Munculnya isu kain (jilbab) halal “Zoya” yang gempar beberapa saat ini, cukup menarik perhatian pengguna medsos. Pro dan kontra, kritik dan pembelaan mengalir dalam rupa menjawab dan menghakimi. Tak tanggung-tanggung dari isu market sedia kalanya, berujung pula pada penghakiman-penghakiman keagamaan, khususnya bagi yang kontra, dituduh anti-agamalah dan sejenisnya. Padahal konteks pokoknya adalah bisnis, tapi begitu mudahnya mengalir (lagi-lagi) pada isu agama, berkonotasi mainstream dan ekstrem.
Fenomena ini, kalau dilihat secara sosiologi dan antropologi, memberi gambaran tentang wajah kita saat ini, tentang kegamangan masyarakat dalam beragama. Suatu kesadaran keagamaan yang penuh fobia dan hipokrisi, menyerahkan hidup-mati dan keselamatan pada kekuasaan label dan simbol, yang mewujud rupa dalam bentuk stempel halal MUI.
Saya tidak habis pikir, dan coba Anda bayangkan, bagaimana kalau nantinya kita melihat segerombolan manusia beragama, yang (hanya) penuh simbol dan stempel halal membaluti sekujur tubuhnya. Atas dasar bahwa semua kain harus dipastikan kehalalannya, dibuktikan dengan cap halal MUI. Dari kain luar yang membaluti tubuh hingga yang terdalam, penuh dengan pernak-pernik stempel halal. Dan ironisnya, kalau saja itu dijadikan penilaian untuk menilai kedekatan manusia dengan Tuhan.
Yang jelas jilbab (kain) berstempel halal, selain berpotensi meresahkan ibu-ibu yang terlanjur memiliki banyaknya jilbab lilitan sebelumnya, bukankah itu juga akan menambah beban kerja MUI, untuk memastikan kehalalan setiap kain dari ribuan pengusaha kain dengan merek yang beragam. Belum lagi akan menambah beban tugas satuan polisi PP di salah satu daerah, yang selama ini sibuk melakukan razia baju dan celana ketat, hingga nantinya ikut mengurusi keberadaan stempel halal pakaian luar dan dalam rakyatnya?
Kesadaran keagamaan yang terus tergerus
Ini hanya salah satu kenyataan untuk menggambarkan betapa kesadaran keberagamaan masyarakat terus tergerus dan mengalami pendangkalan, atau lebih tepatnya “di-dangkal-kan”. Pendangkalan yang terjadi secara massif, menjebak masyarakat dalam pola keberagamaan simbolik dan permukaan. Ini terjadi saat struktur kapitalisme yang terlalu kuat mendistorsi dari atas, di saat lemahnya aparatus keagamaan yang berkarakter counter di tingkat akar rumput. Sehingga membentuk model kesadaraan keberagamaan masyarakat menjadi fatalistik terhadap ide-ide kapitalisme dan otoritas, berselubung “produk syariah”.
Seperti yang kita tahu, model berpakaian (termasuk bekerudung) yang dikampanyekan lewat media dan televisi akhir-akhir ini, begitu besar pengaruhnya dalam mengubah pola berpakaian masyarakat, dari kota hingga pedesaan. Padahal tak banyak di antara mereka yang mengampanyekan “syari’i” itu betul-betul merepresentsikan dirinya panutan dalam agama. Jilbab Zoya misalnya, apakah mereka-mereka ini adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian keagamaan yang tinggi? Jawabannya belum tentu. Tetapi kenapa pengaruh “penokohan” tersebut begitu mudahnya diterima masyarakat, diadaptasi dalam kebiasaan yang baru?
Hal ini tidak lepas proses pengondisian kesadaran yang sistematis, mengondisikan ruang kesadaran menjadi tak berdaya, dengan isu agama sebagai alatnya, memperdaya. Dan televesi adalah medianya. Saat varian kampanye produk yang tersistematis berhasil menjadi pergunjingan muda-mudi yang haus dan gila konsumsi, hingga menjadi tren. Itu sudah cukup. Apalagi ketika pelicin fatwa sudah dikantongi, maka kesadaran masyarakat sudah tak berdaya lagi, tenggelam dalam halusinasi trendi dan kesadaran akan kekuasaaan otoritas lembaga keagamaan.
Memang kita akui, sebagai bangsa dengan jumlah masyarakat muslim terbanyak, tentunya dengan kuantitas penduduk yang tinggi, itu cukup menarik sebagai pangsa pasar potensial. Isu syariah menjadi menarik, dalam perbincangan perkembangan bisnis sekarang ini. Apalagi sejak acara fashion show jilbab sudah menjadi salah satu pergelaran dunia, yang diadakan di negara-negara yang konon dijadikan kiblat agama Islam. Hanya saja, yang patut disayangkan, tuntutan pasar yang sangat kuat, justru mengubah (mendistorsi) cara manusia memandang agama itu sendiri. Simbol-simbol keagamaan sudah ditafsirkan jauh dari makna azalinya, mendorong lahirnya masyarakat yang gandrung beragama dalam konteks simbol, tapi miskin penghayatan. Bukankah agama yang membawa misi kezuhudan (kesederhanaan), terkesan paradoks dengan budaya naluri konsumerisme yang dibangkitkan oleh simbol-simbol agama yang dipaksakan lewat produk-produk syariah?
Dan yang paling substansial adalah, apakah makna halal-haram itu hanya selalu dan selalu berkutat dengan gelatin babi saja? Persoalan penafsiran kaidah fiqih yang kehilangan dimensi normativitas sosialnya inilah, yang menjadi inti persoalan kegamangan masyarakat kita dalam beragama (silahkan baca tulisan saya yang lain di sini). Memberi celah yang melegakan, mesin kapitalisme mengoyak-ngoyak kesadaran masyarakat dalam beragama.
Dengan tubuh manusia dan masyarakat yang dipenuhi dengan balutan stempel halal. Menurut saya, itu hanya membuat kita “merinding”, bukan karena melihatnya secara fisik, tapi bukti nyata keberagamaan masyarat di ambang pengdangkalan kritis. Setali tiga hal, dengan model keberagamaan simbolik dan takfiri, keagamaan yang penuh hipokrisi, dipenuhi dengan simbol dan penghakiman, hingga menjadi trendi tersendiri.