Seni merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dilepaskan di dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Menurut Drs.Popo Iskandar, seni adalah hasil ungkapan emosi yang ingin disampaikan kepada orang lain dalam kesadaran hidup atau bermasyarakat. Representasi penggunaan seni di dalam masyarakat bisa beragam bentuknya.Â
Mulai dari seni rupa,seni musik,seni gerak,seni sastra, dan seni teater serta pertunjukan. Dalam kenyataan empiris, seni dapat dilihat sebagai cara hidup yang bertalian dengan keindahan (Iswandi, 2019).Â
Keindahan yang tercipta dari seni secara tidak langsung akan menarik orang  yang menyaksikanya. Di dunia ini beragam bentuk seni tercipta dengan berbagai macam representatifnya. Mulai dari bentuk yang tidak masuk akal dan bentuk yang unik seakan-akan membuat semua orang terpaku untuk menikmatinya.
Keberadaan seni di mata publik bukan hanya untuk ajang keindahan saja. Akan tetapi, seni dari zaman ke zaman sudah mulai bertumbuh dengan cara dan tujuan tertentu. Di Indonesia kemunculan seni bermula dari mural pada masa revolusi. Pada saat itu dinding-dinding di kota besar Republik Indonesia sedang bergejolak, tulisan-tulisan bermunculan di gerbong kereta.Â
Seni adalah alat propaganda untuk mendukung kemerdekaan Indonesia (Irfansyah,2019). Dengan dibungkamnya gerakan perjuangan pada saat itu maka seni yang bergerak. Dengan banyaknya mural yang tercipta secara tidak langsung masyarakat awam yang menyaksikannya akan tergetar hatinya untuk sadar dan bergerak ikut menyuarakan kemerdekaan yang sedang diperjuangkan.
Eksistensi seni akan semakin melejit dengan adanya politik. Seni dan politik akan membuat sebuah perkembangan untuk mempertahankan kolektivitas masyarakat. Individu yang memiliki seni dan politik dapat disebut sebagai pengetahuan seni dan politik (Irfansyah,2019). Kebutuhan seni yang berkembang di masyarakat dapat tercermin di dalam kondisi politik daerah tersebut.Â
Pada tahun 1949 tepatnya pada masa perjuangan pertahanan kemerdekaan Indonesia, mural berukuran besar bermunculan dengan bunyi yang tertulis "merdeka ataoe mati". Tulisan tersebut muncul pada peristiwa kedatangan tentara NICA di Indonesia.Â
Karya mural tersebut merupakan sebuah karya seni yang sengaja ditulis untuk memantik kesadaran publik bahwasanya, negara ini belum merasakan kemerdekaan secara penuh. Apabila seni mural tidak di buat pada saat itu maka masyarakat Indonesia tidak akan pernah mengetahui kedatangan NICA. Selepas seni mural tersebut telah lama terpampang jelas di dinding-dinding tempat vital, publik pun semakin meningkat kesadaranya dan mulai memanas. Publik  yang semakin sadar akan tergerak  melakukan perjuangan walaupun dengan senjata apa adanya mereka dapat melawan dan mengalahkan NICA.
Seni adalah senjata komunikasi publik dalam menyuarakan isu-isu yang menyengsarakan masyarakat. Alasan utama seni sering membersamai masyarakat di dalam dinamika kehidupan ialah untuk menyadarkan peradaban dari problematika. Masyarakat terutama di Indonesia ini jika tidak dipengaruhi oleh seni mereka tidak akan sadar.Â
Dengan masih rendahnya pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat, mereka membuat sebuah ilmu cocoklogi dengan harapan dapat memahami keadaan yang ada. Bukanya memberikan sebuah resolusi bersama ilmu cocoklogi itu malah membuat sebuah kemunduran yang ada di masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang.Â
Hal ini akan memberikan ancaman yang serius terutama pada saat krisis telah melanda. Seperti pada tahun 1998, pada saat itu harga mulai meroket dan segala bentuk kebebasan masyarakat untuk berpendapat dibungkam. Jika dalam kondisi tersebut masyarakat masih menggunakan ilmu cocoklogi maka reformasi tidak akan terjadi.Â
Seni adalah daya kritis untuk mengkritik otoritas yang ada. Seperti kita ketahui bersama ketika fenomena demonstrasi terjadi tidak lepas juga akan ada sebuah karya seni yang membersamainya seperti : poster,spanduk,bendera, dan juga beragam hal lainya yang bertujuan untuk mengkritik.
Seni yang dibungkus dengan kritik akan menjadi alat penyadaran yang paling kuat untuk masyarakat. Pada masa reformasi demonstrasi yang terus-menerus terjadi menjadikan sebuah kebangkitan bagi karya seni. Dengan adanya isu Soeharto yang tidak bisa memenuhi  tuntutan yang di minta maka mosi tidak percaya pun bermunculan. Bahkan, seni musik  tercipta untuk menyadarkan masyarakat. John Tobing salah satu Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada menjadi salah satu aktornya.Â
John Tobing menciptakan sebuah lagu berjudul "Darah Juang". Dalam setiap liriknya John Tobing mencurahkan keprihatinan atas kemiskinan, kurangnya perhatian gizi, minimnya pendidikan, dan beragam pengangguran. Mereka mengalami hal seperti itu dikarenakan hak mereka dirampas oleh pemerintah. Lagu John Tobing ini selain menciptakan keindahan lagu ini juga tercipta sebuah pemantik untuk menyadarkan mahasiswa sampai saat ini untuk terus berjuang membela rakyat atas segala isu penindasan yang ada.
Kemudian pada tahun 2013, salah satu musisi jalanan yang biasa Iksan Skuter menciptakan sebuah lagu yang bernama partai anjing. Disini Iksan Skuter berusaha untuk menyuarakan pemberantasan korupsi yang belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Di dalam setiap liriknya sindiran-sindiran bermunculan mengenai tingkah laku  pejabat yang seharusnya mendengarkan aspirasi  rakyat.Â
Akan tetapi kenyataanya pejabat itu justru malah menghabiskan anggaran,menjual aset negara dan  melakukan berbagai tingkah laku lainya yang merugikan masyarakat. Melalui lagu ini banyak masyarakat yang mulai  tersadarkan bahwasanya, wakil rakyat yang mereka pilih tidak menjalankan amanah sesuai hukum yang berlaku. Akan tetapi justru malah melanggar hukum yang berlaku dengan melakukan korupsi. Kemudian di masa pandemi covid-19 ini masyarakat yang tidak bisa bermobilitas maka seni bergerak.Â
Mobilitas yang minim membuat kreatifitas semakin naik. Ancaman bukanlah sebuah penghambat akan tetapi ancaman adalah pengguat. Beragam karya mural bermunculan di tembok. Tiada lain tiada bukan kemunculan dari karya mural ini didukung kuat dengan banyaknya rakyat yang kelaparan, permasalahan kesehatan,dan pengangguran yang merajalela. Kemunculan karya ini bukan hanya menyadarkan masyarakat tapi pemerintah pun ikut sadar. Walaupun sama-sama tersadarkan akan tetapi respon kesadaran itu berbeda. Bagi masyarakat yang sadar ia berusaha bahu-membahu membuat mural dan ikut menyuarakan bahwa mural itu aspirasi bukan ancaman. Namun, hal itu tidak mendapatkan respon baik bagi pemerintah. Di kala pemerintah  juga ikut tersadarkan akan tetapi kesadaran itu justru  menganggap bahwa seni mural tersebut sebagai ancaman bagi suatu rezim.
Jika seni menjadi ancaman suatu rezim maka yang salah bukan seninya melainkan rezim berkuasalah yang salah. Di masa sekarang ini tepatnya isu yang sedang naik ialah isu penambangan di Desa Wadas. Isu wadas adalah isu penambangan yang berusaha untuk merampas  tanah warga Desa Wadas dengan tujuan  keperluan pemerintah membangun proyek strategis nasional. Dalam memperjuangkan aspirasi desa wadas ini banyak elemen masyarakat dan mahasiswa ikut memberikan aksi solidaritas.Â
Melalui puisi yang disuarakan pada aksi damai hingga karya seni lukisan dan poster telah menjadi sebuah media komunikasi dalam menyadarkan publik atas kondisi di Desa Wadas. Semula penambangan di Desa Wadas tidak begitu naik isunya, akan tetapi dengan bantuan seni yang dikupas dengan kritik-kritik tertentu  membuat isi ini menjadi naik dan masyarakat sadar bahwasanya saudara sebangsa dan setanah air di Desa Wadas itu sedang ditindas demi kepentingan oligarki.Â
Dari waktu ke waktu segala bentuk kritik selalu bermunculan dalam isu Desa Wadas ini. Perjuangan seniman untuk menyadarkan publik dalam berseni juga cukup sulit. Seni yang dibuat tidak membutuhkan waktu singkat. Akan tetapi, seni yang baru saja jadi malah justru dihancurkan oleh aparat dengan berbagai macam alasan.Â
Melalui kondisi ini bisa dikatakan bahwa, seni itu mahal karena hanya  di dalam karya seni itulah kebenaran akan terwakili. Dengan adanya tingkah represif tersebut membuat seniman terkadang di lecehkan dan tidak dihargai padahal di balik pembuatan seni itu penuh dengan penderitaan dan air mata yang tidak bisa di utaran secara jelas.Â
Ketika seni yang digunakan sebagai media kritik dihancurkan maka gejolak perlawanan dari seni akan bermunculan dengan nuansa yang lebih menyakitkan. Walaupun perjuangan belum tuntas keberadaan seni dan politik akan terus berkembang di dalam menyuarakan ketertindasan yang ada sampai kebebasan itu terpenuhi.
Refrensi
Pramana, Gede Indra, and Azhar Irfansyah. "Street Art Sebagai Komunikasi Politik: Seni, Protes, Dan Memori Politik." Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika 1, no. 2 (2019): 98.
Mohamad, Goenawan. "Seni dan Politik." Extension Course Filsafat (ECF) 1 (2014).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H