Pariwisata merupakan komoditas andalan sekaligus komoditas strategis dan primadona di Kabupaten Samosir, hal ini disebabkan karena Kabupaten Samosir memiliki keindahan alam yang luar biasa dan mempunyai peninggalan sejarah/situs dengan keragaman budaya da seni serta merupakan tanah leluhur/asal-muasal bagi seluruh ethnis Batak se-dunia.
Kabupaten Samosir memiliki potensi wisata alam, wisata budaya (peninggalan budaya/situs dan legenda), wisata air/rekreasi/pantai dan wisata rohani/religi. Objek-objek wisata ini menyebar di 9 (sembilan) kecamatan yang terdapat di Kabupaten Samosir. Salah satunya adalah Objek Wisata Huta Siallagan yang berlokasi di Desa Siallagan Pinda Raya, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Luas Huta Siallagan sekitar 11.000 meter persegi yang dikelilingi oleh tembok batu berukuran 1,5 hingga 2 meter. Bangunan tembok atau dindingnya terbuat dari batu dengan struktur rapi. Huta Siallagan memiliki potensi dan kekayaan Wisata Sejarah maupun Wisata Budaya, baik Budaya Tangible dan Budaya Intangible.
Sejarah Huta Siallagan
Huta Siallagan dibangun pada masa pemerintahan pemimpin Huta pertama, yakni Raja Laga Siallagan. Setelah itu dilanjutkan oleh pewarisnya yakni Raja Hendrik Siallagan, hingga keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Saat ini, sejumlah keturunan dari Raja Siallagan masih berada di sini, khususnya di desa Siallagan Pinda Raya, di mana Huta Siallagan berada. Makam nenek moyang mereka juga masih bisa ditemukan di Huta Siallagan.
Huta Siallagan sudah ada sejak lama, akan tetapi proses pembangunan berkelanjutan sebagai objek wisata belum dilakukan sepenuhnya. Tahun 2019, presiden Indonesia Joko Widodo bersama istrinya Iriana Joko Widodo, melakukan kunjungan ke kawasan ini. Kemudian, Joko Widodo menginstruksikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, agar melakukan revitalisasi. Joko Widodo mengatakan bahwa Huta Siallagan sudah dikelilingi oleh bangunan-bangunan modern, sementara Huta Siallagan tidak tertata baik, sehingga perlu diperbaiki.
Namun, sesuai dengan tinjauan penulis, keadaan Huta Siallagan dengan kondisi yang bagus, selain karna mendapatkan perhatian dari pemerintah, pengelolaan dan pemeliharaan juga dilakukan oleh masyarakat setempat, dan juga wisatawan yang sadar akan pentingnya menjaga sehingga bisa dikunjungi oleh wisatawan lain. Huta Siallagan dengan kekayaan wisata yang tentunya menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara menjadi. Objek wisata yang terdapat di Huta Siallagan berupa objek wisata Budaya Tangible dan Intangible.
Budaya Tangible Huta Siallagan
Hal pertama yang perlu diketahui adalah apa  itu Budaya Tangible. Budaya Tangible adalah bentuk atau objek kebudayaan yang berupa wujud nyata atau bersifat nyata, bisa dilihat dengan mata telanjang, bisa diraba (disentuh). Benda-benda tersebut masih digunakan di kehidupan masyarakat namun banyak juga modifikasi di dalamnya. Dan dibawah ini akan dibahas beberapa budaya Tangible yang ditemukan penulis di Huta Siallagan.
1. Rumah Bolon
Memasuki kawasan Huta Siallagan, sejumlah rumah adat Batak  dan Sopo akan ditemukan di tempat ini. Dalam tinjauan pada Jumat, 17 Mei 2024, penulis melihat rumah-rumah bolon yang berbaris. Terdapat sebanyak 12 rumah bolon yang masih berdiri kokoh, tanpa diberi sekat maupun pagar. Namun, di sekeliling perkampungan Huta Siallagan dikelilingi oleh tembok batu berukuran 1,5 hingga 2 meter. Bangunan tembok atau dindingnya terbuat dari batu dengan struktur rapi. Tembok itu sendiri pernah dilengkapi dengan benteng pertahanan dan bambu runcing untuk melindungi desa dari binatang buas dan juga serangan dari suku lain.
Menurut informasi yang penulis dapatkan di lapangan, Rumah Bolon memiliki makna filosofis bagi masyarakat setempat khususnya suku Batak. Salah satunya, atap dari rumah bolon yang lebih tinggi dibagian belakang dan lebih pendek di bagian depan. Ini bermakna agar keturunan dari keluarga yaitu anak memiliki derajat yang lebih tinggi dari orang tuanya. Kemudian terdapat seperti bentuk ukiran wajah singa dibagian depan rumah, yang bermakna penjagaan atau dulu lebih dikenal dengan nama Ulu Balang (juga bermakna penjaga rumah atau penajaga kampung). Ada juga simbol Payudara di bagian depan rumah, hal tersebut dimaknai sebagai kesuburan, artinya orang Batak bisa menjamu orang-orang yang datang ke rumahnya, baik dalam jumlah yang banyak. Selanjutnya, ada simbol Cicak yang bermakna adaptasi. Orang Batak harus bisa dan mampu beradaptassi dimanapun berada dan dalam berbagai kondisi dan keadaan. Selain itu tangga untuk masuk ke dalam rumah dibuat lebih rendah agar ketika masuk ke dalam rumah, posisi kita menunduk dan menunjukkan hormat kepada yang punya rumah dan dimaknai sebagai tanda rendah hati. Juga, tangga yang dibuat berjumlah ganjil. Artinya adalah keberuntungan. Dan tak kalah penting adalah ornamen-ornamen dalam Rumah Bolon dicat dengan warna merah, putih, dan hitam. Dalam kepercayaan orang Batak warna merah dimaknai sebagai kehidupan saat ini, warna putih dimaknai sebagai kematian (kembali kepada pencipta), sedangkan warna hitam artinya adalah akhir dunia atau kiamat.
Dalam wawancara dengan Bapak Parasian Sitinjak, bahwa Rumah Bolon yang ada di Huta Siallagan sudah mengalami pemugaran dan renovasi tanpa menghilangkan bentuk asli. Ada beberapa komponen yang diubah, seperti atap dari Rumah Bolon yang dulunya terbuat dari ijuk, Â namun yang penulis lihat sudah berubah menjadi atap kayu yang didatangkan langsung dari Kalimantan. Â
Namun demikian, Rumah Bolon tetap menjadi daya tarik bagi setiap wisatawan yang datang berkunjung ke Huta Siallagan dan menjadi spot yang menarik juga sebagai ikon dari Huta Siallagan.Â
2. Batu Persidangan & Batu Eksekusi
Dari hasil peninjauan oleh penulis, yang menjadikan Huta Siallagan istimewa adalah adanya sekumpulan kursi batu besar yang dipahat melingkari meja batu. Kumpulan artefak furnitur batu ini disebut Batu Parsidangan atau Batu Persidangan, yang artinya "Batu untuk Pertemuan dan Ujian". Batu-batu ini diyakini sudah berusia lebih dari 200 tahun. Kemudian, di tengah-tengah Huta Siallagan terletak pohon Hariara (Tin atau Ara), pohon ini dianggap sebagai pohon suci oleh orang warga sekitar.
Menurut penjelasan Bapak Parasian Sitinjak, pada zaman dulu, Batu Persidangan menjadi tempat mengadili pelaku kejahatan. Kejahatan yang dimaksud diantaranya mencuri, membunuh, memperkosa, dan juga menjadi mata-mata musuh. Kejahatan ringan, maka pelaku akan diberikan sangsi berupa hukuman pasung. Sementara kejahatan berat maka pelaku dapat dijatuhi hukuman pancung. Hari pelaksaan penghukuman dilakukan ketika si pelaku dalam keadaan lemah yang ditentukan menurut kalender orang Batak (sesuai penjelasan narasumber). Pelaku kejahatan pada masa itu, umumnya dilakukan oleh penduduk yang memiliki ilmu hitam.
Penulis mengamati tinggalan tersebut masih terpelihara, dan tetap dijaga sebagai wadah tradisi dan sekaligus untuk objek wisata yang dapat mengajak setiap wisatawan atau pengunjung ikut dalam mesin waktu ke zaman dahulu bagaimana ritual tersebut dilakukan. Selain itu, penulis juga dihidangkan dengan alat-alat yang dilakukan untuk eksekusi pelaku kejahatan, walaupun sudah dalam bentuk replika. Akan tetapi, hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri dari Huta Siallagan yang masih menyimpan tradisi dan masih terjaga sampai saat ini.Â
3. Patung Sigale-gale
Budaya Tangible yang tak kalah menarik dari Huta Siallagan adalah Patung Sigale-gale yang sangat ikonik. Singkatnya Patung Sigale-gale adalah replika dari Raja Manggale anak tunggal dari Raja Rahat, yang dulunya hilang ketika menghadapi peperangan. Karena sanga raja yang dalam posisi sakit karena sang anak tak kunjung pulang, maka Raja Rahat menyuruh untuk membuat patung dan melakukan ritual untuk memanggil arwah dari Raja Manggale.Â
Patung Sigale-gale memiliki keunikan yaitu dapat menari bahkan mengeluarkan air mata dan dapat bergerak sendiri saat ritual tertentu, seperti yang dahulu dilakukan untuk memanggil arwah dari Raja Manggale. Ritual tersebut memiliki tujuan untuk memanggil arwah yang sudah meninggal. Karena memang tidak ada upacara pemanggilan arwah, maka penulis tidak bisa menyaksikan boneka ini bergerak sendiri.
Namun, keseruan yang penulis dapat rasakan adalah penulis bisa menyaksikan tarian tor-tor bersama dengan patung Sigale-gale, bahkan ikut Manortor bersama dengan pengunjung yang lainnya. Di sana juga disediakan pemandu untuk pengunjung yang ingin Manortor. Bahkan penulis dan pengunjung yang lainnya disuguhkan untuk memakai ulos bahkan sor tali pada saat ingin menari dengan Patung Sigale-gale. Penulis juga sempat berkunjung ke Patung Sigale-gale yang ada di Tomok, Kabupaten Samosir yang jaraknya berdekatan dengan makam Raja Sidabutar. Hal ini tentunya menjadi daya tarik wisata bagi para pengunjung yang hendak ingin berwisata ke kampung Siallagan atau Huta Siallagan.
4. Makam
Huta Siallagan juga memiliki objek wisata yaitu situs makam keturunan Raja Siallagan. Di sekitar Rumah Bolon, tepat dibagian atas sejajar dengan Objek Sigale-gale terdapat Tugu keturunan Raja Siallagan yang masih berdiri kokoh. Walaupun tidak terlalu banyak diminati oleh para wisatawan namun objek ini tidak bisa dipisahkan dari bagian Huta Siallagan. Penulis perlu memperhatikan detail yang bahkan tidak menjadi objek menarik bagi kalangan wisatawan lainnya.Â
Budaya Intangible Huta Siallagan
Sedangkan Budaya Intangible adalah kebalikan dari Budaya Tangible. Budaya Intangible adalah kebudayaan yang bukan berwujud material, tidak dapat diraba secara fisik, termasuk didalamnya sistem pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam sistem tersebut. Sesuai dengan pengamatan penulis, bentuk kebudayaan Intangible di Huta Siallagan adalah berupa Tari dan Alunan Intrumen Khas alat musik  yang dipakai pada saat menari atau Manortor dengan Patung Sigale-gale.Â
Tari Tortor sendiri adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Tari Tortor ini adalah bentuk nilai budaya yang masih terjaga dan dilestarikan sampai saat ini khususnya di Huta Siallagan sesuai  dengan yang penulis lihat langsung di lapangan. Selain itu, media yang digunakan pada saat Manortor yaitu berupa bunyi atau musik yang khas juga merupakan kebudayaan berupa Intangible, selain alunan alat musik Gendang yang khas intrumen ini hanya dapat kita jumpai di Huta Siallagan dan Tomok.
https://drive.google.com/file/d/1UM3vaeZRo7nnKnkN-1gbbAfRrjnx38yd/view?usp=drivesdk (dokumentasi pada saat penulis sedang Manortor)
Penulis merasa bahwa melihat langsung rumah dan bangunan Batak serta melakukan atau menonton tarian Batak adalah pengalaman yang sangat menarik. Sudah seharusnya kita lestarikan Huta Siallagan dan cagar budaya lainnya sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia agar generasi berikutnya dapat mengenal dan menikmati keindahan bangunan dan pertunjukan budaya khas Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H