Alangkah enteng menyatakan cinta, tetapi kadang kita tidak menyadari bahwa batasan antara mencintai dan memenjara. Sesungguhnya, batas antara cinta dan kekang sangatlah tipis.
KEKERASAN dalam rumah tangga bukanlah isu baru. Kekerasan di wilayah domestik itu termasuk perilaku purba. Sejak dahulu kala sudah kerap terjadi. Manusia sebagai makhluk beradab belum mampu mengikis tabiat kasar itu.
Apa gerangan kekerasan dalam rumah tangga itu? Jelas kita punya definisi masing-masing. Kendati definisi itu tanpa kita sadari, malahan tanpa kita sengaja, ternyata sedang atau tengah kita lakukan.
Tetapi, tunggu dulu. PBB menawarkan definisi. Lewat web situs un.org, PBB memaknai kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku kasar dalam hubungan apa pun yang digunakan oleh satu pihak untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangan atau anggota keluarga.
Bagaimanakah bentuk kekerasan domestik itu? Rupa-rupa jenisnya. Kekerasan itu lumrahnya berbentuk tindakan fisik, seksual, emosional, ekonomi, psikologis, atau ancaman yang memengaruhi orang lain.
Menakut-nakuti, mengintimidasi, meneror, memanipulasi, menyakiti, mempermalukan, menyalahkan, serta melukai pasangan atau anggota keluarga termasuk bentuk kekerasan domestik itu.
Menilik jenis dan bentuknya, terang saja kita dengan mudah menyimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja. Tidak peduli ras, usia, orientasi seksual, agama, atau jenis kelamin.
Pelaku kekerasan domestik pun bisa siapa saja. Tidak peduli latar sosial atau ekonomi. Orang kaya bisa melakukannya, begitu pula dengan orang miskin. Sarjana bisa jadi pelaku, orang yang tidak mengenyam pendidikan formal bisa pula menjadi pelaku.
ADA satu jenis kekerasan dalam rumah tangga yang mungkin tidak kita sadari. Saking samarnya, barangkali kita menyangka itu bukanlah tindak kekerasan. Kekerasan domestik itu adalah tabiat mengontrol perilaku.