Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan Pribadi yang Tertukar

1 April 2016   15:15 Diperbarui: 1 April 2016   15:18 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Source picture: http://its-mecool.blogspot.co.id

Pembicaraan tentang politik sebetulnya tidak bisa dikarangkeng dalam kosakata sempit pengamalan tentang perebutan kekuasaan semata, tapi yang paling penting adalah ‘bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk apa, pasca kekuasaan direbut. Disinilah relevansinya untuk mendudukkan fundamental isu politik pada apa yang disebut “gagasan politik”.

Namun, konsepsi-konsepsi itu belum dipahami dan apalagi diterima oleh para politisi, apalagi berharap adanya dimensi pengamalan terhadapnya. Politik masih dibajak sebagai suatu kendaraan hambar tanpa gagasan memadai. Ia hanya medan perebutan kekuasaan semata, memang kata-kata ini bukan lagi hal asing untuk diungkapkan. Segala daya dan kekuatan politik yang tidak mencerdaskan justru menjadi kendaraan utama yang digunakan, prevalensi perdebatan gagasan sangat sedikit dibanding tudingan personal yang mengarah pada isu SARA dan sejenisnya, kasus pemilu DKI contohnya.

Kita bisa melihat dan menyimak realitas, bagaimana momentum politik mencerabut titik kesadaran sebagian kita sebagai subjek politik. Berkaca pada perhelatan ‘panas’ perebutan kursi Gubernur DKI, isu yang terus dihembuskan sebagai senjata politik saat ini, membuat dan menjadikan banyak orang terjebak dalam pribadi yang tertukar.

Orang yang selamanya dikenal karena kecerdasannya tiba-tiba terlihat bodoh, karena pernyataan-pernyataan politiknya. Orang alim menjadi semakin alibi terhadap kekuasaan. Orang yang dikatakan tegas, tiba-tiba menjadi beringas. Orang baik, tiba-tiba terkesan menjadi buruk dalam sekejap. Orang jahat tiba-tiba menjadi baik, tampil dilayar berkhotbah dimana-mana. Kritikus bernas tiba-tiba diam dengan mulut terkunci dan kepala tertunduk.

Realitas bahwa politik sebagai seni mengubah sesuatu, juga bertendensi dalam mencairkan dan mempertukarkan kepribadian dalam sekejap.

Memang diakui bahwa manusia adalah makhluk politik (Zoon Politicon). Segala daya dan tindak-tanduk tidak lepas dari realitas politik itu sendiri. Tapi di tengah dorongan kebangkitan untuk mengambil peran sebagai manusia politik, kita justru mengalami realitas pengkurusan kesadaran akan ide dan gagasan politik. Realitas-realitas politik tidak mampu mengkondisikan suatu kesdaran politik baru, melainkan justru melegetimasi kesadaran lama dalam menampakkan wajah purba politik kita.

Kita dapat berkaca saat kran demokrasi begitu dibuka sejak kejatuhan Orde Baru, partai-partai seperti terhempas bebas dari tempat persembunyiannya, bekerja bersaut-sautan seperti pabrik di awal revolusi industri. Namun, tak cukup dalam hitungan dua dasawarsa, keriuhan berubah sekejap dalam antipati yang berujung pada ketidakpercayaan terhadap partai politik. Itu tak lepas dari kepribadian partai pun yang tertukar, ide-ide dan gagasan-gagasan ideologi terhalau dengan begitu mudahnya, terjebak secara massif dalam pragmatisme politik. Partai nasionalis tiba-tiba terus menggoreng ‘agama’, saat partai-partai agama menjadi semakin ingin menjadi partai nasionalis.

Saat yang sama basis-basis massa dan konstituen partai semakin cair, akibat kebingungan rakyat atas hipokrisi partai. Dari akar yang sama melahirkan buah partai yang “katanya berbeda” tapi hakikatnya sama, dalam balutan warna berbeda.

Politik yang ditampakkan dari proses tersebut, seperti makhluk berkaki dua, namun berjalan ke arah yang berlawanan. Kepribadian dan ideologi partai semakin tertukar dan kadang-kadang terjerat dalam kebiasaan  menukarkan diri dalam deal-deal politik sempit. Saat oposisi tak mampu lagi menahan gejolak mencari posisi.

Politik menampakkan wajah terbalik, ketokohan figur sudah melampaui ketokohan partai. ‘Keangkuhan’ partai yang dipelihara bertahun-tahun seperti dilucuti begitu saja. Tokoh awalnya ‘mengemis’ kepada partai, tampaknya sudah memperlihatkan gelombang terbalik. Itu terlihat dari konstelasi politik Ahok dan partai saat ini, partai-partai yang tak jadi dipinanglah yang berbalik meminang. Partai bukan lagi menjadi kendaraan Sang Tokoh, melainkan Sang Tokoh lah yang menjadi kendaraan partai.

Realitas kejemudan politik dan kejenuhan rakyat atas partai politik, menjadi ladang subur untuk menyemai benih model politik frontal personal. Yang sekarang berada di tangan Ahok. Meraup popularitas tanpa partai, dengan gaya frontal. Mendobrak tatanan santun yang penuh hipokrisi politik.

Meskipun realitas lain, realitas rakyat seperti berada dalam kotak, terkondisikan untuk kehilangan ruang berpikir untuk melihat sisi lain, kefrontalan yang dipersepsi sebagai ketegasan menjadi realitas yang diterima seperti pemberian, meskipun kadang-kadang ketegasan elitis itu berujung pada penghilangan paksa hak rakyat itu sendiri (orang-orang kecil) seperti: buah kebijakan politik penggusuran, dll. 

Tapi sepertinya hal seperti itu tidak menarik lagi dibincangkan. Kita kehilangan kacamata lain untuk melihat politik sebagai alat keberpihakan kepada rakyat kecil, di tengah krisis ketokohan politik. Apa boleh buat model politik lama ‘memilih yang baik di antara kemungkinan yang buruk’ masih dipakai.

Seekor kucing yang mengaung seperti singa memang jauh lebih menjadi perhatian menarik bagi rakyat, ketimbang  singa besar yang hanya bisa menguap di siang hari.

Namun, suatu hal yang ganjal dan patut jadi perhatian, yakni saat proses politik yang ada, justru tidak mampu menahan realitas pribadi yang tertukar tersebut. Yang cerdas lebih memilih tenggelam dalam hiruk pikuk wacana yang cadas, demi dukungan. Isu SARA seperti: “I am muslim”, china, kafir, kristen, muslim, minoritas, mayoritas, semua menyesaki telinga. Publik seperti digiring dan tergiring dalam proses politik cadas, memilih dan menentukan keberpihakan bukan berdasar pada konkretisasi kepentingan diri, harapan dan nilai, melainkan memilih sekadar karena emosi identitas yang dangkal—wujud hasil pengelolaan isu ambisi para politisi cadas!

Saat seperti inilah, demokrasi, seperti kehilangan makna.

 

 

Muhammad Ruslan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun