Mohon tunggu...
Annisa Ardhini
Annisa Ardhini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Haloo, Saya Annisa Suci Ardhini mahasiswa S1 ilmu sejarah 🙌🏻

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pilar Tak Terlihat: Peran Perempuan dalam Pers Kemerdekaan Indonesia

26 Mei 2024   07:00 Diperbarui: 26 Mei 2024   07:24 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 Pada era digital yang dipenuhi dengan informasi dan disinformasi, pers memiliki peran yang sangat penting.  Melalui pers, pendapat serta kritik dapat disampaikan secara lugas. Ini merupakan fungsi pers sebagai penghubung komunikasi antara individu atau khalayak yang ada di masyarakat (Padiatra, 2019). Sejarah Indonesia sebelum dan pasca proklamasi kemerdekaan tidak lepas dari peran pers sebagai media penting yang ikut serta dalam dinamika dan hubungan yang mengikuti perkembangan sejarah bangsa  (Yati, 2020)

  Perjuangan melalui pers ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Kaum perempuan juga menyadari pentingnya surat kabar sebagai sarana perjuangan melahirkan ide dan maju bersama dengan tujuan memperbaiki nasibnya agar perempuan bisa maju (Anggia, 2019). Namun, diskriminasi dan stigma terhadap perempuan masih terus berlangsung. Sepanjang sejarah pers di Indonesia peran perempuan terabaikan Ibarat PILAR TAK TERLIHAT. Dalam sebuah bangunan pilar merupakan bagian penting sebagai penyokong atau penyanggah, begitu juga dengan peran perempuan dalam pers sangat penting tetapi tidak terlihat dan sering diabaikan.

   Perempuan yang berani terjun ke dunia jurnalistik harus menghadapi berbagai rintangan serta tantangan mulai dari stigma sosial hingga diskriminasi di tempat kerja. Pada masa kemerdekaan, peran perempuan dalam pers mulai terlihat lebih jelas. Ada beberapa tokoh perempuan yang berhasil mendobrak batasan dan menjadi pionir bagi jurnalis perempuan di Indonesia. Kemunculan surat kabar perempuan bumiputera pertama di Hindia Belanda dipelopori oleh Tirto Adhi Suryo melalui surat kabar Poetri Hindia yang mulai terbit pada 1 Juli 1908. Kemudian ini memberikan efek domino terhadap berdirinya surat kabar perempuan bumiputra lainnya. Terbitnya Poetri Hindia ini melahirkan sosok Siti Soendari. Siti soendri menerbitkan surat kabar Wanita Sworo pada tahun 1913 di Pacitan (Urifatulailiyah, 2017).  

  Empat tahun setelah Poetri Hindia terbit, kemudian pada tahun 1912 berdiri surat kabar Soenting Melajoe yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang dipimpin oleh Rohana kudus salah satu tokoh pers perempuan di Indonesia ia lahir di Koto Gadang Bukittinggi, Sumatera Barat (Aini & Aria, 2018). Semangat dari rohana memberikan inspirasi bagi kaum- kaum perempuan lain untuk menyuarakan hak- hak mereka dengan menulis dan menerbitkan nya lewat surat kabar, seperti Saadah Alim (1898-1968) ia merupakan salah satu sosok perempuan Minangkabau yang muncul dalam dunia pers Sumatra’s Westkust di dekade kedua abad XX melalui pendirian majalah Soeara Perempoean pada 1917 (Yati, 2020). Masih dari Sumatera Barat, perkembangan pers oleh tokoh-tokoh perempuan semakin banyak. Rasuna said menjadi salah satu perempuan yang banyak berkontribusi dalam dunia pers (Nurjanah, 2017).  Di Sumatera timur pada saat itu perempuan di Sumut mendirikan koran yang bernama Koran Perempoean Bergerak, terbit Mei 1919 sampai Desember 1920 (Anggia, 2019). Memiliki tujuan yang sama yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta menjadi suara bagi yang tak bersuara, dengan menggaungkan hak-hak dan permasalahan perempuan pada saat itu dengan senjata pikiran, dan pena yang tidak berhenti menulis. Hal ini juga dilakukan oleh Surastri Karma Trimurti atau lebih sering dikenal dengan S.K Trimurti. Pada tahun 1939 S.K Trimurti dan suaminya sayuti Melik dengan semangat mengikuti kongres persatuan jurnalis Indonesia di Solo, dan setelah itu keduanya pun mendirikan majalah Pesat (Jazimah, 2016).

   Pada proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 disambut dengan gembira oleh rakyat Indonesia. Usaha utuk mengisi kemerdekaan dilakukan dalam berbagai bidang, termasuk organisasi perempuan dan dunia pers. Majalah Soeloeh Wanita menjadi majalah perempuan pertama yang muncul pasca kemerdekaan. Majalah tersebut diterbitkan di Malang tahun 1945. Selain itu muncul majalah Karja yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pekerja Perempuan Indoneisa tahun 1947. Tahun 1948 terbit juga majalah Wanita di Solo. Kemudian Pada tahun kelima setelah kemerdekaan yaitu pada 1949 Ani menerbitkan majalah Dunia Wanita pada Juni 1949. Majalah ini merupakan bentuk kesadaran Ani untuk mengambil bagian dalam kemajuan perempuan saat itu, terutama dalam mengisi kemerdekaan (Ningrum, 2018).

  Menjadi tokoh inspiratif yang berani menyuarakan hak-hak perempuan dan dikagumi banyak orang merupakan impian banyak wanita. Siti Latifah Herawati Diah adalah contoh nyata seorang wanita yang berhasil mewujudkan impian tersebut. Siti Latifah Herawati Diah atau sering dipanggil Herawati Diah merupakan salah satu tokoh pers perempuan yang memiliki kontribusi sangat besar untuk Indonesia dan beliau juga aktif memperjuangkan hak asasi perempuan. Peran Herawati Diah di dunia Pers Indonesia pada masa kemerdekaan. Herawati dan B.M Diah mendirikan Harian Merdeka. Herawati juga mendirikan dan mengelola surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia, yaitu The Indonesian Observer, Surat kabar ini pertama kali diterbitkan dan didistribusikan pada tahun 1955 pada Konferensi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat (Samsudin, Fitriana, & Dkk, 2021).

  Peran para tokoh-tokoh diatas memperkaya perspektif dan suara dalam pers nasional. Mereka mengangkat isu-isu perempuan, kesetaraan gender, dan pendidikan yang sebelumnya terabaikan. Hal ini mendorong pers nasional untuk lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan berbagai kelompok masyarakat. perempuan punya peran signifikan bagi kemajuan dunia jurnalistik, semua komunitas dalam masyarakat akan mendapat keuntungan bila ada kesetaraan  gender juga di dunia jurnalistik. Pengaruh para tokoh perempuan dalam pers berhasil meruntuhkan dinding   diskriminasi gender dalam dunia jurnalistik, mereka juga membuktikan bahwa  dengan semangat dan keyakinan yang ada sebuah perjuangan akan menghasilkan  sebuah keberhasilan yang sangat luar biasa Dan dapat  kita rasakan hingga sekarang.

Referensi

Aini, S., & Aria, R. D. (2018). Surat Kabar Soenting Melajoe Dan Wacana Nasionalisme (1912- 1921). Jurnal Pendidikan Sejarah, 430-443.

Anggia, L. (2019). Sejarah Pers Perempuan Di Sumut (Studi Analisis Wacana Kritis Perspektif Feminis Dalam Konten Koran ‘Perempoean Bergerak’ Di Sumut). Jurnal Simbolika, 60.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun