Mohon tunggu...
Ryen Meikendi
Ryen Meikendi Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Ingin berkenalan lebih jauh bisa mengunjungi Instagram @iniryen_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petandang | Cerita Pendek (Cerpen) - Kompasiana

6 Desember 2022   00:32 Diperbarui: 10 Desember 2022   23:55 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku meraih jaket warna hijau hooker's, perpaduan warna prussian blue dan gamboge yang menggantung di dinding kamarku. Sebuah jaket yang barangkali berbahan drill itu kukenakan pada tubuhku. Tidak ada aroma wangi sama sekali. Sengaja tak ku semprotkan parfum kepunyaanku. Sebab sebentar lagi, aroma laut dan udara yang segar akan tercium dari jaket ini. 

Aku bercermin sekali lagi. Riasan tipis di wajahku membuat jerawatku terlihat jelas. Blush on warna merah muda di bawah mataku, eyeshadows warna orange, juga lipstik merah muda yang kukenakan membuat wajahku yang katanya selalu murung itu mulai tersamarkan. Terakhir, kukenakan kacamata, kemudian meraih tas yang tergeletak di atas kasur. 

Aku memasuki sebuah mobil CR-V warna putih yang sudah menungguku sejak tadi. Melaju. Membawaku melepas rindu.

Suara sepatu mendekatiku. Aku menoleh. Seorang pria berkemeja hijau celadon, warna yang cerah dan bersemangat itu menghampiriku. Aku mencium tangannya. Aroma dari kulitnya menyeruak, singgah ke penciumanku. Wangi sekali. 

Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. Mengajakku ke suatu tempat. Tidak ada kata-kata rindu sama sekali. Hanya senyum tipis dan mata sipitnya yang ia suguhkan untukku. Aku hanya diam. Diam-diam sibuk menenangkan segala keriuhan di dalam hati. Entah kenapa aku menginginkan kebersamaan yang abadi. Perasaan cemas yang luar biasa akan perpisahan menguasaiku. 

"Kau ingin minum?" suara lembutnya menyapa telingaku. Aku hanya mengangguk. 

Dia kembali dengan sebotol minuman dingin, minuman kesukaanku. Minuman dengan campuran susu dan teh hijau. Aku meneguknya. "Kita mau kemana?" tanyaku.

"Kemana pun yang kau mau," ia kembali tersenyum tipis. Agh, aku suka senyumnya. Aku suka lengkung alisnya. Bulu matanya yang lentik. Aku suka matanya yang makin sipit saat ia tersenyum. Semua yang ada pada dirinya, aku suka.

Aku melepas jaket yang kukenakan. Memberikan kepadanya, dan memintanya untuk mengenakan jaket itu. Kemudian ia bertanya, "Untuk apa?" Aku hanya tersenyum. Sekali lagi ia bertanya, "Untuk apa? Kau saja yang pakai". Aku kembali tersenyum. "Aku ingin wangi tubuhmu untuk bisa kubawa pulang nantinya," terangku malu-malu. 

Angin menyapu wajahnya. Jerawat di wajahnya yang sepertinya sudah bertambah sejak terakhir kali aku bertemu itu membuatku gemas. Lebih gemas lagi ketika kudapati uban di kepalanya tetapi tak boleh dilepas. Makin banyak nanti katanya. Agh, aku ingin tahu segala hal tentang rumahku ini. 

Aku meraih tangannya, menggenggamnya erat. Manik cokelatku melemparkan pandangannya pada hamparan laut lepas. Aku merasakan angin sejuk menyentuh wajahku. Senyumku melebar saat ia membalas genggamanku sama eratnya. "Akan sulit mengatakan cinta pada seseorang yang benar-benar kita cintai," begitu kata ibuku. Saat-saat seperti ini, aku ingin mengatakan bahwa aku cinta. Tapi tidak, aku malah diam saja. Biarlah, biarlah tak perlu kukatakan.

Suara merdunya saat bernyanyi menghampiri telingaku. Matanya yang teduh menyentuh atmaku. Aku memejamkan manik cokelatku.

Aku jadi teringat saat pertunjukan malam hari di musim pancaroba Oktober lalu. Hal-hal sederhana, semacam menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahku ke daun telinga saat aku ingin makan. Atau memberikan semangat saat pertunjukan akan dimulai. Benar-benar menyentuh hatiku. 

Pernah di suatu malam saat pertama kali aku menyaksikan sekumpulan anai-anai cantik, berukuran cukup besar yang dari kejauhan nampak seperti kupu-kupu yang berterbangan. Seseorang itu, ia, menghampiriku. Memberikanku jaket, biar tidak kedinginan katanya. Agh, aku terlalu lama tidak mendapatkan perlakuan semanis itu sampai senyum-senyum sendiri dibuatnya. Lain hari setelah mengunjungi galeri seni bersamanya, sesaat sebelum malam tiba, kata-kata ingin bersama itu terucap dariku dan dari dirinya. Manis sekali.

Aku membuka mataku. Menatap lekat wajahnya. Rambutnya bergerak mengikuti arah angin. Langit biru mulai menghitam, pertanda hujan akan segera datang. Genggamannya padaku yang tadinya erat mulai melemah. Matanya perlahan sayu. Senyumnya mulai datar. Rintik hujan jatuh ke batang hidungku. Aku mulai takut. Aku takut hujan. Aku takut saat hujan sendirian. Ia perlahan melepaskan genggamannya. Benar-benar melepaskannya. Aku semakin takut. Hampir menggila. Aku pengidap ombrophobia. 

Hujan jatuh membasahi kota, dan ia tak tahu rimbanya. Aku semakin menggila. Menggumam yang entah apa. Airmata tumpah ruah, pipi pun kian basah. Suara gemuruh hujan membuatku sesak. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Aku ingin pulang ke rumah. Tetapi kemana? Ia bukan rumahku. Ia tidak benar-benar mengizinkanku untuk tinggal lebih lama. Sebab barangkali bagi dirinya aku hanyalah petandang, yang butuh tempat untuk sekedar singgah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun