Setelah kurang lebih 32 tahun masa-masa senja kekangan melanda pers. Tumbangnya orde baru, memberi ruang akan harapan supremasi sipil dan demokrasi terhadap pers. Ini cukup merubah cara masyarakat dalam mendapatkan informasi. Desentralisasi kekuasaan informasi yang terjadi melibaatkan sipil untuk berpartisipasi. Apalagi sejak media-media online bermunculan. Reformasi memberi kita jalan bagi terbukanya gerbang informasi, terbebas dari kendali penguasa saat itu sebagai satu-satunya kran informasi resmi.
Kita sebenarnya berharap, bahwa medio keterbukaan informasi ini bisa benar-benar memberi ruang pencerdasan bagi publik. Masyarakat dan realitas semakin dekat. Apriori dan kecurigaan terhadap kepentingan di balik informasi bisa teretas.
Namun kenyataannya, kita melihat keterbukaan informasi ini juga menyisakan belenggu-belenggu, yang bisa jadi termasuk salah satu lonceng senjakala jurnalisme. Menjamurnya pelaku pers, juga memberi banyak jejalan informasi. Informasi sudah seperti makanan yang disajikan, yang dari bahan yang sama tapi bisa diracik dengan banyak macam selera. Untuk kemudian dijejalkan untuk dipilih sesuai selera pembaca selaku konsumen.
Informasi menjadi realitas yang ditilik dengan sudut pandang-sudut pandang yang terlokalisir, bukan lagi mengedepankan pentaqlikkan terhadap fakta. Dalam mengonsumsi informasi, masyarakat tidak lagi diperhadapkan pada pilihan: ingin mengonsumsi informasi apa? Tapi diperhadapkan pada konsumsi informasi dengan framing memilih: media yang mana? Kesadaran kita akan realitas ditentukan oleh pilihan-pilihan media yang kita rujuk.
Apalagi sejak media-media online menjamur. Selain pola kerja yang memperhadap-hadapkan antara kecepatan penyajian informasi dan kedalaman informasi. Selain itu banyaknya media online yang tidak jelas rimba dan motifnya pun semakin memperkeruh informasi. Banyak di antaranya yang tidak berada di bawah ‘kendali’ kewenangan dewan pers atau perhimpunan-perhimpunan pers lainnya. Sehingga tidak ada mekanisme untuk bisa menindak, ujung-ujungnya hanya bisa membiarkan informasi diolah dan termanipulasi.
Kenyataan bahwa satu kasus bisa diframing dengan keberpihakan pemberitaan yang berbeda. Informasi menjadi realitas yang ditafsir berdasarkan kepentingan, dengan berlindung dibalik kosakata-kosakata jurnalisme.
Meskipun, kalau kita ingin jujur, terlalu naif rasanya untuk menyebut banyaknya berita-berita online yang tersebar itu sebagai produk jurnalistik? Sebab terlalu sulit untuk mengakui bahwa informasi itu diolah dan disajikan berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar.
Memang kita akui bahwa dalam realitas jurnalistik pun tidak ada yang bebas nilai. Tidak ada yang benar-benar pure netral. Bahkan pekerja media pun memang justru idealnya memiliki ideologi keberpihakan. Namun ideologi-ideologi pekerja pers tentu bukanlah suatu kenyataan yang bisa diperhadap-hadapkan pada prinsip-prinsp jurnalisme itu sendiri, yang salah satunya mengharuskan objektivitas dalam menyajikan informasi. Keberpihakan pada kebenaran dan fakta itulah fondasi dari dari ideologi pekerja pers, seharusnya.
Namun, pada kenyataannya keberpihakan ini kadang-kadang tampil dalam bentuk vulgar. Berita yang seharusnya menjadi produk dari kerja-kerja jurnalistik dengan ragam nilai-nilai di dalamnya seperti objektivitas, jusutru kadang-kadang muncul terasa bak opini dan asumsi. Ini kenyataan yang menyedihkan!
Dan ini paling banyak terjadi di media-media berbasis online. Pilihan-piihan pragmatis dalam memilih engel berita misalnya, kadang-kadang terjebak pada realitas jurnalisme permukaan. Fakta ditampilkan secara parsial berdasarkan pilihan-pilihan kepentingan, bukan pada fakta itu sendiri secara utuh. Ia menjadi kepingan-kepingan fakta yang dijahit, namun justru berpotensi mengaburkan fakta sejati itu sendiri.
Dalam arti bahwa realitas yang dikomunikasikan tidak menohok sisi substansial atas persoalan, tapi bermain-main dilingkar permukaan realitas, atas nama kepentingan? Upaya untuk mengubur suatu fakta sekaligus menyajikan fakta disisi lain menjadi saling tarik menarik dalam posisi ini. Secara etika tak ada kewajiban lain selain kewajiban etik untuk mengatakan bahwa pilihan menyajikan informasi adalah pilihan seperti halnya pilihan-pilihan untuk memilih sembari tidak memilih (menyembunyikan) yang lain.
Dalam konteks ini, aih-alih media-media seperti itu bisa dikata terdepan mengabarkan, bahkan malahan mereka justru terdepan mengaburkan. Menjual sensasi untuk mempertahankan kepentingan ketimbang mengedukasi publik atas persoalan yang sebenarnya.
Terlalu sulit untuk bisa mendapatkan media online misalnya, yang ketika terjadi demonstrasi buruh misalnya berkutat pada pemberitaan pokok persoalan yang sebenarnya. Sebagai pembaca kita hanya dijejalkan informasi-informasi permukaaan dari demo buruh tsb, dari persoalan rusuh dan sampah, hingga perosalan 10 batang bunga yang patah.
Dalam konteks demo buru tadi, apa yang dijejalkan sebagai informasi hanya mentok pada pemahaman bahwa terjadi demo menuntut kenaikan upah, misalnya. Sebagai pembaca kita kehilangan unsur nalar untuk ikut menilai hal itu, karena itulah, hal-hal seperti itu tidak pernah mendapat penilaian nalar selain penilaian-penilaian subjektif perasaaan atasnya (rasa kesal, sinis, bikin macet, dll). Sebab kenyataan seprti ini tidak pernah dibahas secara gamblang dengan metode narasi jurnalistik, untuk menjelaskan secara jernih kepada masyarakat simpul pokok perdebatan-perdebatan yang menjadi medio demo tersebut. Padahal inilah substasi pokoknya.
Hal yang sama pada kasus penistaan agama terjadi akhir-akhir ini yang melibatkan gubernur DKI. Betapa banyak media yang hanya metok dengn isu-isu kooptasi atasnya yang bertendensi moralis. Tak banyak yang bisa menjelaskan dengan narasi jurnalistik dalam konteks edukasi: apa dan konteks yang mana sesuatu itu disebut penistaan agama? Padahal ini termasuk pokok penting persoalan ini.
Senjakala?
Kalau Bre Redana (wartawan senior Kompas) pernah menulis senjakala jurnalisme cetak akibat terjadi perubahan atas medium jurnalisme dari koran ke wujud digital. Kita justru diperhadapkan pada kenyataan bahwa senjakala jurnalisme itu tidak hanya berkutat pada perubahan medium berita, tapi ke jurnalisme itu sendiri.
Sentralisasi informasi pada masa orde baru yang melahirkan krisis kepercayaan informasi, pada kenyataannya juga dialami saat sekarang ini. Keterbukaan informasi yang ditunjang dengan digitalisasi informasi media online, justru pada kenyataannya tetap saja menyisakan kenyataan akan krisis kepercayaan akan informasi. Memang ada baiknya dibanding sentralisasi informasi yang pernah terjadi, setidaknya memberi ruang adanya informasi-informasi alternatif. Tidak dimonopoli secara sepihak. Namun, hal itupun tetaplah tidak bisa mempertahankan kredo publik untuk tetap tidak jatuh dalam jurang krisis informasi.
Realitas jurnalisme permukaan ini, pada titik tertentu, dan pada kenyataan ekstrimnya ia paling dekat dengan berita HOAX nantinya. Ia memiliki persamaan dalam hal menjauhkan publik atas fakta yang substansial sebenarnya. Hanya saja HOAX adalah titik terekstrim dari itu semua. Berita HOAX adalah puncak terekstrim atas pembajakan kerja-kerja jurnalistik itu sendiri. Bukan lagi bermain dengan isu permukaan terhadap fakta, tapi memang justru dilakukan untuk memanipulasi kenyataan.
Sebagai masyaarakat dengan jumlah pengguna media sosial terbesar ke-4 di dunia, kita bukan hanya sebagai objek pengonsumsi berita permukaan hingga berita HOAX, tapi juga pelaku itu sendiri (penyebar). Ada sekitar 35% dari total penduduk yang bercengkerama dengan media sosial. Sekitar 80 juta adalah pengguna facebook. Karena itulah tidak heran ketika upaya untuk ‘bermain’ wacana dan informasi di media sosial cukup menjadi ruang strategis untuk mencapai kepentingan lainnya.
Dengan jumlah pengguna media sosial kita yang besar itu, kalau saja jurnalisme permukaan ini terus mendominasi aras lalu-lintas informasi kita, maka itu berarti kita secara terus menerus menyaksikan: bahwa bukannya keterbukaan informasi membuat kita cukup cerdas memahami dan menyikapi realitas, justru sebaliknya. Ketika slogan “matikan televisimu” pernah didengunkan untuk menolak pembodohan televisi lewat acara-acara yang tidak mencerdaskan. Tentu menjadi lucu dan sarkas kalau saja kita mendengar slogan baru “matikan medsosmu!”.
Penulis
Muhammad Ruslan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H