Mohon tunggu...
Gray Anugrah Sembiring
Gray Anugrah Sembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar Hukum

MAHASISWA FH USU

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kopi Pahit Itu Bernama "HAM"

10 Desember 2021   09:03 Diperbarui: 10 Desember 2021   09:19 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemahaman HAM yang Beragam dan Variatif

            Meninjau kembali persoalan Hak Asasi Manusia di Indonesia, tak pantaslah persoalan ini dibumihanguskan dalam realitas publik. Persoalan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia telah menjadi tema utama dalam perbincangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Embrio HAM di Indonesia sudah tersemai sejak Orde Baru masih berkuasa. Meskipun hilang, tenggelam, serta kadang muncul ke permukaan untuk kebutuhan elitis saja, permasalahan mengenai takaran HAM setiap harinya selalu menjadi konteks yang sangat menarik dan memprihatinkan apabila kita cerna lebih jauh.

            Sebelum lebih jauh berdialektika mengenai HAM, persoalan yang sering muncul adalah orang Indonesia belum mengerti apa itu HAM. Meskipun secara empirik tumbuh dan berkembang didalam masyarakat, tataran teorik dan praktik mengenai HAM masihlah jauh dari kata "paham". Berbagai alasan-alasan muncul tentunya di ruang publik, mulai dari ketidaktertarikan menanggapi isu ini dan yang sudah bosan mengkaji dan memberi perhatian karena tidak ada hasil progresif dari tahun ke tahun menelisik permasalahan sosial ini.

            Definisi klasik dan menggejala dalam pemaknaan HAM yang sering dipakai dan dikutip adalah A human right by definition is a universal moral right, something which all men, everywhere, at all times ought to have, something of which no one may deprived without a grave affront to justice, something which is owing to every human being simply because he she(he) is human (Cranston, 1923: 36).

            Dari definisi di atas dan sejumlah definisi lain yang diberikan dalam mencermati HAM, pemahaman atas HAM selanjutnya disebut sebagai berkarakter universal (untuk semua orang , waktu dan tempat), dimiliki oleh semua manusia (chan, 1995:28) dan harus dilakukan oleh semua manusia (Prajarto, 2003: 317). Dari sisi karakter ini saja sejumlah persoalan dan gugatan atas HAM kemudian mengemuka. Pertama tentang makna dan aplikasi universalitas HAM. Kedua, benarkah itu dapat dimiliki dan dilakukan oleh semua orang jika suatu sistem politik tidak memberi ruang gerak yang memadai?.

            Dari pengertian HAM saja, defenisi tentang Hak Asasi Manusia berbeda-beda ketika seseorang menganggap mereka mendapatkan hak itu sejak lahir,di sisi lain ada yang menganggap mendapatkan kelayakan daripada HAM semenjak dalam kandungan. Tentunya masyarakat awam semakin dibingungkan dengan tataran konseptual HAM tersebut. Belum lagi ketika kita meninjau apa saja batas-batas HAM tersebut, menurut PBB dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia (HAM) tentunya berbeda pula konsepsinya. Selama ini kita sudah terbiasa dengan definisi bahwa HAM adalah sebuah hak alamiah, hak yang "melekat" dalam diri setiap manusia. Demikian terbiasanya kita dengan definisi ini sehingga kita melupakan bahwa HAM yang kita kenal sekarang merupakan sebuah kesepakatan politik antar Negara, sebuah hukum internasional.

            Meskipun terjadi berbagai pengertian baik secara yuridis atau empiris yang pemahamannya beragam, penulis dalam hal ini juga  menegaskan dan menghilangkan anomali dan kebingungan tersebut dengan menegaskan bahwasanya setiap tindakan yang mengucilkan dan merendahkan manusia serta merampas hak yang seharusnya dimiliki subjek tersebut sudahlah ini termasuk dalam Pelanggaran HAM.

Antara Masa lalu dan Masa sekarang

Foto: https://id.pinterest.com/
Foto: https://id.pinterest.com/

            Pembahasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sampai detik ini tak kunjung menemui titik temu. Antara pemerintah yang tidak tahu cara menyelesaikan masalah tersebut atau ada sesuatu hal yang masih belum diungkapkan serta dibukakan sehingga keberanian untuk membuka dan menyelesaikan masalah tersebut selalu tumpul dikarenakan benturan kepentingan.

            Pelanggaran HAM hampir setiap hari terjadi di Indonesia, namun ruang untuk menyelesaikan setiap kasus tersebut tentunya berbeda pula. Ada pelanggaran HAM yang konteks penyelesaiannya cepat namun tak dapat dipungkiri juga masih banyak catatan-catatan hitam kelam yang belum terselesaikan pula pada hari ini.

