Setahun sejak mimpi dan foto itu datang menghampiriku, aku berhasil melepaskan dunia abu-abu itu. Namsi adalah saudara laki-laki kandungku dan benar, semesta tidak merestui hubungan terlarang ini. Semesta mengambil Namsi dariku. Meskipun aku tidak seberuntung Namsi yang diadopsi oleh orang tua yang kaya, namun aku Bahagia dengan Ibu dan saudaraku yang ada di panti. Aku tidak iri kepadanya, bahkan aku mencintainya. Namsi mungkin merasa bersalah saat ini di sana, ia melakukan kesalahan besar dengan mencintai adik perempuannya seperti seorang kekasih dan meninggalkan adik perempuannya sendirian di dunia.
"Kak Namsi, meskipun kau tidak di sini bersamaku setidaknya kau pernah menjaga dan mencintaiku beberapa waktu. Mengetahui semua ini membuatku mudah merelakan kepergianmu. Dengan ini, aku tidak merasa bersalah untuk melupakanmu dan mengencani pria lain. Kak Namsi, terima kasih atas mimpinya. Saat ini aku tengah mewarnai duniaku." Aku menaruh satu buket bunga sembari mencium salib di atas makamnya. Hatiku sudah tak ragu lagi untuk melangkah.
Semakin aku berlari, semakin kutemukan warna duniaku yang dulu. Jatah bahagiaku harus kugunakan untuk waktu kedepan. Rasa sesak dan hampa yang pernah kualami saat itu adalah hasil dari ketidakterimaanku pada dunia. Sekarang, aku menerima fakta itu dan aku harus menjalani hidupku. Seperti sebuah pepatah yang pernah kudengar bahwa yang mati akan hilang dan yang hidup harus tetap melanjutkan hidupnya. Aku akan melanjutkan hidup dalam dunia berwarna dan menerima kematian mereka sebagai sebuah bagian dari perjalanan yang harus direlakan. Selamat tinggal saudaraku, Namsi yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H