Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Inilah 5 Hal yang Paling Dibenci Pembaca Buku

13 Februari 2023   12:15 Diperbarui: 13 Februari 2023   18:07 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membaca buku (Gambar: Unsplash/Nathan Aguirre)

RON CHARLES mencambuk penulis. Kritikus buku itu baru-baru ini, Rabu (8/2), melansir temuan mengejutkan di Washington Post. Ia membabar hal-hal yang paling mengganggu kaum pembaca.

Pembaca, menurut Charles, sudah lama memeram dendam. Mereka seperti sudah bertahun-tahun merawat benci di dasar hati. Rasa benci itu mendadak jadi bom waktu. Hanya butuh seorang pemicu, bom waktu itu menggelegar.

Setelah curhat-curhatan dengan anggota klub pencinta buku, Charles lantas membeberkan apa-apa saja yang paling dibenci oleh khalayak pembaca dalam sebuah buku. Ternyata, rupa-rupa jenisnya.  

 PERTAMA, kisah dari mimpi. Ya, kisahan yang dibangun dari peristiwa mimpi merupakan momok mengerikan bagi pembaca. Michael Raem, responden Charles, menyatakan bahwa ia benar-benar membenci rangkaian mimpi.

Mimpi. Itulah gangguan utama yang merusak kenyamanan pembaca. Tidak semua penulis berhasil membangun kisahan dari sebuah mimpi. Kebanyakan, gagal. Charles Dickens bisa jadi pengecualian. Ia sukses lewat A Christmas Carol.

Jennifer Gaffney, responden lain, malahan menuding pengarang yang menjadikan mimpi sebagai senjata imajinasi adalah pengarang yang malas. "Contoh penulisan yang malas," tuturnya.

KEDUA, anakronisme sejarah dan fakta yang keliru. Dua perkara itu disebut pula oleh Charles sebagai pengusik utama kenikmatan membaca. Pembaca menganggap anakronisme sejarah sebagai tindakan ceroboh karena pengarang menyangka pembaca buta sejarah.

Ambil contoh sederhana: Sangkuriang menyalakan televisi. Bahkan andaikata karangan tentang Sangkuriang dimodifikasi sedemikian rupa, tetap saja pembaca meyakini bahwa televisi belum ada pada zaman Sangkuriang.

Fakta yang tidak akurat juga mengusik kenikmatan membaca. Ambil contoh menyebut gladiator sebagai petarung pada era Yunani Kuno. Mata pembaca bakalan berkedut-kedut apabila menemukan sajian fakta sedemikian.

KETIGA, salah tik. Perkara kesalahan menekan tompol papantik sehingga menyebabkan salah ejaan juga dibenci oleh pembaca fiksi. Bahkan, kekeliruan yang tidak disengaja pun enggan ditoleransi oleh pembaca.

Bayangkan Anda membaca kalimat "ia tahi banget" ketika mestinya yang tereja adalah "ia tahu banget". Pujian "tabiatnya bagai nabi" bisa menjadi makian gara-gara tombol "n" ditukar dengan "b".

Kata Jane Ratteree, "Jika mereka yang menulis dan menerbitkan buku tidak berusaha untuk melakukannya dengan benar, buku tersebut tidak pantas mendapatkan waktu dan perhatian saya."

KEEMPAT, ketebalan yang berlebihan. Banyak penulis menyangka buku yang tebal dapat merangsang minat baca khalayak pembaca. Padahal, belum tentu. Jika teknik sajian ternyata membosankan, pembaca malah merasa dizalimi.

Tulisan yang sengaja dipanjang-panjangkan, melantur kian kemari, justru bikin bosan pembaca alih-alih larut dalam cerita. Bolehlah novel, misalnya, tebalnya hingga 700 halaman asalkan disajikan tidak dengan bertele-tele.

 "Hanya J.M. Coetzee yang berpendapat bahwa sebuah buku penting bisa di bawah 300 halaman." Begitu pendapat Susan Moss, salah seorang pembaca yang dimintai pendapat oleh Charles.

KELIMA, terlalu banyak bagian yang dicetak miring. Bukan cuma tulisan bertele-tele yang dikeluhkan oleh pembaca, bukan. Tidak sedikit pula pembaca yang merasa terganggu karena banyak bagian yang dicetak miring.

Pembaca mengeluhkan prolog yang tidak berkesudahan, pengantar yang menggurui, eksposisi, penjelasan, deskripsi, paragraf, kalimat, percakapan, adegan seks, atau babak perkelahian yang basi.

Namun, terlalu banyak bagian yang dicetak miring justru sangat merusak ketenangan pembaca. "Bagian panjang dengan huruf miring membuatku gila," tutur Susan Spnard.

BAGAIMANA dengan saya? Apakah saya tergolong penulis yang doyan menganggit cerita yang berujung pada "ternyata ini hanya mimpi"? Adakah saya termasuk penulis tidak cermat sehingga data dan fakta kurang atau tidak akurat?

Tanyakan pula. Apakah saya kerap membiarkan salah tik bertaburan dalam tulisan saya? Adakah saya penulis yang bertele-tele? Apakah saya suka memiringkan kata atau frasa?

Silakan jawab sendiri pertanyaan-pertanyaan di atas. Setelahnya, kita berusaha agar tidak menyiksa pembaca. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun