Mohon tunggu...
Ali Soegiharto
Ali Soegiharto Mohon Tunggu... Insinyur - Menjelang Senja

warga bangsa Indonesia, bukan orang penting, lahir di DCI Jakarta, lewat setengah abad yang lalu, puluhan tahun hilir mudik di Jabodetabek, sedang cemas menanti waktu, kapan semua ini berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekan Pertama #KerjaDariRumah, Sebuah Kesan

21 Maret 2020   23:14 Diperbarui: 24 Maret 2020   15:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Semoga bad-days cepat berlalu." - AKH

#KerjaDariRumah sudah diserukan oleh Gubernur DKI secara formal kemarin. Judulnya cukup menghentak jiwa: sebuah seruan untuk "Penghentian Sementara Kegiatan Perkantoran Dalam Rangka.....(COVID-19)." Berlakunya efektif sampai 2 April 2020. Sebuah waktu yang cukup lama.

Kenyataannya, sejak awal pekan ini, kantor saya telah mulai menerapkan #socialdistancing atau #JagaJarakDulu, dalam bentuk #KerjaDariRumah. Biarpun ketika di awal penyebaran pengumuman kebijakan ini, banyak kegalauan dari para karyawan di kantor saya.

Dari yang bertanya apakah dia boleh ke kantor untuk mengambil charger hapenya. Hingga pertanyaan yang agak memilukan dari seorang penata kebersihan: "Pak, saya dirumahkan?"

Alhamdulillah, umumnya menanggapi positif, mungkin karena pengumumannya secara khusus menyatakan bahwa gaji dan tunjangan akan  dibayar penuh. 

Bagi perusahaan perdagangan seperti kami, banyak pelanggan kami yang juga menerapkan #JagaJarakDulu. Sehingga memang kami menilai kehadiran seseorang di kantor untuk beberapa pekerjaan tertentu menjadi tidak efektif.

Apalagi, pembatasan kapasitas transportasi umum di wilayah DKI bisa menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang commuting dengannya.

Kondisi seperti ini juga memicu saya yang Gen-X, dan beberapa dari manajemen puncak dari generasi baby-boomers untuk menyesuaikan diri dan belajar cara-cara baru bagi kami untuk bekerja. Salah satunya adalah aktifitas Video conferencing. yang bukan hal baru, tapi bagi kami untuk benar-benar mengandalkan teknologi tersebut benar-benar merupakan pengalaman baru dan menguras stamina. Aplikasi Zoom, dipilihkan bagi kami oleh staff kami yang milenial, karena terdapat fitur-fitur yang sesuai dengan kebutuhan kami - sebuah pilihan yang tepat. Apalagi, kami tidak memerlukan perangkat tambahan selain dari yang selama ini sudah kami miliki - namun belum dimanfaatkan secara optimal. Teknologi yang dulu eksklusif ternyata telah terdisrupsi sehingga bisa makin terjangkau, karena gratis.

Pertemuan demi pertemuan internal maupun dengan pihak luar yang difasilitasi aplikasi tersebut kami lalui dengan baik sepekan kemarin., meskipun USD 1 sudah menembus angka IDR 16.000,-

Memang sekarang adalah jaman kebangkitan para milenial. Mereka tumbuh di sebuah jaman yang berbeda sehingga memiliki tanggap dan pandangan yang berbeda tentang kehidupan dan terutama cara bekerja, dibandingkan generasi sebelumnya. Hal tersebut, membuat mereka lebih efektif memanfaatkan perkembangan teknologi. Biarpun saya tetap beranggapan mereka tidak lebih lincah dari kami - paling banter, sama saja. Sesuatu yang menenangkan, saya masih relevan.

Namun saya merasa bahwa bekerja dari rumah malah telah memaku saya untuk tetap di meja saya. Bahkan sebelum jam kantor resmi, dan sampai melampaui jam kerja kantor normal. Di ujung hari kerja di pekan ini, saya merasa fisik ini lebih lelah dibandingkan dengan hari-hari di masa normal dulu. #KerjaDariRumah butuh stamina.

(Salah seorang staff saya yang merupakan milenial generasi awal pagi tadi mengingatkan saya untuk menyempatkan bergerak dan berjemur, dengan menyertakan tautan video seorang dokter spesialis paru-paru yang menyatakan bahwa daya tahan tubuh terhadap virus akan menurun dengan kurangnya kita bergerak dan terpapar sinar matahari. Untuk yang ini saya tambah yakin, generasi saya apalagi yang sebelum saya harus lebih arif, istilahnya: umur tidak menipu.)

Ada satu hal yang mungkin subyektif, namun dengan tidak keluar rumah untuk ke kantor (maupun kemana saja) telah meniadakan interaksi sosial di luar rumah secara fisik. Meski hanya ketika memberikan sekeping logam seribu Rupiah ke "Pak Ogah" yang mengatur lalu-lintas, atau sekedar melihat warga masyarakat lain beraktivitas. Mungkin butuh pembiasaan, untuk menggantikan bentuk interaksi di dunia fisik semacam itu dengan teknologi  - tapi mungkin memang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Manusia memang mahluk sosial.

Ironinya, dinding dan atap rumah seolah menjadi pemutus realita, dimana kenyataannya di luar sana sedang terjadi sebuah kejadian luar biasa, sebuah bencana wabah. Begitulah makna sebuah bangunan yang kita sebut rumah, menjadi naungan bagi penghuninya namun juga sebagai dengan dunia luar. Menenangkan tapi sekaligus menumpulkan rasa.

Mungkin tulisan ini adalah awal sebuah sequel, tapi itu tidak penting. Saat ini saya kira, yang terpenting adalah doa dan harapan: semoga bad-days cepat berlalu.

Allahu 'alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun