Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Hipofrenia dan Air Mata Jatuh ke Perut

23 Juli 2024   06:23 Diperbarui: 24 Juli 2024   01:19 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu peribahasa. Maknanya tentang orang yang gemar menelan sendiri duka yang menimpa hatinya. Air mata jatuh ke perut. Itu peribahasanya. Kesedihan, berupa duka teramat dalam, yang dipendam sendiri dan tidak mau ditampakkan ke luar atau disampaikan kepada siapa pun. Begitu makna peribahasanya.

JIKA ada orang yang menangis, biasanya air matanya akan menetes ke pipi, bahkan bergulir hingga terjatuh ke tanah atau lantai. Dalam peribahasa ini ternyata tidak begitu. Air mata tidak jatuh ke lantai atau tanah. Air mata malah jatuh ke perut.

Makna air mata jatuh ke perut bukanlah air mata menetes di pipi dan jatuh ke perut, melainkan air mata tidak menetes keluar dari pelupuk mata, menggenang saja di telaga mata, dan "masuk" atau tertelan lagi ke dalam perut.

Tentu saja makna masuk ke dalam perut bukanlah lesap dan masuk ke perut dalam arti yang sebenarnya, melainkan air mata orang yang menangis itu tidak terlihat menetes oleh orang lain, karena yang menangis itu "menelan air matanya".

Peribahasa ini adalah kiasan bagi orang yang menahan kesedihan, kedukaan, atau kepedihan hatinya, tidak membiarkan matanya sembap karena menangis, dan enggan pipinya hangat karena air mata. Walaupun hati berasa hancur, bahkan terasa sangat hancur, tetapi perasaan hancur itu tidak dibiarkan terlihat oleh orang lain.

Orang yang seperti ini kerap berkata kepada dirinya sendiri, "Biar kutelan sendiri. Biar kutanggung sendiri." Ketika ada yang datang kepadanya dan menanyakan apa yang dia rasakan, dengan tenang ia menjawab, "Tidak ada yang berubah. Aku baik-baik saja!"

Begitu dalih "penabah diri" yang dilontarkan kaum penelan kesedihan.

Rasa sedih yang mendalam dipicu oleh kehilangan, misalnya karena kematian orang yang sangat dikasihi, perpisahan dengan orang yang dicintai--entah pisah baik-baik entah pisah tengkar, atau ketidakhadiran orang yang lazim menjadi tempat bersandar dan berkeluh kesah.

Ketika seseorang merasakan duka mendalam, kemudian orang lain datang untuk menunjukkan simpati atau menghibur, kadang-kadang orang yang berduka dalam-dalam itu tidak menerima dengan hati yang lapang. Ia menghibur dirinya sendiri dengan kalimat seperti "kamu tidak mengerti apa yang kurasakan". Atau, "tidak seorang pun tahu apa yang kurasakan".

Memang begitulah jika air mata jatuh ke perut.

Jika bersua dengan sahabat atau kerabat yang seberduka itu, tidak usah buru-buru mendekat dan menghibur. Berikan dia jeda, kasih waktu dulu, biarkan dia telan dulu air matanya. Setelah itu, baru dekati dia. Katakan bahwa dia tidak sendirian di muka bumi ini. Banyak orang di luar sana yang pernah menderita duka dalam-dalam dan mereka tetap bertahan hidup.

Dengan begitu, teman merasa tidak sendirian dan nasihat kamu tidak seperti air yang dicurahkan ke atas pasir.

Meski begitu, orang yang kerap menelan sendiri air matanya, yang sering diam-diam membasahi bantalnya sebelum tidur, yang tidak mau kesedihannya tumpah di depan orang lain, harus berhati-hati jangan sampai terkena hipofrenia.

Apakah hipofrenia (hypophrenia) itu?

Boleh jadi istilah ini masih asing di telingamu, sebab hipofrenia memang masih jarang dikupas. Hipofrenia adalah perasaan emosional berupa rasa sedih sebagai bentuk respons kita akan hal atau keadaan yang menimpa kita.

Rasa sedih itu menjadi tidak normal karena orang yang mengidap hipofrenia bisa tiba-tiba saja merasa sedih, lalu menangis sesunggukan, padahal tanpa alasan yang jelas. Kemudian, kesedihan itu berdampak pada pekerjaan, hubungan sosial, dan kesehatan fisik pengidapnya.

Adakah cara untuk mengatasi hipofrenia? Ya, ada.

1. Berbagi kesedihan. Manusia adalah makhluk sosial. Jika merasakan kesedihan, ada baiknya tidak disimpan sendirian. Jika dikepung masalah, ada baiknya tidak dipendam sendirian. Ceritakan kepada sahabat, keluarga, atau bahkan berdiskusi dengan psikiater atau psikolog, adalah langkah yang baik untuk melegakan beban perasaanmu.

2. Menerima pemicu kesedihan itu. Bagaimanapun, kita mesti memahami bahwa tidak semua hal berjalan sesuai yang kita inginkan. Pada sisi lain, bahagia adalah pilihan. jika kita senantiasa berkutat dengan kesedihan dan masalah yang terjadi, kita akan jauh dari rasa bahagia.

3. Obati rasa sedihmu. Jika kesedihan tidak dapat kautanggung lagi, jika tidak ada tempat untuk berbagi kisah sedih lagi, jika pemicu kesedihan sudah kamu pahami dan tetap merasa sedih, barangkali kamu butuh intervensi medis. Temui psikiater. Konsultasikan kesedihanmu.

Jangan biarkan kesedihan merenggut kesehatan fisik dan mentalmu, Kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun