Mohon tunggu...
Suranti Pratiwi
Suranti Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sumatera Utara

Mahasiswi Agroteknologi, Fakultas Pertanian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Menuju Swasembada Gula, Si Manis Tebu Harus Tetap Eksis!

21 November 2024   07:25 Diperbarui: 21 November 2024   07:59 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: diolah dari Pusdatin Kementerian Pertanian, (2019), FAOStat 2020, dan Marpaung et al., (2011)

Indonesia sekarang adalah negara produsen gula yang "terpuruk", eksportir terbesar di era kolonial dan importir terbesar di era kemerdekaan. Pada era kolonial, Indonesia dikenal sebagai salah satu eksportir gula terbesar di dunia, bahkan pada tahun 1930-an mampu mengekspor lebih dari 2 juta ton gula.

Namun, sejak masa kemerdekaan industri gula mengalami kemunduran signifikan. Produktivitas tebu menurun drastis, dari 14 ton per hektar pada tahun 1930-an menjadi hanya 7,8 ton pada tahun 1968. Penurunan ini menyebabkan stagnasi produksi gula nasional yang mulai terasa sejak tahun 1994, sementara permintaan terus meningkat, terutama dari sektor rumah tangga dan industri makanan dan minuman. Ironisnya, kebutuhan gula yang semakin tinggi justru diatasi dengan impor yang semakin membebani devisa negara.

Sumber: diolah dari Pusdatin Kementerian Pertanian, (2019), FAOStat 2020, dan Marpaung et al., (2011)
Sumber: diolah dari Pusdatin Kementerian Pertanian, (2019), FAOStat 2020, dan Marpaung et al., (2011)

Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor gula mencerminkan lemahnya kemampuan produksi domestik dalam memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Padahal, Indonesia memiliki keunggulan geografis sebagai negara tropis yang sangat ideal untuk budidaya tebu. Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara maksimal, sehingga mengancam keberlanjutan ekonomi nasional. Jika ketergantungan impor ini tidak segera diatasi, bukan hanya perekonomian yang akan terbebani, tetapi juga peluang petani lokal untuk berperan dalam memenuhi kebutuhan gula nasional akan semakin tergerus.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengoptimalkan budidaya tebu yang diketahui memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan tanaman perkebunan lainnya, baik dari segi potensi usaha maupun kelayakan finansial. Tebu memiliki siklus panen yang relatif singkat, yaitu 10–14 bulan setelah tanam. Selain itu, tebu memiliki kemampuan untuk tumbuh kembali (ratoon cropping) hingga dua sampai tiga kali setelah panen pertama tanpa perlu penanaman ulang. Sistem ini tidak hanya menghemat biaya operasional, tetapi juga memungkinkan petani mendapatkan Return on Investment (ROI) lebih cepat.

Hal ini sebagaimana penelitian Fatah et al., (2024) yang menunjukkan bahwa budidaya tebu mampu memberikan hasil finansial yang cukup tinggi bagi petani. Dengan rata-rata biaya produksi per panen sebesar Rp. 81,85 juta dan total penerimaan mencapai Rp. 102,25 juta, petani memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 20,40 juta per panen di lahan seluas 2,818 hektare. Tingkat efisiensi usaha ini tercermin dari nilai R/C ratio sebesar 1,25, yang menunjukkan bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan menghasilkan keuntungan sebesar 25 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya tebu merupakan usaha yang layak dan menjanjikan, memberikan peluang ekonomi yang signifikan bagi petani lokal.

Selain potensi keuntungan yang besar, budidaya tebu juga menjanjikan peluang usaha yang stabil, bahkan di tengah krisis ekonomi. Permintaan terhadap gula cenderung konsisten, dan harga gula global menunjukkan tren meningkat. Data Bank Dunia pada Mei 2023 mengungkapkan harga rata-rata gula dunia mencapai USD 0,56 per kilogram (sekitar Rp. 8.389 per kilogram), naik 30,2% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mempertegas bahwa gula, sebagai kebutuhan pokok tetap memiliki daya tarik sebagai komoditas strategis.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, tebu ternyata memiliki keunggulan dalam diversifikasi produk yang mendukung pengembangan industri berbasis bioenergi, terutama di tengah transisi energi menuju pengurangan emisi karbon. Limbah tebu seperti bagasse dan molase, dapat dimanfaatkan untuk bioenergy yang menjadikannya komoditas ramah lingkungan yang relevan dengan tantangan zaman.

Selain itu, tebu juga bisa ditanam di berbagai kondisi lahan, baik marginal maupun subur, dengan menggunakan teknik irigasi yang efisien. Kemampuan ini membuatnya cocok untuk diusahakan baik oleh petani skala kecil dengan modal rendah maupun perkebunan besar yang lebih terintegrasi.

Dengan potensi besar ini, pengembangan budidaya tebu di Indonesia seharusnya menjadi prioritas. Dalam rangka menuju swasembada gula tahun 2024/2025, langkah strategis yang dapat dilakukan mencakup berbagai aspek teknis, kebijakan, dan infrastruktur untuk mendukung peningkatan produksi gula nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun