Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

IKN seperti Menjaring Angin, Terasa Ada Tertangkap Tidak

18 Juli 2024   11:33 Diperbarui: 18 Juli 2024   11:35 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rancangan Kantor Presiden, Istana Negara, dan Lapangan Upacara IKN (Foto: Dokumentasi Kementerian PUPR BPPW Kaltim)

/2/

Pada 1865, Menteri Negara Jajahan Frans van de Putte mengajukan Rancangan Undang-Undang Agraria ke parlemen Belanda. Dalam RUU terdapat aturan hak Gubernur Jenderal untuk memberikan Hak Guna Usaha (erfpacht) selama 99 tahun kepada pihak swasta yang ingin mengelola tanah di Hindia Belanda.

Frans van de Putte juga mengusulkan agar tanah hak yang dikuasai atau dikelola oleh bumiputra (pribumi) akan diakui sebagai hak milik atau eigendom. Tanah komunal yang dapat pula diubah statusnya menjadi tanah milik (eigendom).

Parlemen Kerajaan Belanda menolak usulan itu. Anggota parlemen, terutama yang liberal seperti Thorbecke, sontak menentang usulan Menteri Negara Jajahan itu. Malahan, kedudukan van de Putte digoyang. Tidak lama kemudian, van de Putte diberhentikan dari jabatan Menteri Negara Jajahan.

Engelbertus de Waal dilantik menjadi Menteri Negara Jajahan Hindia Belanda yang baru. Ia setali tiga uang dengan van de Putte. Hanya saja, lama hak guna usaha di dalam usulan de Waal berkurang menjadi 75 tahun.  

Cornelis van Vollenhoven, dalam buku De Indonesier en Zijn Ground (2013: 166--167), menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang ditetapkann dalam UU Agraria Hindia Belanda (Agrarische Wet 1870) hanya berlaku di Jawa dan Madura.

Belanda, selaku negara penakluk Nusantara, sesuka hati membagi-bagikan tanah di negara taklukannya. Investor dari Belanda dan Eropa berdatangan membuka usaha perkebunan di Hindia Belanda. Tanah dihak-guna-usakahan selama 75 tahun.

Itu pada masa penjajahan. Setelah Indonesia merdeka, setelah Indonesia memiliki UU Agraria sendiri, setelah Presiden Jokowi berusaha menggenjot pembangunan Kota Nusantara, tanah dihak-guna-usakahan selama 190 tahun. Investor bisa punya kuasa usaha atas tanah, dilimpahkan kepada cucunya, lalu cicitnya, dan seterusnya.

Sungguh, demi mimpi memindahkan ibukota negara, tanah diobral ke sana sini. Segala cara dilakukan oleh Presiden Jokowi. Salut!

/3/

Ibukota Nusantara yang semula digadang-gadang akan digunakan mula-mula pada Upacara Kenegaraan 17 Agustus 2024, ternyata meleset. Alih-alih dipakai upacara, pengerjaannya saja baru 15%. Butuh 15 hingga 20 tahun lagi baru kelar. Itu kata Presiden Jokowi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun