Mohon tunggu...
Syaika Gilang
Syaika Gilang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Merupakan seorang mahasiswa semester 4 di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Intermestik: ASEAN Convention Against Trafficking in Person sebagai Instrumen Indonesia untuk Menanggulangi Isu Perdagangan Manusia

20 Juli 2022   22:47 Diperbarui: 20 Juli 2022   22:54 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini akan menjelaskan isu internasional dalam hal ini Human Trafficking dapat mempengaruhi perubahan suatu kebijakan Indonesia. Sampai saat ini, kasus perdagangan manusia semakin banyak. 

Kasus perdagangan manusia telah menjadi permasalahan global dalam penegakkan hak asasi manusia dan permasalahan ini merupakan ancaman serius yang harus diselesaikan karena melanggar norma, hak asasi manusia, eksploitasi serta melanggar martabat manusia sebagai manusia yang layak untuk dihargai dan dihormati. 

Dalam hal ini beberapa contoh kasus perdagangan manusia seperti kerja paksa, perbudakan, pemerasan, seksual, transplantasi organ dan pemanfaatan fisik untuk mendapatkan keuntungan secara materi dan non-materi. 

Perdagangan manusia tentunya mendapat perhatian dari internasional sebab memiliki dampak negatif yang cukup mengganggu bagi masyarakat, bangsa maupun negara. Dalam hal ini perdagangan manusia dapat dikategorikan sebagai kejahatan terorganisir bahkan kejahatan transnasional karena ruang lingkupnya yang semakin luas. 

Masalah ekonomi menjadikan perdagangan manusia menjadi solusi yang mudah dan cepat untuk memenuhi permasalahan ekonomi.

Adanya proses globalisasi ditandai dengan perluasan jaringan yang bersifat transnasional atau lintas batas negara. Globalisasi menimbulkan sebuah tantangan baru terhadap kebijakan suatu negara. Sebagai akibat dari adanya globalisasi sulit untuk membedakan dalam hal menentukan mana kebijakan yang dipengaruhi oleh politik internasional serta mana kebijakan yang dipengaruhi oleh politik domestik. 

Hal ini disebabkan karena keduanya saling berkaitan sehingga proses perubahan kebijakan suatu negara pun terbentuk karena adanya keterkaitan antara politik internasional dan domestik sehingga dibutuhkan sebuah kerangka teoritik yang disebut dengan Intermestik. 

Perubahan suatu kebijakan negara dapat dijelaskan melalui berbagai teori yang dibangun melalui jalan pikiran yang berbeda-beda. Dan yang perlu dilakukan pertama yaitu mengidentifikasi berdasarkan unit analisis melalui tiga pendekatan intermestik yaitu pendekatan domestik, internasional dan transnasional

Dalam tulisan ini, Penulis menggunakan pendekatan intermestik internasional dengan menggunakan model preferensi global.  Dimana dalam model preferensi global menjelaskan bahwa terjadinya politik melibatkan aktor-aktor diluar negara dan isu yang dibahas tidak hanya terbatas pada kepentingan-kepentingan negara namun lebih luas. 

Di era globalisasi ini batas negara menjadi tidak terlalu berpengaruh dalam hubungan internasional dan politik global, dimana saat ini negara tidak lagi memiliki peran sebagai aktor utama, sebab banyak aktor non negara yang berperan secara lintas batas negara, 

sehingga proses kebijakan negara sulit bahkan tidak dapat bersifat independen kemudian, isu yang melatarbelakangi hubungan lintas batas negara tidak hanya isu keamanan dan politik saja melainkan juga isu ekonomi, kemanusiaan, lingkungan dan lain lain. 

Dalam model preferensi global, lembaga lembaga menentukan sebuah agenda, mendorong pembentukan sebuah koalisi dan menyediakan suatu pedoman bagi negara.

ASEAN memiliki arti yang strategis dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman serta tantangan guna mewujudkan perdamaian dan stabilitas kawasan. Indonesia sendiri merupakan negara yang aktif dalam mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkan ASEAN ke dalam kebijakan nasional. 

Seperti yang sudah dijelaskan bahwasannya perdagangan orang merupakan sebuah tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Dengan begitu hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Indonesia sendiri telah memiliki hukum yang mengatur atas tindak pidana perdagangan orang yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Berbagai kemajuan telah dicapai dan berbagai tantangan dihadapi. Indonesia dalam hal tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bukan hanya sebagai negara pengirim atau penerima, melainkan juga sebagai negara transit perdagangan orang. 

Banyak dari korban TPPO merupakan perempuan dan anak. Berdasarkan laporan dari Bareskrim, polri pada tahun 2018 70% dari korban TPPO merupakan perempuan dan anak sedangkan sisanya ialah anak laki-laki dan laki-laki dewasa.

Dalam upaya untuk mencegah serta memberantas perdagangan manusia dikawasan Asia Tenggara, negara-negara anggota ASEAN membentuk sebuah perjanjian mengenai perdagangan manusia dalam hal ini, ASEAN Convention Against Trafficking in Persons yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 21 November 2015. 

Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi ASEAN Convention Against Trafficking in Person (ACTIP) pada tanggal 10 November 2017 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 berkenaan dengan pengesahan ACTIP yang menentang perdagangan manusia. Sebagai akibat dari hukum serta ratifikasi perjanjian internasional ACTIP, Indonesia terikat dengan perjanjian tersebut sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1969 pasal 11 dan 14. 

Indonesia memandang bahwa TPPO sebagai salah satu bentuk dari kejahatan lintas negara yang perlu adanya penanggulangan secara komprehensif mulai dari perlindungan korban, pencegahan hingga penegakan hukum yang multi dimensi. 

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa TPPO merupakan kejahatan yang bersifat Internasional sehingga dibutuhkan penguatan atau peningkatan kerjasama internasional dengan melibatkan aktor-aktor kawasan. Indonesia melakukan pengesahan ACTIP berguna untuk melindungi, memajukan dan melaksanakan ketertiban dunia serta menjunjung keadilan sosial. 

Dengan penetapan ACTIP sebagai sebuah Undang-Undang negara, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN berkomitmen untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan manusia terutama perempuan dan anak dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang telah disepakati. 

Dengan mengesahkan konvensi tersebut timbul pertanyaan apakah ratifikasi perjanjian yang dilakukan oleh Indonesia dapat mencegah atau memberantas tindak perdagangan orang?

Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwasannya perdagangan manusia disebabkan oleh banyak faktor antara lain, kondisi dari masyarakat yang cenderung masih belum memiliki kesadaran, kepedulian masyarakat yang masih minim serta pengetahuan masyarakat mengenai perdagangan manusia yang masih awam. 

Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga masih awam dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Upaya-upaya eksternal dan internal dilakukan, salah satu upaya eksternal ialah ratifikasi dari ACTIP yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. 

Dengan begitu dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah Indonesia dalam melaksanakan implementasi dari ACTIP itu sendiri. 

Sedangkan upaya internal yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memperkuat hukum terutama dalam konteks pelanggaran hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, sehingga implementasi dari Undang-Undang serta kebijakan atau peraturan turunannya dapat dilaksanakan secara maksimal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun