Mohon tunggu...
Ali Soegiharto
Ali Soegiharto Mohon Tunggu... Insinyur - Menjelang Senja

warga bangsa Indonesia, bukan orang penting, lahir di DCI Jakarta, lewat setengah abad yang lalu, puluhan tahun hilir mudik di Jabodetabek, sedang cemas menanti waktu, kapan semua ini berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontradiksi Antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Penghematan Energi

16 Agustus 2015   11:32 Diperbarui: 16 Agustus 2015   11:32 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi kalau mau menghemat energi, seharusnya gampang: Stop gunakan semua peralatan listrik, dan mesin yang menggunakan BBM. Niscaya penggunaan energi menjadi nol. Sebagai bukti, hal ini pernah dicoba dilakukan beberapa tahun yang lalu ketika pemerintah menginstruksikan kepada para stasiun televisi untuk berhenti siaran jam 12 malam - dan terbukti mengurangi penggunaan energi nasional.

Namun sebuah ironi adalah ketika diberitakan bahwa penggunaan energi listrik di Bekasi turun ketika masa libur lebaran - mungkin karena rumah-rumah kosong ditinggal mudik pemiliknya. Dikatakan bahwa perusahaan listrik telah berhemat sekian milyar. Ironi karena yang memberitakan adalah perusahaan listrik regional Bekasi - namun berita yang imbang harusnya menyatakan bahwa terjadi perpindahan kegiatan mengkonsumsi listrik dari Bekasi ke berbagai tempat mudik warganya, dengan menyajikan total penggunaan energi yang terjadi.

Hal ini masih lebih ironis lagi bilaman yang saya dengar benar adanya: Penggunaan energi menurun, namun apakah pembangkitan juga menurun sebagaimana penggunaanya. Karena pembangkitan energi listrik umumnya menggunakan konsep fixed. Kalau ini benar, semoga tidak, terjadi pemborosan besar-besaran karena energi yang dibangkitkan tidak dikonsumsi - kemana larinya?

Namun apakah ini obyektif penghematan energi. Tentu bukan. Karena nihilnya penggunaan energi bisa berarti banyak: bisa tidak ada penggunaan energi, atau bisa jadi konsumen energinya lenyap. Akibatnya, nihil pula aktifitas transaksi, dan akibatnya pertumbuhan ekonomi juga akan nihil, bahkan meluruh.

Tak elok kalau hanya berpendapat namun tidak ada usulan jalan keluar. Tetapi sebelum saya mengusulkan solusinya, perlu adanya kesadaran akan dua hal. Pertama kenyataan bahwa penggunaan energi memiliki korelasi positif dengan kemakmuran sebagaimana ditunjukkan oleh indikator PDB. Kedua, harga nominal uang per satuan energi akan fluktuatif dan sangat mungkin naik - karena berbagai faktor. Salah satunya pengaruh pasar terhadap harga sumberdaya yang digunakan untuk menghasilkan energi, misalnya minyak. Kemudian nilai tukar mata uang negeri ini terhadap mata uang asing.

Setelah kesadaran akan dua hal tersebut, berikut ini saya usulkan sebuah asumsi solusi parsial yaitu mengganti istilah penghematan energi dengan "produktifitas energi."

Syarat efektifnya produktifitas energi adalah pengetahuan dasar tentang energi dan penggunaannya. Sesuatu yang bisa dilakukan di sekolah-sekolah dan media sosial. Operasionalisasi istilah ini adalah dengan mengevaluasi setiap aktifitas yang membutuhkan energi (misalnya energi listrik dan BBM) - dengan senantiasa bertanya "produktifkah penggunaan (energi) ini?" Penggunaan energi sangat dibutuhkan oleh manusia moderen - hanya saja perlu ditambahkan sebuah evaluasi kinerja, yaitu: produktifitas.

Kinerja produktifitas energi diterapkan dengan memperhatikan kaidah Pareto 80:20. Bahwa 20% penggunaan energi mengakibatkan 80% biaya.  Karena itu, sebagai contoh bisa dimulai dengan penggunaan AC di kamar tidur, apakah "produktif" bilamana kita tidur dengan AC tapi masih memakai selimut? Sebuah acuan dari ESDM yang kita bisa gunakan adalah kita set AC kamar tidur untuk beroperasi di suhu 25-derejat Celcius. Tidur dalam suhu yang nyaman tidak perlu berselimut.

[Saya sedang tertarik untuk mencari informasi tentang berapa beda energi yang antara AC dioperasikan pada suhu 25-derajat terhadap yang dioperasikan pada 22-derajat atau bahkan 16-derajat.]

Hal di atas bukan teknologi, namun tentang cara berpikir. Tapi di jaman teknologi informatika dan komputer yang sudah maju ini - media sosial dapat dijadikan sarana untuk melakukan revolusi sosial dalam cara berpikir dan pemahaman tentang energi dan produktifitasnya.

Tentunya ini hanyalah usulan yang muncul dari selintas pemikiran - bukan suatu hipotesis, teori, apalagi aksioma. Perlu pemikiran lebih lanjut dari yang memang berkompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun