Namun saya merasa bahwa bekerja dari rumah malah telah memaku saya untuk tetap di meja saya. Bahkan sebelum jam kantor resmi, dan sampai melampaui jam kerja kantor normal. Di ujung hari kerja di pekan ini, saya merasa fisik ini lebih lelah dibandingkan dengan hari-hari di masa normal dulu. #KerjaDariRumah butuh stamina.
(Salah seorang staff saya yang merupakan milenial generasi awal pagi tadi mengingatkan saya untuk menyempatkan bergerak dan berjemur, dengan menyertakan tautan video seorang dokter spesialis paru-paru yang menyatakan bahwa daya tahan tubuh terhadap virus akan menurun dengan kurangnya kita bergerak dan terpapar sinar matahari. Untuk yang ini saya tambah yakin, generasi saya apalagi yang sebelum saya harus lebih arif, istilahnya: umur tidak menipu.)
Ada satu hal yang mungkin subyektif, namun dengan tidak keluar rumah untuk ke kantor (maupun kemana saja) telah meniadakan interaksi sosial di luar rumah secara fisik. Meski hanya ketika memberikan sekeping logam seribu Rupiah ke "Pak Ogah" yang mengatur lalu-lintas, atau sekedar melihat warga masyarakat lain beraktivitas. Mungkin butuh pembiasaan, untuk menggantikan bentuk interaksi di dunia fisik semacam itu dengan teknologi  - tapi mungkin memang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Manusia memang mahluk sosial.
Ironinya, dinding dan atap rumah seolah menjadi pemutus realita, dimana kenyataannya di luar sana sedang terjadi sebuah kejadian luar biasa, sebuah bencana wabah. Begitulah makna sebuah bangunan yang kita sebut rumah, menjadi naungan bagi penghuninya namun juga sebagai dengan dunia luar. Menenangkan tapi sekaligus menumpulkan rasa.
Mungkin tulisan ini adalah awal sebuah sequel, tapi itu tidak penting. Saat ini saya kira, yang terpenting adalah doa dan harapan: semoga bad-days cepat berlalu.
Allahu 'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H