Di dunia yang berwarna ini, aku hanya menitipkan pesan kepadanya untuk terus berwarna. Karena warna itu yang akan membuatku memiliki harapan dan gairah hidup. Â aku tidak akan mungkin membenci dan marah akan yang kulihat, karena mataku tahu mereka memiliki warna. Warna yang selalu memberi mataku makna dan pemahaman untuk selalu mengerti karakteristiknya. Warna yang tidak menenggelamkan pandangku pada kegelisahan dan penderitaan.
Secarik kertas berakhir di telapak tanganku. Kertas putih dengan tulisan bertinta biru. Isinya berhasil menarik ku memasuki dunia yang tak berwarna. Dunia yang senyap tanpa warna. Menyesakan setiap kali aku menarik nafas. Isi surat itu seakan berbicara dan menghisap perhatianku. Aku tidak berdaya, bahkan untuk meneguk ludah. Aku memainkan pikiranku agar tetap sadar. Bahkan, aku mengigit bibirku untuk beberapa saat---menahan sakit yang bergejolak di balik dadaku. Aku rasa dunia sudah tak lagi berwarna. Dunia mengkhianatiku. Jahat sekali.
Berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Â Tak terasa ini sudah tahun kedelapan sejak aku membaca isi surat itu. Rasanya aku tengah hidup dalam dunia abu-abu. Dunia yang mengincarku untuk patuh pada sisi lainnya. Setiap hari aku menyaksikan kehidupan manusia lain, bukan kehidupanku. Aku sibuk dengan sekeluwet permasalahan manusia lain dan bertatapan dengan masa laluku. Tidak mungkin jika aku tinggal sendiri dalam ruang milikku, setidaknya aku harus membiarkan manusia lain untuk masuk dan menyaksikan kehidupan mereka di dalam sini. Aku tahu dewasa memang terlihat seperti ini, terlalu merasa kuat sehingga semua terlihat mudah. Namsi, aku begitu menyedihkan sekarang.
Aku menutup wajahku dengan selimut tebal---Musim dingin sudah tiba sekarang. Meski sulit bernafas di baliknya, aku tetap menikmatinya. Setidaknya, inilah caraku untuk tetap menghangatkan tubuh, meski membuat pengap. Aku mengatur nafasku pelan, dan mulai memasuki ruang ketidaksadaraan. Setengah jam menurut perkiraanku, sejak aku merasakan dunia mimpi, namun tiba-tiba suara orang yang kukenal memanggilku kencang, "Nisa...Nisa!"
Aku terperanjat. Suara itu milik Namsi. Mengercapkan mataku beberapa kali, semua hal di kamarku terlihat begitu asing. Hangat sinar dari jendela di sebelah ranjang membuatku sadar berada di dalam mimpi. Namun, tidak mungkin mimpi senyata ini, bukan? Bahkan, kehangatan yang jatuh di permukaan kulitku terasa begitu nyata. Benar seperti sinar Mentari di pagi hari. Suara itu kembali lagi memanggilku. Kali ini aku langsung berlari mencari asal suara itu. Dan, aku menemukan orang yang memanggilku, duduk di atas motornya. Aku berantakan. Begitu bingung dan bibirku kelu. Bagaimana mungkin, kekasihmu yang telah lama meninggal, menjemputmu di depan rumah? Aku menangis sekencangnya. Memeluk erat dan menciumi wajahnya. Rasanya ini bukan mimpi. Bahkan, aroma tubuhnya begitu pekat memasuki indra penciumanku. Ini benar-benar sangat nyata. Apapun yang membuatku tetap disisinya, akan kulakukan. Aku rela mati dalam tidur panjangku. Aku tidak ingin kembali dalam dunia abu-abu itu, biarkan aku tetap di dunia yang berwarna ini. Kumohon.
Berangsur aroma tubuhnya menghilang. aku semakin memeluknya erat, meskipun kurasa pelukanku semakin renggang. Tubuhku melemah. Air mata semakin membanjiri wajahku. Di detik terakhir sebelum tubuhnya tersisa sebagai kepulan asap, Ia berbisik. "Dunia Mu akan berwarna jika kau memilih untuk mewarnainya." Aku terdiam, merenungi ucapanya. Kupikir itu adalah kalimat pertama dan terakhir yang dia ucapkan padaku, sejak kepergiannya. kupikir dia tidak akan mengerti perasaanku . Bagaimana aku harus bertahan untuk melupakan semua rencana yang telah kami rancang, janjinya untuk selalu bertemu di akhir ujian tengah dan akhir semester, janjinya untuk selalu memberi makan kucing dan anjing jalanan bersamaku di akhir pekan, janjinya untuk selalu bersama ke gereja, dan janjinya untuk saling peduli. Namsi, itu semua melekat di dalam ingatanku dan menjadi energi yang memberi warna pada dunia. aku sendirian sekarang bersama janji-janji itu.
"Nisa, Kau sudah bangun?"
Aku membuka mata perlahan. Menarik Luyia, Saudariku ke dalam pelukan. Dia tiba di saat yang tepat, aku merasa sesak. Aku membutuhkan pelukan saat ini, meskipun tetap terasa sulit. Mimpi itu menyadarkan keegoisanku selama ini. Dunia abu-abu yang kujalani selama delapan tahun belakangan bukanlah salahnya, ini salahku. Aku membiarkan masa lalu menghisap kebahagianku dan membuat warna dunia menjadi suram. Meskipun aku merasa bersalah, namun melupakan Namsi adalah hal yang tidak benar. Dan, mungkin akan kubiarkan Namsi Bahagia dalam ingatanku, begitu pun aku. Kami harus menerima takdir, meskipun ini sulit.
"Kau menangis? Apa terjadi sesuatu?"
"Tidak, aku hanya Lelah. Mengapa Kakak datang?" tanyaku.
Sebuah foto usang di berikan Luyia kepadaku. Foto itu menampilkan dua anak kecil yang terpaut usia tidak jauh. Kupikir anak laki-laki itu lebih tua. "Ini siapa. Memangnya kenapa dengan dua anak ini?" tanyaku kembali. Luyia tidak menjawab, ia malah membalikan foto itu dan dua nama tertulis di sana. Aku menatap nanar kedua nama itu, sembari membolak-balik foto itu tidak percaya. Aku dan Namsi adalah saudara? Sejak kecil aku tidak mengingat apapun. Aku hanya tahu bahwa diriku adalah anak yatim piatu yang berada di panti asuhan. Keberadaan orangtua ku pun tidak pernah kutanyakan pada siapapun. Ibu pengasuhku disini kuanggap Ibuku, jadi aku tidak peduli dengan keberadaan orangtua kandungku. Begitu sulit bagiku untuk mencerna keadaan saat ini. Bagaimana mungkin aku mencintai saudara kandungku seperti seorang kekasih? Apakah Namsi juga tahu aku saudaranya?