Mohon tunggu...
21154almirasafra
21154almirasafra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah Mahasiswa Semester 7 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, Antara Harapan dan Realita Penanganan

23 November 2024   22:52 Diperbarui: 23 November 2024   23:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Stop Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan & Sumber : Dokpri

Hanya sedikit kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang berhasil terungkap, sementara sebagian besar tetap tersembunyi akibat stigma sosial dan minimnya dukungan bagi korban. Banyak korban memilih untuk diam karena takut disalahkan atau tidak dipercaya.

 Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan sekadar isu individu, tetapi juga persoalan struktural yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.

1. Data Terbaru: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan Meningkat di 2023
Menurut laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sepanjang tahun 2023 tercatat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual menempati porsi yang besar dengan 15.621 kasus. 

Angka ini menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan, mencerminkan realitas pahit yang dihadapi perempuan di Indonesia. Kekerasan seksual tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga memberikan dampak psikologis dan sosial yang mendalam, menuntut perhatian yang lebih serius dari semua pihak.

Data serupa dikonfirmasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), yang mencatat 6.993 kasus kekerasan seksual dari total 26.161 laporan kekerasan terhadap perempuan pada tahun yang sama. Lonjakan angka ini menjadi alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat upaya pencegahan, memberikan dukungan yang lebih baik bagi korban, dan memastikan penegakan hukum yang tegas. hal ini diperlukan agar perempuan dapat hidup tanpa rasa takut dan menikmati hak-hak mereka secara utuh.

2. Mengapa Kasus Kekerasan Seksual Terus Meningkat?
Berbagai faktor berkontribusi pada peningkatan kekerasan seksual terhadap perempuan. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu pemicu utama, memperburuk tekanan ekonomi dan sosial yang sering kali berujung pada kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. 

Ketidakstabilan yang ditimbulkan oleh situasi ini membuat perempuan lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik di ruang privat maupun publik. perkembangan teknologi informasi memunculkan tantangan baru berupa kekerasan berbasis gender online. 

Fenomena ini mencakup penyebaran konten intim tanpa izin, pelecehan daring, hingga ancaman digital lainnya. Walaupun teknologi membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, ia juga membuka ruang baru bagi kekerasan seksual, menjadikannya ancaman yang semakin kompleks untuk ditangani.

3. Hambatan Pelaporan: Rasa Takut, Stigma, dan Ketidakpercayaan pada Hukum
Angka kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat, namun jumlah kasus yang dilaporkan masih rendah. Komnas Perempuan mencatat bahwa banyak korban enggan melapor karena takut akan ancaman pelaku, stigma sosial, dan rasa malu. 

Menurut Dr. Zakiah Daradjat, seorang psikolog, "Stigma sosial seringkali memojokkan korban, membuat mereka merasa bersalah atau malu." Pandangan masyarakat yang sering menyalahkan korban semakin memperburuk keadaan, sehingga banyak korban memilih untuk tetap diam demi menghindari sorotan negatif. [1]  

Rendahnya kepercayaan terhadap sistem hukum turut menjadi penghalang. Banyak korban merasa bahwa aparat penegak hukum tidak akan memberikan keadilan, bahkan mungkin justru akan menyudutkan mereka lebih jauh. 

Berdasarkan laporan Kontras, antara Juli 2021 hingga Juni 2022, terdapat 18 kasus di mana aparat malah melakukan kekerasan terhadap korban, yang menunjukkan masih adanya kekurangan dalam sensitivitas gender aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Salah satu kasus yang cukup kontroversi terjadi adalah seorang siswi SMP menjadi korban pencabulan polisi berpangkat Brigadir inisial K di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung. Perempuan berusia 15 tahun ini diduga dicabuli polisi saat melapor kasus pemerkosaan yang dialaminya. Dugaan pelecehan seksual yang dialami korban terjadi di kantor polisi tempat korban melapor pada 15 Mei 2024 lalu. 

Ketika itu korban akan melaporkan pengurus pantinya, BS (53) yang telah memperkosanya sejak 2022-2024.[2] Bukannya mendapat perlindungan, ia malah harus mengalami perlakuan bejat dari anggota Polri tersebut Kasus dugaan pencabulan yang dilakukan polisi terhadap korban terbongkar atas laporan Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak Babel. Kasus ini ditemukan Komnas PPA Babel ketika memberikan pendampingan terhadapnya. 

4 Tantangan Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)

Implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menghadapi berbagai tantangan, salah satu tantangan utama dalam implementasi UU TPKS adalah ketidakadaan aturan turunan yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang tersebut secara efektif.

 Hingga saat ini, hanya satu dari tujuh peraturann pelaksana yang telah disahkan, yakni Peratutan Presiden tentang Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan aparat Penegak Hukum dan Lembaga terkait lainnya mengenai bagaimana menerapkan UU TPKS dalam praktik sehari-hari.

Selain itu, ketidakpahaman masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap substansi dan penerapan hukum ini, yang sering kali menghambat upaya penegakan keadilan bagi korban. Stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual juga menjadi penghalang besar, di mana banyak korban merasa takut melapor karena merasa dipersalahkan atau merasa malu. 

Keterbatasan sumber daya dan pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual dengan pendekatan sensitif gender menjadi kendala dalam memberikan perlindungan yang maksimal kepada korban. Kemudian perbedaan interpretasi atas pasal-pasal dalam UU TPKS di tingkat praktis, yang dapat memperlambat proses hukum serta membatasi efektivitas perlindungan dan pemulihan bagi korban.

 

Kesimpulan dan Harapan untuk Masa Depan
Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia mencerminkan adanya berbagai tantangan yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan yang menyeluruh dalam aspek pencegahan, penanganan korban, serta penegakan hukum yang adil. 

Kerja sama antara pihak berwenang dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan, meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender, serta memastikan adanya dukungan yang memadai bagi korban kekerasan seksual, agar mereka merasa didorong untuk melapor dan memperoleh keadilan yang sepatutnya.

Sumber : 

1. Susilawati, S. (2017). Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat (Doctoral dissertation, UIN Raden Intan Lampung).

2.  Kompas, https://regional.kompas.com/read/2024/07/31/103640678/anak-panti-asuhan-dicabuli-anggota-polisi-saat-buat-laporan-pemerkosaan, Diakses 15 November 2024

Penulis : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan Mata Kuliah Klinik Perlindungan Perempuan dan Anak terdiri dari M Fayyadh Hawwari (210200153), Almira Safra Dika(210200154), Agnes Elisabeth Sihombing(210200157), dan Nabila Azzahra (210200349).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun