Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Permukaan: Terdepan Mengabarkan atau Mengaburkan?

17 Oktober 2016   11:57 Diperbarui: 17 Oktober 2016   12:13 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.yellowcabin.com

Dalam konteks ini, aih-alih media-media seperti itu bisa dikata terdepan mengabarkan, bahkan malahan mereka justru terdepan mengaburkan. Menjual sensasi untuk mempertahankan kepentingan ketimbang mengedukasi publik atas persoalan yang sebenarnya.

Terlalu sulit untuk bisa mendapatkan media online misalnya, yang ketika terjadi demonstrasi buruh misalnya berkutat pada pemberitaan pokok persoalan yang sebenarnya. Sebagai pembaca kita hanya dijejalkan informasi-informasi permukaaan dari demo buruh tsb, dari persoalan rusuh dan sampah, hingga perosalan 10 batang bunga yang patah.

Dalam konteks demo buru tadi, apa yang dijejalkan sebagai informasi hanya mentok pada pemahaman bahwa terjadi demo menuntut kenaikan upah, misalnya. Sebagai pembaca kita kehilangan unsur nalar untuk ikut menilai hal itu, karena itulah, hal-hal seperti itu tidak pernah mendapat penilaian nalar selain penilaian-penilaian subjektif perasaaan atasnya (rasa kesal, sinis, bikin macet, dll). Sebab kenyataan seprti ini  tidak pernah dibahas secara gamblang dengan metode narasi jurnalistik, untuk menjelaskan secara jernih kepada masyarakat simpul pokok perdebatan-perdebatan yang menjadi medio demo tersebut. Padahal inilah substasi pokoknya.

Hal yang sama pada kasus penistaan agama terjadi akhir-akhir ini yang melibatkan gubernur DKI. Betapa banyak media yang hanya metok dengn isu-isu kooptasi atasnya yang bertendensi moralis. Tak banyak yang bisa menjelaskan dengan narasi jurnalistik dalam konteks edukasi: apa dan konteks yang mana sesuatu itu disebut penistaan agama? Padahal ini termasuk pokok penting persoalan ini.

Senjakala?

Kalau Bre Redana (wartawan senior Kompas) pernah menulis senjakala jurnalisme cetak akibat terjadi perubahan atas medium jurnalisme dari koran ke wujud digital. Kita justru diperhadapkan pada kenyataan bahwa senjakala jurnalisme itu tidak hanya berkutat pada perubahan medium berita, tapi ke jurnalisme itu sendiri.

Sentralisasi informasi pada masa orde baru yang melahirkan krisis kepercayaan informasi, pada kenyataannya juga dialami saat sekarang ini. Keterbukaan informasi yang ditunjang dengan digitalisasi informasi media online, justru pada kenyataannya tetap saja menyisakan kenyataan akan krisis kepercayaan akan informasi. Memang ada baiknya dibanding sentralisasi informasi yang pernah terjadi, setidaknya memberi ruang adanya informasi-informasi alternatif. Tidak dimonopoli secara sepihak. Namun, hal itupun tetaplah tidak bisa mempertahankan kredo publik untuk tetap tidak jatuh dalam jurang krisis informasi.

Realitas jurnalisme permukaan ini, pada titik tertentu, dan pada kenyataan ekstrimnya ia paling dekat dengan berita HOAX nantinya. Ia memiliki persamaan dalam hal menjauhkan publik atas fakta yang substansial sebenarnya. Hanya saja HOAX adalah titik terekstrim dari itu semua. Berita HOAX adalah puncak terekstrim atas pembajakan kerja-kerja jurnalistik itu sendiri. Bukan lagi bermain dengan isu permukaan terhadap fakta, tapi memang justru dilakukan untuk memanipulasi kenyataan.

Sebagai masyaarakat dengan jumlah pengguna media sosial terbesar ke-4 di dunia, kita bukan hanya sebagai objek pengonsumsi berita permukaan hingga berita HOAX, tapi juga pelaku itu sendiri (penyebar). Ada sekitar 35% dari total penduduk yang bercengkerama dengan media sosial. Sekitar 80 juta adalah pengguna facebook. Karena itulah tidak heran ketika upaya untuk ‘bermain’ wacana dan informasi di media sosial cukup menjadi ruang strategis untuk mencapai kepentingan lainnya.

Dengan jumlah pengguna media sosial kita yang besar itu, kalau saja jurnalisme permukaan ini terus mendominasi aras lalu-lintas informasi kita, maka itu berarti kita secara terus menerus menyaksikan: bahwa bukannya keterbukaan informasi membuat kita cukup cerdas memahami dan menyikapi realitas, justru sebaliknya. Ketika slogan “matikan televisimu” pernah didengunkan untuk menolak pembodohan televisi lewat acara-acara yang tidak mencerdaskan. Tentu menjadi lucu dan sarkas kalau saja kita mendengar slogan baru “matikan medsosmu!”.

Penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun