti kebodohan umum yang terjadi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H