Situasi semakin rumit ketika Lolly mulai membuka endorsement di media sosial untuk mendukung kebutuhannya selama bersekolah di luar negeri. Hal ini memicu amarah Nikita, yang merasa hal tersebut tidak pantas. Nikita bahkan meminta Lolly untuk kembali ke Indonesia, namun Lolly menolak dan memilih untuk tetap tinggal di Inggris.
Puncak konflik terjadi ketika Lolly mengungkapkan beberapa tindakan Nikita yang menurutnya bersifat represif. Dalam salah satu unggahan, Lolly mengaku diminta untuk menyebarkan pernyataan negatif tentang Antonio namun menolak, yang berujung pada ancaman penghentian pendidikannya di Inggris. Bahkan, tangkapan layar percakapan yang beredar menunjukkan adanya instruksi Nikita untuk menghukum Lolly dengan cara dikurung dan diberi makan seadanya jika berat badannya melebihi 48 kilogram.
Konflik ini kembali memanas ketika Lolly menjalin hubungan dengan seorang seleb TikTok bernama Vadel. Ketidaksukaan Nikita terhadap hubungan tersebut memuncak dengan aksi penjemputan paksa Lolly di apartemen tempat ia tinggal bersama Vadel. Penjemputan ini disiarkan langsung di media sosial dan berhasil menarik perhatian lebih dari 88 ribu penonton. Dalam video tersebut, Lolly terlihat histeris, dipaksa masuk ke mobil, dan dipaksa mengenakan celana saat rombongan Nikita Mirzani memasuki apartemennya. Meskipun penjemputan itu didampingi oleh KPAI, tetapi orang-orang dewasa di sekeliling Lolly tidak ada yang menghargai dan menghormati privasi Lolly sebagai seorang perempuan dan anak yang statusnya di bawah umur.
Hak Perlindungan Anak dalam Perspektif Hukum
Melihat situasi ini, penting untuk menyoroti posisi hukum Lolly sebagai anak di bawah umur. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Lolly, yang berusia 16 tahun, masih tergolong sebagai anak. Sebagai anak, ia memiliki hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, termasuk perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, dan eksploitasi, serta hak privasi yang seharusnya dihormati oleh orang tua dan pihak lain.
Publikasi konflik pribadi di media sosial, terlebih yang melibatkan anak, tidak hanya merugikan mental sang anak tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan anak. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk melindungi martabat dan kesejahteraan anak, bukan justru mengekspos konflik yang seharusnya diselesaikan secara internal.
Tudingan Pemaksaan Aborsi dan Aspek Hukum
Tuduhan bahwa Vadel, pacar Lolly, memaksa Lolly melakukan aborsi dua kali menjadi isu yang tidak kalah serius. Sebagai anak di bawah umur, Lolly berada dalam perlindungan Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini melarang persetubuhan dengan anak di bawah umur, bahkan tanpa kekerasan, karena anak belum memiliki kapasitas hukum untuk memberikan persetujuan. Ancaman pidana maksimal untuk pelanggaran ini adalah 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.
Terkait aborsi paksa, sejumlah peraturan hukum relevan untuk dianalisis, di antaranya:
Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Mengatur ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun bagi siapa saja yang melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan hukum.Pasal 60 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Fokus pada perempuan yang melakukan aborsi, tanpa menyebut pidana bagi pihak yang memaksa aborsi.- KUHP Pasal 346, 347, dan 348
Pasal 346: Perempuan yang dengan sengaja menggugurkan kandungannya dapat dipidana 4 tahun penjara.
Pasal 347: Pelaku yang menggugurkan kandungan tanpa persetujuan perempuan diancam pidana 12 tahun.
Pasal 348: Pelaku yang menggugurkan kandungan dengan persetujuan perempuan dapat dipidana 5 tahun penjara.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP: Mengatur bahwa pihak yang menyuruh atau turut serta dalam suatu tindak pidana dianggap sebagai pelaku.
Preseden hukum yang relevan untuk kasus ini adalah Putusan PN Kupang Nomor 242/Pid.Sus/2015/PN.Kpg. Dalam putusan tersebut, hakim menjatuhkan pidana kepada pelaku yang memaksa aborsi dengan menggunakan Pasal 194 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Putusan ini menunjukkan bahwa pihak yang memaksa aborsi, meskipun tidak langsung melakukannya, tetap dapat dijerat pidana.
Solusi dan Rekomendasi
Penegakan hukum harus lebih tanggap dalam menangani kasus yang melibatkan anak di bawah umur, terutama yang terkait dengan persetubuhan dan eksploitasi. Proses hukum harus cepat dan efisien, dengan fokus untuk melindungi anak secara menyeluruh---baik dari segi fisik, mental, maupun sosial. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga yang berwenang, dan platform media sosial sangat penting untuk mencegah penyebaran konten negatif yang bisa memengaruhi anak-anak. Penyebaran konflik yang melibatkan anak, seperti yang terjadi dalam kasus ini, tentunya sangat miris, terlebih saat proses tersebut melibatkan KPAI yang seharusnya bertugas untuk mengawasi dan melindungi hak-hak anak.
Konflik keluarga yang seharusnya bersifat privat sebaiknya tidak diekspos ke ruang publik, apalagi jika hal tersebut berisiko merusak hak anak. Menjaga privasi dan kesehatan mental anak adalah hal yang paling utama dalam situasi seperti ini. Masyarakat juga perlu lebih menyadari bahwa setiap konflik yang melibatkan anak sebaiknya tidak disebarluaskan begitu saja di media sosial, karena anak memiliki hak-hak yang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang solid antara masyarakat, penegak hukum, dan pemerintah untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap anak dapat dioptimalkan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada dan kebutuhan mereka yang masih rentan.
Perlindungan anak tidak seharusnya hanya menjadi sekadar peraturan yang tertulis, tetapi juga harus tercermin dalam tindakan nyata yang sesuai dengan realitas dan implementasi yang dapat diandalkan untuk menjaga hak-hak perempuan dan anak.