            Salah satu tragedi pelanggaran HAM berat terjadi tahun 1965, tak dapat dipungkiri waktu itu eksistensi PKI memang sangat jaya melintang di bumi pertiwi sebelum adanya kudeta. Pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah puncak tragedi ini. Katakanlah menjadi Komunis salah pada saat itu, tetapi membunuh orang yang terindikasi komunis tanpa melewati proses sidang juga tetap salah.

            Negara dan Ormas pada waktu itu bekerja sama dalam berburu orang yang dituduh komunis. Pola-pola penindasan  yang dilakukan antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran penduduk secara paksa, dan penghilangan orang secara paksa.  Sejarah kelam mencatat setidaknya 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai dengan dalil pembersihan politik sehingga rasa kemanusiaan dibelakangkan. Hanya karena pemerintah menganggap dirinya benar, tidak seharusnya juga semua dari anggota tersebut bersalah. Pembantaian terhadap pihak-pihak tersebut sampai sekarang masih menjadi polemik panjang dalam menyikapi persoalan ini.

            Pada masa orde baru  dua nama paling fenomenal dan menjadi bagian bobroknya pemerintah dalam menyikapi masalah HAM adalah Marsinah dan Wiji Thukul. Marsinah adalah seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) yang ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993. Hal tersebut bermula ketika karyawan pabrik menuntut kenaikan upah agar sesuai dengan himbauan Gubernur Jawa Timur. 13 orang buruh yang dianggap menghasut segera dibawa ke Kodim Sidoarjo. Marsinah sempat mengunjungi rekan-rekannya, tapi pada pukul 10 malam ia menghilang. Mayatnya baru ditemukan 3 hari kemudian. Hingga kini Marsinah belum mendapatkan keadilan karena tidak ada seorangpun yang ditangkap untuk mempertanggungjawabkan kematiannya.

            Tahun 1998 lalu, 13 orang aktivis diculik paksa oleh militer dan tidak ada yang tahu dimana keberadaannya hingga kini. Sebenarnya ada 24 orang yang diculik, tapi 9 orang diantaranya bebas, dan 1 orang lainnya ditemukan tewas tiga hari kemudian di Magetan dengan luka tembak di kepala.

           Termasuk salah satunya adalah Wiji Thukul, yang merupakan seorang aktivis dengan puisi dan sajak nya yang mampu membuat pemerintah Orba terusik dan menganggapnya sangat mengganggu saat itu. Hingga akhirnya Wiji menghilang dan sampai saat ini belum ditemukan.

            Selain daripada nama-nama itu sebenarnya masih ada beberapa nama-nama yang diculik dan dibunuh yang tak terjabarkan secara luas oleh penulis seperti Munir yang meninggal didalam pesawat karena diracuni. Beberapa hari lalu mungkin adalah hari ulang tahun Munir apabila masih berpijak.Sungguh, Keberanian itu bernama Munir.

            Pelanggaran HAM hari ini juga nyaris sama memilukannya dengan kasus-kasus masa lalu. Nduga, misalnya, adalah salah satu potongan kisah kejahatan luar biasa yang tragis. Negara membiarkan 37 ribu rakyatnya terlunta-lunta kelaparan tanpa tempat tinggal sejak Desember 2018, bahkan membiarkan lebih dari 240 orang meninggal kelaparan dan beberapa, dengan jumlah yang belum teridentifikasi, mati di luar proses hukum. Awalnya bermula dari penembakan terhadap sejumlah pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga. Insiden tersebut kemudian menimbulkan reaksi keras dari tentara Indonesia dengan membumihanguskan kampung-kampung setempat yang berujung pada pengungsian massal penduduk ke hutan-hutan dan gunung. Tentunya hal-hal seperti ini haruslah menjadi prioritas pokok negara dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan tersebut.

Sudah Sampai Sejauh Mana?

            Apabila kita menoleh ke depan dan ke belakang, persoalan HAM masih berada dalam situasi stagnan. Kepedulian negara masih jauh dibawah angan-angan. Aksi Kamisan misalnya, setidaknya sudah tercatat 706 aksi didepan istana presiden tetapi respon tetap jauh dari harapan. Mulai dari mereka yang tersangka Pelanggar HAM oleh pengadilan militer masuk dalam jajaran kabinet hingga pembuatan Festival HAM yang diisi oleh ormas non-progresif yang pada saat itu berbicara mengenai HAM pula. Tak pantaslah mereka yang terduga pelanggar HAM berbicara seolah-olah mengerti dengan kondisi pilu hari ini. Konsepsi HAM tak jauh berbeda dengan seduhan kopi yang diaduk dengan berbagai kepentingan saja. Mungkin pahit menerima dan melihat distorsi hari ini. Mental dan Fisik sudah tidak memberi kompromi tetapi tonggak penyelesaian masih buram. Mungkin Keadilan hari ini  seakan mati tetapi tetap percaya kebenaran akan terus hidup selamanya.

SELAMAT HARI HAM SEDUNIA, INDONESIAKU!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun