Kita dan Rasa Kecewa
Ketika kakimu tegak terpacak ke lantai, betismu melemah, lututmu goyah, dan pahamu pejal menanggung beban kecewa, tidak perlu merasa sungkan dan malu hati. Tidak perlu takut ditertawai pula jika akhirnya air matamu 'menetas'.
Tidak apa-apa, itu lumrah terjadi.
Gara-gara hubungan putus, gara-gara ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya, gara-gara yang tercinta pergi tanpa pesan dan menghilang begitu saja, mendadak kita takut menjalin hubungan yang baru, mendadak kita menyangka semua orang sama biadabnya, mendadak kita memutuskan untuk menyendiri sekalipun kita takut sendirian. Itulah pengaruh rasa kecewa. Dalam sekali.
Mulanya rasa kecewa, lalu rasa takut.
Kamu diminta untuk menerima nasib dengan lapang dada, tetapi pada saat yang sama kamu mempertanyakan kenapa mesti selalu jatuh cinta pada hati yang salah. Padahal, cinta memang tidak pernah memilih-milih hati. Begitu ia jatuh, ia tidak peduli sedikit pun di hati mana ia terjatuh.
Lalu, kamu menyadari lagi-lagi kamu jatuh cinta kepada orang yang salah. Keliru lagi, tetapi kadung melangkah. Mau balik arah, rasa-rasanya berat sekali. Bukan apa-apa, hati telanjur mengatakan "nanti juga tabiatnya begini lagi". Akhirnya, atas pilihanmu sendiri, kamu berkubang lagi pada cinta yang sarat kekecewaan dan pencampakan.
Ujung-ujungnya, kamu tetap berdiri sendiri, duduk sendiri di pojok kafe, atau sendirian di bioskop menonton film favorit. Memang tidak yang janggal. Toh kelak kamu akan sendirian kala meninggalkan dunia yang fana. Secinta-cintanya dia kepadamu, tidak ada jaminan dia bakal ikut bersamamu ke alam barzakh, jikalau kamu meninggal duluan.
Jadi, boleh merasa kecewa. Tidak apa-apa, asalkan jangan berlarut-larut. Pada suatu saat nanti, kamu akan memahami sendiri bahwa rasa kecewa justru telah meninggalkan kearifan atau menanggalkan kenaifan di dalam benakmu.
Maka, kamu:
- Menyadari kekurangan. Sebelum kamu ditinggalkan, sebelum kamu tahu dia akhirnya memilih pergi, kamu boleh jadi tidak menyadari 'ada yang kurang di dalam dirimu dan itulah yang dia cari pada orang selain kamu'. Setelahnya, kamu tahu apa dan mana saja yang mesti diperbaiki pada sifat dan sikapmu. Dengan begitu, kamu dapat memantaskan diri pada masa-masa mendatang.
- Menerima kenyataan. Setelah lama menjalin hubungan, setelah berlarut-larut memilih akan pergi saja atau bertahan pada cinta yang menyakitkan, akhirnya kamu menyadari bahwa menerima kenyataan bukanlah sesuatu yang mudah. Banyak orang yang di luar berteriak "aku tabah", padahal di dasar hatinya ia remuk redam.
- Memahami penolakan. Setelah asmara kandas di tengah jalan, setelah gagal melangkah ke jenjang berikutnya, akhirnya kamu menyadari bahwa berani menolak atas sesuatu yang tidak kamu inginkan ternyata sungguh menyenangkan, sungguhpun risikonya menyesakkan: kamu ditinggalkan. Tidak apa-apa. Lebih baik ia pergi sebelum ikatan pernikahan daripada bertahan hingga menikah dan pergi setelahnya.
Kamu tidak perlu merasa malu hanya karena kamu kecewa setelah ditinggal pergi. Kenapa mesti malu? Kamu tidak punya kesalahan apa-apa. Bahkan sekalipun kamu bersalah, tidak mungkin juga kamu menahan-nahan kepergian orang yang sudah tidak mau bertahan tinggal.
Tidak usah malu juga kalau kamu menangis karena rasa kecewa, bukan karena ditinggalkan tanpa pesan. Menangis sepintas terlihat seperti kelakuan orang lemah dan cengeng, padahal tidak. Menangis pada saat yang tepat akan membuat kamu kuat untuk bangkit kembali.