Mohon tunggu...
Teresia
Teresia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teresia Sinaga

Menyukai pandangan hidup pribadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Isu Diskriminasi Rasial dalam Ruang Kebebasan Masyarakat Digital: Studi Kasus Gerakan Wakoisme

30 Maret 2024   11:54 Diperbarui: 30 Maret 2024   12:25 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu sosiologi merupakan salah-satu ilmu yang melahirkan narasi-narasi kritis dalam isu kemanusiaan. Meskipun, ilmu sosiologi identik dengan analisis masyarakat, namun secara implisit banyak teori dan analisisnya yang memperjuangkan nilai kemanusiaan. Seperti karya dan pemikiran sosiolog klasik Karl Marx mengenai perjuangan kelas antara kapitalis (berjouis) dan buruh (proletar), serta gagasannya tentang alineasi. Gagasanya melihat sisi getir individu/manusia yang merasa terasing (teralienasi) dari kehidupannya, terkhusus individu yang bekerja sebagai buruh. Posisi individu dinilai tidak lagi sebagai subjek, melainkan sebagai objektivitas ekonomi yang diekploitasi tenaga dan waktunya. 

Berakar dari keadaan itu, Individu juga merasa teralineasi (asing) dengan pekerjaanya, orang disekitarnya, hingga dirinya sendiri. Ini menjadi dasar bagi gagasan Karl Marx untuk mengembalikan makna/hakikat manusia (individu) sebagai subjek dalam kehidupan. Konsep ini menjadi pengantar, bahwa sosiologi membutuhkan nilai kepekaan dalam mengkaji masalah sosial, khususnya dalam konteks kemanusiaan. Tanpa adanya gagasan kesadaran, perjuangan kelas, dan konsep alineasi Karl Marx, mungkin buruh akan kurang dihargai dan mungkin “Hari buruh” hanyalah hari biasa di dunia. Sekilas mengulas balik bagaimana sumbangsih ilmu sosiologi dalam isu kemanusiaan (kemasyarakataan).

Isu diskriminasi rasial merupakan isu klasik dalam kajian sosiologi. Tidak menjadi isu baru atau masih “fresh” yang menyegarkan daya analisa kritis di dalamnya. Namun, pandangan itu bisa dekonstruksi kembali dalam memahami isu diskriminasi rasial dalam era sekarang. Pelecahan ras maupun gerakan pembela suatu ras, tidak hanya hadir di panggung dunia nyata, melainkan juga hadir dalam dunia virtual, dimensi lain untuk masyarakat virtual/digital berada. Kondisi ini sering disebut dengan “migrasi” besar-besaran dari ‘jagad nyata’ ke ‘jagad maya’ (Piliang, 2020). Realitas sosial-budaya akan terbentuk dalam pola interaksi para pengguna media sosial atau masyarakat digital. 

Dalam ruang digital, masyarakatnya memiliki kesamaan seperti dalam masyarakat biasa. Mereka dapat berkumpul, bergabung, dan akhirnya menciptakan sebuah kelompok (komunitas onnline) yang memiliki fungsi/bidang tertentu. Dalam realitanya, kelompok sosial di dunia nyata memiliki nilai, norma sebagai kontrol sosial dalam masyarakat, begitupun dalam sebuah kelompok virtual (komunitas) meskipun keberadaannya sangat lemah—bahkan tidak ada. Oleh karenanya, masyarakat virtual identik dengan masyarakat yang barbar, tajam, dan tidak terkontrol. Ini menjadikan pelaku media sosial (masyarakat virtual) cenderung bersifat (ego-centered) atau bertindak melalui pemahamannya sendiri. Kebebasaannya bertindak, beraspirasi dalam ruang virtual membuat beberapa narasi ekstrim kian berkembang dalam masyarakat digital.

Salah satu isu yang menjadi ekstrem di ruang masyarakat digital adalah konsep/ideologi anti rasisme (membungkam diskriminasi) yang disebut dengan Wokeisme atau Wokeism. Wokeisme adalah konsep yang lahir dari lingkungan aktivisme sosial yang peduli akan isu dikriminasi. Namun, secara mendasar Wokeisme menjadi sebuah ideologi yang menekankan kesadaran sosial terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan, khususnya pada ras, gender, orientasi seksual, dan kelas sosial (Feoline, 2024). 

Wokeisme sendiri merupakan aliran pemikiran asal Amerika yang mengecam ketidakadilan dan diskriminasi, dengan istilah lain adalah “gerakan” dan “bangun”. Istilah ini pertama kali dipopulerkan melalui pidato seorang aktivis, pendeta, dan filsuf politik Kristen Amerika, yakni Marthin Luther King. Dia merupakan presiden pertama Konferensi Kepemimpinan Kristen Selatan (SCLC), yang menjadi penggerak dan pemimpin dalam perjuang hak-hak sipil, khususnya bagi suatu “ras” berwarna melalui protes tanpa kekerasaan di Amerika Serikat. Wokeisme juga hadir sebagai bentuk ketidakadilan yang dirasakan Michael Brown pada tahun 2014. Ia dibunuh oleh polisi di Ferguson, Missouri, dengan alasan pendukung yakni rasial (kulit hitam). Berselang dua tahun, rilisnya film Stay Woke: The Black Lives Matter Movement pada tahun 2016 juga menjadi pembangkit kepopuleran ideologi/gerakan ini (Start, 2022).

Meskipun isu ini sangat populer dan hangat, namun banyak perdebatan yang hadir dalam memandang ideologi ini. Banyak pendapat pro dan kontra terhadap gerakan woke sendiri. Beberapa menilai gerakan ini dinilai lahir sebagai gerakan/ideologi yang positif dengan semangat perjuangan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan (terdiskriminasi). 

Para pendukung wokeisme sendiri berharap ada pencapaian penuh dalam gerakan ini. yang menuntut pada perubahaan yang lebih inklusif dan adil, sehingga kesetaraan dalam sistem sosial dan politik dapat terwujud. Disisi lain, wokeisme mendapat kejaman/kritikan yang cukup kontra. Hal ini dinilai dari perilaku dan gerakan woke yang semakin ekstrimis ideologis, yang mempersempit ruang bagi kebebasan berpendapat sehingga menyebabkan adanya polarisasi dalam masyarakat. Kemampanan dalam ruang kesetaraan yang diinginkan para aktivis wokeisme berubah menjadi sebuah keinginan mendominasi. Gerakan ini menjadi representasi masyrakat digital yang menggunakan kebebasaan berekspresi sebagai wadah ekstrim yang membalikan nilai suatu ideologi. Kesan wokeisme yang pada awalnya positif, kini berubah menjadi negatif karena implementasi yang tidak wajar (berlebihan).

Ditinjau dari teori ras yang digagas oleh W.E.B Du Bois lahirnya peristiwa diskriminasi rasial merupakan sebuah keadaan yang dapat merepresentasikan ide teoritisnya mengenai veil (selubung). Menurutnya, pemisahaan atau diskriminasi yang terjadi pada kelompok masyarakat berakar dari sebuah “sekat atau separasi yang jelas”. Sekat dalam hal ini bukanlah sebuah bentuk materil (kasar) seperti dinding tebal, melainkan sebuah materi yang tipis dan rapuh yang melalui itu individu dapat mengenal dirinya (ras) dan orang lain (ras). 

Selubung yang dimaksud Du Bois merupakan bentuk halus yang secara alamiah disadari individu. Bentuk itu dapat dilihat dari hal-hal yang bersifat biologis maupun sosial/budaya, yakni, bentuk fisik atau karakteristik fisik dan perilaku atau budaya/adat yang dijalankan. Apa yang dilihat individu/kelompok terhadap individu/kelompok diluar dirinya yang berbeda adalah simbol/bentuk representasi veil atau selubung. Sekat itu seakan menjadi kacamata bagi individu/kelompok untuk dapat melihat masing-masing ras dan memisahkan ras-ras tersebut diluar dirinya. Teori ras yang dijelaskan Du Bois mengindikasikan sebuah pemaknaan perbedaan dalam sebuah sekat ‘halus yang rapuh’. 

Perbedaan-perbedaan alamiah maupun sosial-budaya yang didapatkan manusia/individu adalah bentuk kerapuhan yang mudah patah. Secara implisit dia menyakini oleh karena sekat rapuh itu, maka aspek ras begitu mudah untuk menjadi objek yang didominasi (diskriminasi). Oleh karenanya, pergerakan Wokeisme yang memperjuangkan keadilan untuk ras menjadi wajah yang menggambarkan kondisi betapa rapuhnya “ras” dalam masyarakat di dunia. Ras kerap digunakan sebagai alasan untuk mendominasi dan mensubordinantkan ras lain. Seperti di Amerika Serikat, kelompok kulit hitam kerap kali menjadi objek diskriminasi mereka. Selain itu, Eropa juga kerap melayangkan bentuk tindakan rasisme pada masyarakat pendatang ras Asia. Meskipun kehadiran Woikeisme yang penuh pro dan kontra, namun tetap berasas dari yang namanya gerakan perjuangan anti diskriminasi rasial.

Wokeisme sebagai gerakan/ideologi yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan memiliki sisi gelap dan ekstrim menurut masyarakat digital. Beberapa perdebatan di media sosial sering kali mengkritik gerakan ini. bahkan, dukungan ekstrim yang ditampilkan ke media menjadi kurang etis dan menjadikan posisi minoritas over superior. Dalam kajian teori Du Bois keadaan tersebut lahir dari adanya kesadaran ganda (double-consiousness), perasaan ‘ke-dua-an’ (Ritzer & Goodman, 2004).  

Kelompok/individu yang terdiskriminasi secara rasial akan memandang dirinya dan mengukur dirinya melalui wahyu (pandangan) orang lain. Kelompok/individu yang mengalami ini cenderung akan merasa rendah diri dan memandang dirinya tidak pantas. 

Dalam kondisi ini, terjadi yang namanya konflik internal identitas, contohnya seorang Afrika-Amerika yang melihat dirinya sebagai seorang berkulit berwarna, dan melihat dirinya sebagai seorang terasing dari pandangan jijik mereka yang berkulit putih. Keadaan tersebut menjadi proses internalisasi pandangan eksternal yang memunculkan keberduaan yang menyebabkan individu merendahkan dirinya, akibat kurangnya pengakuan. 

Ketika individu terus-menerus menggunakan kacamata orang lain untuk mengukur dirinya, maka identitas dan ke-aku-annya akan mengabur. Oleh karena, kekaburan identitas, rendah diri, dan kurangnya pengakuan (apresasi) dari tindakan diskriminasi, beberapa individu yang berjuang dalam Wakoisme merasa mendapatkan wadah untuk mengeksplor dirinya. Dukungan dan bentuk penerimaan yang Wakoisme perjuangkan bagi Individu/kelompoknya, akan membuka keberanian mereka. 

Kesempatan untuk tampil sebagai individu yang bebas tanpa konflik identitas dalam diri, menjadikan seorang individu berpotensi untuk lepas kendali—over. Maka, banyak para simpatisan Wakoisme yang secara ekstrim menginginkan dominitas (kekuasaan) dibanding keseimbangan. Di lain sisi, berbagai film yang mengindikasikan ideologi wakoisme juga dianggap berlebihan oleh masyarakat digital (netizen). Salah satunya adalah film disney “The Little Mermaid 2023” yang diperankan oleh Halle Bailey. Berbagai kontra dan kritik mengarah pada aktris utama “Ariel” yang berkulit hitam. Dalam cerita disney animasi kartun, “Ariel” merupakan putri duyung berkulit putih. Film ini dikritik tajam karena dinilai menjadi pendukung wokeisme yang berlebihan. Hal ini, karena bentuk perjuangan atas kesetaraan Ras tidak sesuai porsinya dan cenderung dipaksakan. Gerakan wakoisme pada dasarnya memiliki tujuan yang baik pada awalnya, namun dalam lintas digital/kebebasaan bersuara, gerakan ini menjurus semakin ekstrim. 

Referensi:

Feoline. (2024, Maret 18). Wokeisme: Pandangan Pro dan Kontra dalam Konteks Kasus Kontemporer.Retrieved.from.Medium.com:https://medium.com/@fiolinesuwangsai/wokeisme-pandangan-pro-dan-kontra-dalam-konteks-kasus-kontemporer/

Piliang, Y. A. (2020). Masyarakat Informasi Dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial . Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial, 143-157.

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana .

Start, R. (2022, Februari 22). Wokisme » : mode d'emploi pour tout comprendre (Wokism": bagaimana memahami segalanya). Retrieved from Start Lesechos Website: https://start.lesechos.fr/societe/culture-tendances/wokisme-mode-demploi-pour-tout-comprendre-1388940

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun