Mohon tunggu...
212 Masitha Aulia
212 Masitha Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Musik Indonesia dan Segala Warisannya

20 Desember 2022   13:00 Diperbarui: 20 Desember 2022   12:59 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan Tua yang Kaya Akan Sejarah

Jika berbicara tentang spot wisata di Malang, kebanyakan orang akan menyebut tempat wisata terkenal. Sebut saja Jatim Park dan Secret Zoo. Namun, pernahkah Anda terpikir untuk berkunjung ke sebuah Museum? Bukan Museum Angkut, melainkan Museum Musik Indonesia. Tempat ini beralamat di Jalan Nusakambangan no. 19 Kasin, Kecamatan Klojen, Malang.

Sehari saja tak cukup untuk mengeksplorasi koleksi museum ini. Dari luar, ia memang tidak terlihat seperti museum. Namun, seperti pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, jika masuk dan naik ke lantai dua kita akan menemukan alat musik drum yang dipajang di pintu masuk. Meskipun ruangannya terbatas, pengelola museum sangat welcome pada pengunjung sehingga terasa nyaman dan betah.

Ari Yusuf, pengelola museum, selalu ramah kepada pengunjung yang datang untuk riset maupun sekedar melihat-lihat. Ari – sapaan sehari-harinya – terlihat sedang menyusun rak berisikan piringan hitam. Begitu saya dan tim masuk, ia langsung menyapa kami dengan hangat.

“Cari apa, mbak?” sapanya ramah. Saya dan tim langsung saling melihat. ‘Cari apa? Ini benar museum kah? Kok kaya di toko musik?’ begitulah kira-kira isi pikiran kami. Salah satu teman saya pun menjelaskan maksud dan tujuan kami. Ari pun tersenyum dan menyilakan kami untuk mengisi buku tamu.

Tempat Para Penikmat Musik Bernostalgia

Dengan tiket masuk seharga Rp 10.000, kami dapat melihat-lihat koleksi sepuasnya. Museum ini menyimpan segala harta karun musik. Mulai dari piringan hitam vinyl, pita kaset, CD, majalah musik jadul, hingga berbagai alat musik. Alat musik tradisional ada, alat musik modern pun ada. Terdapat juga koleksi album fisik lagu anak-anak Indonesia.

Tak hanya itu, koleksi piringan hitamnya pun lengkap. Mulai dari instrumental Keroncong of The Orient karya The Steps, Ngelam Lami karya Waldjinah, hingga koleksi lainnya. Sungguh, tidak bisa disebutkan semua, saking banyaknya. Koleksi tersebut bisa diputar di turntable – alat pemutar piringan hitam. Biayanya pun murah, hanya Rp 5000 per piringan.

Ada juga pita kaset dari berbagai daerah, bahkan berbagai negara. Lengkap dengan ­tape recorder­ nya. Majalah musiknya pun selalu terawat, tak heran jika masih awet sampai sekarang. Semua majalah masih bisa terbaca. Namun, pengunjung harus tetap hati-hati ketika membacanya, mengingat koleksi tersebut sudah lawas dan mudah rusak. Jika rusak pun, mencari penggantinya sangat susah.

Museum ini juga menyediakan ruang tengah untuk pengunjung mengobrol sambil mengopi. Cocok bagi penikmat musik yang ingin berlama-lama disana untuk bernostalgia. Ada banyak koleksi alat musik tradisional yang bisa kita coba mainkan. Sasando, Bonang Sliring, dan alat musik kedaerahan lainnya.

Berawal dari Keisengan yang Membuahkan Hasil

Ari menjelaskan, museum ini berdiri sekitar tahun 70-80 an. “Awalnya, museum ini bertempat di garasi rumah orang. Terus, pindah di Griya Shanta. Dan akhirnya tahun 2016 pindah ke sini”

Dimulai dari hobi Hengki Herwanto - pendiri museum - mengumpulkan piringan hitam. Hengki tidak sendiri, ia bersama teman-teman komunitasnya berinisiatif untuk menyatukan koleksi mereka dan membentuk sebuah komunitas. Di tahun 2019 terbentuklah komunitas bernama Galeri Malang Bernyanyi, lalu berkembang menjadi museum dan banyak mendapat sumbangan.

“Museum ini milik yayasan, makanya belum diakui pemerintah. Yang mengurus pun masih saya dan yayasan, sama Pak Hengki juga. Karena namanya itu yang mahal, mbak. Jadi orang mengira ini museum penghargaan. Padahal, sebenarnya ya bukan” jelas Ari. “Pendirinya ya teman-teman lama Pak Hengki. Punya ide, lalu terbentuklah museum ini”

Terbentuknya museum ini juga karena gagasan dari Hengki dan kawan-kawan komunitasnya. “Iseng-iseng awalnya. Saya dan teman-teman mengumpulkan koleksi pribadi masing-masing. Lalu, tahun 2009 kami bikin sebuah komunitas, namanya Galeri Malang Bernyanyi” Hengki turut menambahkan. “Lama-lama komunitas ini berkembang di Malang, terus ke Jakarta, sampai Nasional. Terus, komunitas yang dari kota lain mengumpulkan semua koleksi mereka sebagai bentuk simpatinya. Koleksi pun bertambah.”

Tak hanya koleksi dari komunitas, museum ini juga mendapat sumbangan koleksi dari warga. Sebut saja koleksi radio dan tape recorder kuno yang ada di museum ini. Sebagian koleksi tersebut merupakan koleksi dari warga Malang yang merasa sudah tidak membutuhkan barang tersebut, mengingat jaman sekarang adalah era digital.

Musik Indonesia sebagai Warisan Sosial Budaya 

Bicara tentang jaman sekarang, musik tradisional dan musik lawas sudah tidak banyak dilirik oleh anak muda. Di era modernisasi ini, anak muda lebih tertarik untuk mendengarkan musik luar negeri ketimbang musik Indonesia. Hal ini sangat disayangkan oleh Hengki. Mengingat ia adalah penikmat musik keroncong.

“Pilihan genre sekarang cukup banyak dan beragam. Jadi seleranya pun berbeda-beda. Beda dengan anak jaman dahulu. Tahunya dangdut, keroncong. Musik karawitan juga. Kalau jaman dulu rock metal itu sudah paling keren” kenangnya. “Sebenarnya, ya, sayang. Kita punya warisan musik juga tapi tidak banyak yang tertarik. Tidak usah jauh-jauh. Komunitas musik tradisional di Malang saja sudah mulai jarang.”

Hengki bukan satu-satunya orang yang menyayangkan hal tersebut. Bambang Hermanto – pemilik Sanggar Karawitan Indonesia (SKI) – juga menyayangkan hal yang sama. Meski saat ini ia berprofesi sebagai guru MAN Kota Batu, ia masih sering mengajar karawitan di sanggar miliknya. Tidak hanya mengajar, ia juga terkadang mengikuti pementasan dan juga bermusik bersama seniman musik jalanan.

Bambang sudah tertarik untuk mempelajari seni sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Berkat hasil didikan orang tuanya yang juga merupakan pelaku seni, ia tertarik untuk mendalami musik karawitan dan seni ukir pahat kayu ornamen Jepara.

Seperti yg kita ketahui, sekarang genre musik sudah berkembang dan makin beragam. Namun, Bambang masih merasa musik tradisional Jawa masih melekat dalam hatinya. Berkat usaha dan inovasinya, Bambang berinisiatif untuk mendirikan SKI yang bertujuan untung menampung anak generasi muda yang masih tertarik dengan musik dan kebudayaan Jawa.

Kepada saya, ia menceritakan ketertarikannya terhadap musik dan kebudayaan Jawa. “Sejak kecil, musik Jawa sudah tertanam di jiwa saya. Maka dari itu saya akan berusaha agar seni musik tradisional tetap berkembang hingga sampai kapanpun sebagai wujud melestarikan budaya yg adi luhung warisan nenek moyang kita” ungkapnya.

Suka Duka dalam Upaya Pelestarian Musik Jawa

Dalam berproses, tentu tak hanya suka yang dialami Bambang. Hambatan demi hambatan dirasakan olehnya dalam usahanya mendirikan SKI. Segala daya upaya yang dilakukan Bambang, banyak sekali kendala yang dialami, khususnya pada media pembelajaran. Saat itu, harga satu set alat musik karawitan tidaklah murah. Membelinya pun sulit. Tempatnya jauh dan daerahnya tergolong sulit dijangkau.

Tetapi, Bambang tidak menyerah sampai disitu saja. Untuk mempertahankan seni musik tradisional ini, pada akhirnya ia menemukan solusi yaitu membuat sendiri media untuk belajar dengan cara memproduksi satu set alat musik karawitan secara mandiri. Hambatan yang juga sangat berarti baginya yaitu masalah sarana dan prasarana untuk berlatih.

“Pada saat itu, tempat berlatihnya sangat minim. Masyarakat di sekitar sanggar saya merasa terganggu dengan suara yang ditimbulkan. Sampai-sampai mereka menolak keras dibangunnya sanggar saya, karena kebisingan itu tadi” ceritanya. “Tetapi, pada akhirnya justru warga sekitar sanggar kami merasa diuntungkan pada 8 tahun terakhir ini. Karena modernisasi, banyak generasi muda yang meninggalkan budaya kedaerahan, sehingga warga sekitar mulai merasa sanggar saya sangat dibutuhkan”

Peran Muda-mudi Indonesia dalam Melestarikan Budaya

Di era modernisasi ini, memang banyak pemuda pemudi yang kurang tertarik dengan musik tradisional. Padahal menurut Bambang, peran anak muda dalam melestarikan seni tradisional amat penting. “Tinggal bagaimana kita sebagai seniman berinovasi, sehingga dapat membuat anak muda tertarik kembali dengan musik tradisional” jelasnya. “Seperti yang saya lakukan ini, dengan menciptakan karya musik tradisional-kontemporer, saat ini alhamdulillah banyak berkembang dikalangan muda”

Dengan segala upaya yang dilakukan oleh Hengki, Ari, dan Bambang, mereka berharap anak muda bangsa semakin tertarik dengan budaya tradisional Indonesia. Karena peran mereka sebagai penerus bangsa sangatlah penting dalam proses pelestarian budaya Indonesia. Saya pribadi juga memiliki harapan yang sama. Harapan saya, semoga dengan adanya Museum Musik Indonesia dan Sanggar Karawitan Indonesia, seni dan kebudayaan kita masih tetap diakui eksistensinya dan tidak hilang ditelan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun