Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bacalah, Ini tentang Seni Mengakali Rasa Kecewa

25 April 2024   15:18 Diperbarui: 25 April 2024   15:24 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada dua hal yang kerap ingin kita sembunyikan dari orang lain, tahu-tahu malah kita sendiri yang membongkarnya sehingga orang lain tahu. Dua hal itu adalah cita-cita dan rahasia. Peribahasa mengingatkan: ada beras taruh dalam padi, ada ingat taruh dalam hati. Maknanya: jika ada cita-cita atau sesuatu yang ingin diraih, tidak perlu digembar-gemborkan kepada orang sebelum dikerjakan. Begitu juga dengan rahasia. 

 

BERAS dalam peribahasa di atas berarti 'padi yang sudah terkelupas kulitnya yang menjadi nasi setelah ditanak', sedangkan ingat adalah 'tidak lupa, berada dalam pikiran, atau timbul dalam pikiran'.

Dari mana asal mula beras? Padi. Sebelum menjadi beras, bulir-bulir padi yang ditempati beras disebut gabah. Nah, gabah itulah yang masuk ke penggilingan. Keluar-keluar menjadi beras. Cangkang yang semula ditempati beras dan terlepas saat digiling dinamakan sekam.

Tidak mudah membuat beras keluar dari gabah. Dahulu, nenek-nenek kita mesti berlama-lama menumbuk gabah di lesung. Saking lamanya, sampai-sampai mereka menata komposisi musik dari suara tumbukan alu.

Kalau di Makassar, namanya paddekko. Ketika gerhana bulan atau matahari, kami kerap disuguhi komposisi musik paddekko. Sekarang tidak lagi. Mengeluarkan beras dari gabah sudah mudah. Ada gabah, bawa ke penggilingan. Kelar masalah.

Karena mendapatkan beras tidak mudah, apalagi jika disisir mulai dari menandur padi, jadilah 'menyimpan atau menjaga rahasia' diamsalkan dengan menaruh atau menyimpan beras di dalam padi. Ada rahasia terburuk, simpan di dalam hati.

Rahasia mesti diperlakukan seperti beras, simpan di dalam padi. Kalau dikeluarkan akan menjadi nasi. Iya kalau menjadi nasi, bagaimana kalau menjadi bubur?

Bukan hanya rahasia, apa yang ingin dilakukan pun demikian. Mau beli jajanan, simpan dalam hati. Kalau kita mengoceh, teman-teman bisa meminta titip beli yang, lucunya, kadang diikuti "nanti uangmu gue ganti". Padahal, lupa.

Sekali lagi, jika punya rahasia atau ada yang ingin kita lakukan, simpan-simpan sajalah rapat-rapat di dalam hati. Seperti beras, taruh di dalam padi.

Begini saja. Kalau ingin melakukan sesuatu, lakukan sajalah. Tidak usah gembar-gembor saban hari. Nanti malu sendiri. Saya merasakannya. Sudah koar-koar mau menganggit novel tentang tradisi Makassar, sampai sekarang belum jadi-jadi.

Malunya ada, kecewa ada juga.

Kita dan Rasa Kecewa

Ketika kakimu tegak terpacak ke lantai, betismu melemah, lututmu goyah, dan pahamu pejal menanggung beban kecewa, tidak perlu merasa sungkan dan malu hati. Tidak perlu takut ditertawai pula jika akhirnya air matamu 'menetas'.

Tidak apa-apa, itu lumrah terjadi.

Gara-gara hubungan putus, gara-gara ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya, gara-gara yang tercinta pergi tanpa pesan dan menghilang begitu saja, mendadak kita takut menjalin hubungan yang baru, mendadak kita menyangka semua orang sama biadabnya, mendadak kita memutuskan untuk menyendiri sekalipun kita takut sendirian. Itulah pengaruh rasa kecewa. Dalam sekali.

Mulanya rasa kecewa, lalu rasa takut.

Kamu diminta untuk menerima nasib dengan lapang dada, tetapi pada saat yang sama kamu mempertanyakan kenapa mesti selalu jatuh cinta pada hati yang salah. Padahal, cinta memang tidak pernah memilih-milih hati. Begitu ia jatuh, ia tidak peduli sedikit pun di hati mana ia terjatuh.

Lalu, kamu menyadari lagi-lagi kamu jatuh cinta kepada orang yang salah. Keliru lagi, tetapi kadung melangkah. Mau balik arah, rasa-rasanya berat sekali. Bukan apa-apa, hati telanjur mengatakan "nanti juga tabiatnya begini lagi". Akhirnya, atas pilihanmu sendiri, kamu berkubang lagi pada cinta yang sarat kekecewaan dan pencampakan.

Ujung-ujungnya, kamu tetap berdiri sendiri, duduk sendiri di pojok kafe, atau sendirian di bioskop menonton film favorit. Memang tidak yang janggal. Toh kelak kamu akan sendirian kala meninggalkan dunia yang fana. Secinta-cintanya dia kepadamu, tidak ada jaminan dia bakal ikut bersamamu ke alam barzakh, jikalau kamu meninggal duluan.

Jadi, boleh merasa kecewa. Tidak apa-apa, asalkan jangan berlarut-larut. Pada suatu saat nanti, kamu akan memahami sendiri bahwa rasa kecewa justru telah meninggalkan kearifan atau menanggalkan kenaifan di dalam benakmu.

Maka, kamu:

  • Menyadari kekurangan. Sebelum kamu ditinggalkan, sebelum kamu tahu dia akhirnya memilih pergi, kamu boleh jadi tidak menyadari 'ada yang kurang di dalam dirimu dan itulah yang dia cari pada orang selain kamu'. Setelahnya, kamu tahu apa dan mana saja yang mesti diperbaiki pada sifat dan sikapmu. Dengan begitu, kamu dapat memantaskan diri pada masa-masa mendatang.
  • Menerima kenyataan. Setelah lama menjalin hubungan, setelah berlarut-larut memilih akan pergi saja atau bertahan pada cinta yang menyakitkan, akhirnya kamu menyadari bahwa menerima kenyataan bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak orang yang di luar berteriak "aku tabah", padahal di dasar hatinya ia remuk redam.
  • Memahami penolakan. Setelah asmara kandas di tengah jalan, setelah gagal melangkah ke jenjang berikutnya, akhirnya kamu menyadari bahwa berani menolak atas sesuatu yang tidak kamu inginkan ternyata sungguh menyenangkan, sungguhpun risikonya menyesakkan: kamu ditinggalkan. Tidak apa-apa. Lebih baik ia pergi sebelum ikatan pernikahan daripada bertahan hingga menikah dan pergi setelahnya.

Kamu tidak perlu merasa malu hanya karena kamu kecewa setelah ditinggal pergi. Kenapa mesti malu? Kamu tidak punya kesalahan apa-apa. Bahkan sekalipun kamu bersalah, tidak mungkin juga kamu menahan-nahan kepergian orang yang sudah tidak mau bertahan tinggal.

Tidak usah malu juga kalau kamu menangis karena rasa kecewa, bukan karena ditinggalkan tanpa pesan. Menangis sepintas terlihat seperti kelakuan orang lemah dan cengeng, padahal tidak. Menangis pada saat yang tepat akan membuat kamu kuat untuk bangkit kembali.

Justru mereka yang tidak mampu menangis pada saat mereka seharusnya sudah meraung-raung, seperti serigala kesakitan, harus dipertanyakan kualitas mentalnya karena mereka kesulitan mengungkapkan perasaan kecewa.

Lalu, pada akhirnya mereka dikarunia jiwa yang rapuh. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun