[caption id="attachment_176239" align="aligncenter" width="619" caption="Sebuah spanduk Rakornas Partai Demokrat bergambar SBY-Anas yang dipasang di persimpangan Jalan KH Mas Mansyur-Pejompongan, Jakarta Pusat ambruk akibat ditiup angin, Kamis (21/7/2011). Akibatnya, lalu lintas di kolong flyover KH Mas Mansyur dari arah Tanah Abang, Pejompongan, Karet, menuju Sudirman-Kuningan sempat terganggu selama satu jam. (KOMPAS.com/IMANUEL MORE GHALE)"][/caption] Spanduk!. Siapapun pasti tidak asing dengan kata ini. Tua-muda, pria-wanita, pejabat dan rakyat jelata semua pasti mengenalnya. Betapa tidak, kehadiran kain berukuran 2x3 atau 2x6 meter dengan deretan kalimat di atasnya sangat mudah kita temukan bukan hanya di daerah perkotaan melainkan juga jauh di pelosok pedesaan. Dipasang melintang di atas badan jalan namun ada kalanya dipajang di sisi trotoar seolah mengukuhkan eksistensi spanduk sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan social kemasyarakatan. Suka atau tidak harus diakui keberadaan spanduk memiliki kontribusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, khususnya dalam menjembatani berbagai kepentingan di berbagai kalangan seperti : Produsen dengan konsumen atau pemerintah dengan rakyat, Adalah Philip Kotler, seorang guru besar pemasaran pada Kellog Graduate School of management North Western University, dalam bukunya berjudul Dasar-Dasar pemasaran menulis bahwa papan iklan- baca : spanduk dan baleho, merupakan bagian dari media komunikasi bukan pribadi yang efektif. Menurut pria peraih Prize for marketing Excelence, hadiah untuk trainer penjualan terbaik, sebagai bagian dari strategi pemasaran spanduk memiliki banyak fungsi, diantaranya : pembentukan citra perusahan dalam jangka panjang, penyampaian informasi yang akurat serta media sosialisasi yang efektif. Berangkat dari apa yang disampaikan oleh pakar marketing di atas tidak mengherankan jika kemudian banyak kalangan memanfaatkan spanduk sebagai media atau sarana promosi atau komunikasi mereka. Alasannya selain komunikatif dan informative spanduk juga mempunyai nilai efisiensi yang tinggi. Baik dari segi waktu, tempat dan biaya. Kalau begitu pertanyaannya apa yang keliru tentang spanduk ? Dari segi substansi sepertinya tidak ada masalah. Karena sebagai media promosi dan komunikasi spanduk dinilai cukup " mujarab" dalam menyampaikan pesan dari produsen atau komunikator kepada target yang ingin dituju, yaitu : pembeli atau masyarakat luas. Akan tetapi dari sudut aplikasi di lapangan ini yang terus terang memprihatinkan kita. Ternyata polesan kata yang ditata apik di atas spanduk hanya menarik saat di baca saja. Selebihnya kita hanya bisa mengurut dada menyaksikan kemunafikan yang mencuat. Perhatikan berapa banyak spanduk yang terpampang dengan slogan garang untuk memberangus para koruptor di negara ini, seperti : KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI. Atau JANGAN AJARI KAMI JADI KORUPTOR, KORUPTOR ADALAH MUSUH BERSAMA BANGSA dan lain sebagainya. Tapi faktanya dari tahun ke tahun peringkat negara terkorup masih tetap kita sandang. Setidaknya sampai tahun 2011 Indonesia menduduki ranking ke -5 dari 146 negara yang di survey dan peringkat ke-1 untuk negara- negara sekawasan Asia Pasifik ( Survei dilakukan oleh badan Independent. Sumber : http://www.kaskus.us/ ) Begitu pula spanduk yang berisi seruan atau ajakan untuk menghidupkan sikap toleransi dan saling menghargai antara masyarakat yang multi cultural selalu banyak kita temukan di tengah dan pojok-pojok perkotaan, namun lagi-lagi hanya sekedar manis tatkala di baca namun pahit dalam realita. Tindak anarkisme masih kerap terjadi manakala terjadi beda pendapat antara kelompok masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Tengoklah kasus Ahmadiyah, tanjung priok, tragedi Mesuji, pelabuhan Bima, dan kasus-kasus lain yang tak kalah memiriskannya. Kesemuanya merupakan eksperesi dan symbol kegagalan kita dalam mengaktualisasikan apa yang kita bangun dalam tataran wacana. Pemerintah lelet dan tidak tanggap sementara rakyat seperti ilalang kering disiram bensin. Gampang tersulut dan hilang kendali diri. Selain daripada itu spanduk juga acapkali dimanipulasi oleh para politisi untuk " menjual diri dan partai " mereka kepada publik, khususnya saat-saat menjelang pesta demokrasi. Ketika itu "perang spanduk" berlangsung tidak kalah serunya dengan propaganda-propaganda lainnya. Bahkan tidak jarang pohon-pohon juga kebagian jatah sebagai ajang publikasi balon atau partai. Namun begitu segalanya usai janji yang terucap segera terlupakan disergap hiruk-pikuk euphoria kemenangan. Sementara nasib spanduk yang mereka tulis raib entah kemana berganti spanduk lain yang bertuliskan ucapan selamat dan sederet kalimat puji-pujian. Inilah fenomena ganjil yang terjadi pada bangsa kita di era reformasi sekarang. Senang dengan pencitraan yang dibangun lewat bahasa dan slogan santun yang memikat akan tetapi gagal dalam pelaksanaan di lapangan. Semestinya kalau slogannya tentang anti korupsi, pejabat yang berkuasa harus benar-benar menjaga diri agar tidak terperangkap dalam kejahatan krah putih itu. Kalau sloganya seputar isu pluralism, setiap orang seyogianya mampu menahan diri untuk tidak merendahkan apalagi menindas kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Dan kalau slogannya tentang isu lingkungan yang sehat dan bersih, semestinya tidak ada lagi sungai yang tumpat karena sampah yang menggunung. Tidak ada lagi WC umum yang berbau pesing karena tidak pernah di cuci. Tidak ada lagi penebangan pohon di zona-zona hijau perkotaan. Serta tidak ada lagi pengalih fungsian taman kota menjadi mall atau property lainnya. Sebab kalau kita hanya pintar berwacana, maka yang kita dapatkan pastilah hanya sebatas impian kosong tanpa nilai karena kebaikan tidak cukup dilisankan melainkan harus dilakukan. Bekerjalah ! Allah dan rasulNya akan melihat Sejatinya perubahan memang harus dimulai dari hal yang terkecil dan dari diri sendiri. Itu yang berulangkali diucapkan Abdullah Gymnastiar dalam setiap ceramah keagamaannya. Artinya perubahan tidak akan pernah hadir jika tindakan yang kita lakukan lebih fokus pada untaian kata indah di atas spanduk namun tidak berbanding lurus di alam nyata. Oleh karena itu sebelum terlambat mari bergerak bersama. Mari kita mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, dan sekarang ini juga. Saya siap. Bagaimana dengan anda ? ( ***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H