Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Peri[h]bahasa dan Rasa Marah

24 Juni 2024   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2024   10:31 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengasah Marah (Sumber: Pexels/YOGENDRA SINGH)

Angguk bukan, geleng iya. Begitu kata peribahasa. Apa artinya? Orang yang tidak jujur, lain yang dikatakan lain yang dilakukan. 

Banyak orang di sekitar kita yang berwatak demikian. Disangka mengangguk, eh, ternyata menggeleng. Dikira setuju, oh, ternyata menolak. Di depan kita selalu manis bibir, ups, di belakang kita sontak pahit lidah.

Pengertian angguk pada peribahasa ini adalah 'menundukkan kepala sebagai tanda setuju', sedangkan kata geleng berarti 'gerakan kepala ke kiri dan kanan untuk menyetakan tidak setuju'. Adapun iya berarti 'ya atau menyatakan setuju, membenarkan, atau mau'.

Biasanya mengangguk berarti setuju dan menggeleng pertanda tak setuju. Namun, dalam peribahasa ini maknanya terbalik. Orang yang menggeleng justru alamat setuju atau membenarkan, sedangkan orang yang mengangguk pertanda tidak setuju atau tidak membenarkan.

Peribahasa ini kiasan bagi orang yang kerap mengangguk saja atau setuju-setuju saja, padahal di dalam hatinya menolak. Kita melihatnya menggeleng, padahal di dalam hati sebenarnya mengiya.

Persis seperti tuah peribahasa: lain di mulut lain di hati. Atau: angguk enggan, geleng mau.


Jika kita bertemu dengan orang yang plin-plan semacam ini, hati kita alamat kerap mendongkol. Kita sangka sependapat dengannya, di depan kita pun menyatakan begitu, ternyata pendapatnya berbeda setelah berada di belakang kita.

Kesal bukan main. Namun, jangan pendam rasa kesal itu. Umbar saja. Kakatan saja kepadanya. Bilang saja "aku tidak suka orang yang plin-plan". Atau, pertegas saja dengan kalimat seperti "kalau setuju bilang setuju, kalau tidak bilang tidak".

Masalahnya, jika kita memendam rasa berang, gusar, atau dongkol, justru dampak negatifnya akan menimpa kita.

Pada 2013, riset yang hasilnya dibabar dalam Journal of Psychosomatic Research menyatakan bahwa kebiasaan 'makan hati' atau "memendam rasa marah" berisiko kemungkinan mati muda tiga kali lebih besar dibanding orang yang mampu atau terbiasa menyalurkan emosi mereka.

Masakan gara-gara orang plin-plan lantas kita yang harus menanggung risiko. Ya, kita yang mangkel (marah yang dipendam dalam hati). Atau, dongkol (marah yang ditahan-tahan sampai menggeretakkan geraham).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun