Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Disfemisme Politik, Kaesang Pangarep, dan PSI Mabuk Kepayang

2 Juni 2023   04:57 Diperbarui: 2 Juni 2023   05:00 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, elite parpol berlambang setangkai mawar itu tidak jera. Sekarang mereka tengah "cek ombak". Baliho Kaesang Pangarep mereka pajang di antero Depok.

Ada apa dengan anak bungsu Presiden Joko Widodo itu? Ya, beberapa bulan lalu santer tersiar kabar bahwa Kaesang ingin menceburkan diri ke danau politik praktis. Eh, hari ini kita sudah bisa melihat baliho dan spanduknya bertebaran di jalanan Kota Depok, Jawa Barat.

Dalangnya lagi-lagi PSI. Mereka pernah mengusung Ganjar Pranowo, tetapi diabaikan oleh Megaawati Soekarnoputri. Meski tidak diaku dalam waktu lama oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Giring Ganesa dan kolega santai-santai saja. Mereka merasa tidak perlu buang muka karena malu, kendati dituding sebagai garong kader parpol lain.

Sekarang PSI mengecek derasnya ombak. Giliran Kaesang Pangarep yang mereka jadikan umpan. PSI benar-benar seperti partai politik yang tidak punya program pengaderan. Sosok yang mereka jagokan lagi-lagi dari luar partai.

Namun, itu bukan soal. Banyak parpol di Indonesia yang tidak kerasan mengusung kader sendiri, kendatipun kader mereka tenar dan cukup bangkotan. Begitulah suasana politik praktis di Indonesia. Sangat pragmatis.

Kembali ke PSI. Naga-naganya, PSI tengah mabuk. Pengalaman pahit gagal melenggang ke Senayan pada Pemilu 2019 gara-garanya. Sudah berkoar-koar di lintas media, ternyata mendapat gelar "partai nol koma" dari netizen.

Jadilah PSI mabuk kepayang. Ini jenis mabuk yang unik, sebab sudah jarang orang yang memakan buah kepayang. Malahan, banyak di antara kita yang tidak tahu maujud kepayang itu seperti apa. Lagi pula, mabuk kepayang hanya agak mabuk atau mabuk sedikit. Belum teler berat sampai merangkul tiang listrik yang disangka adik sepupu yang sudah lama hilang.

Jika makna kias sebenarnya dari mabuk kepayang adalah 'tergila-gila karena cinta', PSI tampaknya tengah "tergila-gila karena kekuasaan". Sebagai parpol, jelas mereka berharap mencipta lingkar kuasa. Bukan sebagai penonton yang berisik tidak keruan di luar panggung demokrasi.

Sungguhpun laksana mabuk kepayang, PSI terlihat tidak sedang mabuk agak-agak atau mabuk kira-kira. Nah, ini masih saudara sedarah sekandung dengan mabuk kepayang. Bedanya, mabuk agak-agak tertuju kepada "orang yang panjang angan-angan, tetapi pendek aksi alias tidak berbuat apa-apa". Buktinya, PSI sudah pasang spanduk dan baliho di tempat-tempat strategis di Depok.

Masalahnya, apabila terlalu lama mengecek ombak khawatir PSI menjadi mabuk laut atau mabuk ombak. Jalan berlubang disangka laut bergelombang. Punya banyak kader tenar, tetapi mental partai bagai kerupuk tepercik air.

Mental lemah dalam mengusung kader sendiri itu bisa membuat PSI menjadi partai impoten. Sedikit-sedikit comot pesohor, sedikit-sedikit ambil orang tenar. Padahal, kurang masyhur apa lagi sosok seperti Ade Armando, Guntur Ramli, atau Giring Ganesa. Apakah PSI mau disebut sebagai "partai gagal kader"?

Sebagai partai yang tenar dengan slogan "muda dan berkualitas", aneh rasanya apabila PSI masih tetap bertumpu pada sosok di luar partai alih-alih mengusung kader sendiri. Anak muda yang tidak percaya diri?

Apalagi, PSI mencalonkan Kaesang di Depok. Itu seperti "Jaka Sembung bawa golok". Kalau Kaesang dicalonkan di Bogor masih agak mendingan, sebab Kaesang sudah sembilan tahun bersama keluarganya di Istana Bogor.

Ini di Depok. Kota urban dengan segala-gala legenda yang muskil. 

Pocong palsu, kolor ijo, keranda terbang, hujan satu rumah disangka kuasa Allah, mata uang negara lain mau dijadikan mata uang Depok, kelahiran Imam Mahdi, kemunculan nabi palsu, dan Walikota Depok yang berhajat menyetel lagu di lampu merah.

Sekarang, baliho dan spanduk Kaesang. Nahasnya, jangan-jangan Kaesang hanya kelinci percobaan untuk mengatrol suara PSI di Depok. Jangan-jangan Kaesang sekadar objek lumbung suara agar raihan suara PSI di Depok membaik.

Kalau itu yang terjadi, alangkah. PSI tengah menjalani lakon disfemisme politik. Dari luar tampak laksana ingin membesarkan Kaesang, dari dalam terang benar ingin membesarkan partai sendiri.

Istilah kasarnya, panjat sosial. Istilah halusnya, menumpang tenar. Aih! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun