Padahal saat ini, sudah tidak relevan lagi untuk memperhadap-hadapkan sosialis/komunis dengan agama di satu sisi. Wacana sosialis/komunis versus agama (Islam, Kristen dll), saat Orba, murni sebagai sebuah alat kekuasaan yang dijalankan secara doktriner.
Saat ini, di organisasi-organisasi Islam seperti HMI, gagasan Marx bukan lagi wacana awal yang tidak berkembang, bahkan sudah dielaborasi lebih jauh. Begitupun organisasi-organisasi Marxian di Indonesia bukan pula awam terhadap agama. Beberapa kajian-kajian post-marxisme kekinian, juga mengelaborasi spritualitas dan keagamaan. Atau bahasa lainnya, organisasi agama mengaji marxis, dan organisasi marxis diam-diam belajar agama.
Sebagai sesama korban orde baru, dan kalaupun betul-betul “kita” berkepentingan untuk memajukan wacana alternatif di Indonesia, maka sudah sepatutnya memperlihatkan sikap yang melampaui dari sikap kekanak-kanakan. Melembagakan ego sekadar untuk mengakui bahwa “kamilah yang paling progressif, kamilah yang paling Marxis”, dan HMI itu ompong, alat kekuasaan, alat aparat, dan tudingan-tudingan ambisional lainnya, begitupun sebaliknya (organisasi ini/itu kafir dll). Seperti kata Pram, kita tentunya harus adil: adil sejak dalam pikiran. Sebab progresifitas kita tidak dinilai dari seberapa keras pengakuan diri, dan seberapa kasar tudingan ke yang lain, atau seberapa narsis Anda memakai baju yang bergambarkan Che Guevara, tapi lebih ke sejauh mana kita mendahulukan, mendorong dan memajukan kesadaran universal sebagai golongan “kiri”, dimana “kiri” harus diuniversalkan sebagai kesadaran dan gerakan, melampaui simbol –simbol legitimasi organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H