Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Segar Pilihan

Bossongang, Gangguan Ledakan Amarah, dan Pasangan Minta Digantung

16 April 2021   03:03 Diperbarui: 16 April 2021   03:01 2686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gangguan ledakan amarah dapat mengancam kesehatan kita (Ilustrasi: Freepik)

Salah satu tabiat yang mesti kita kendalikan selama bulan puasa adalah amarah. Ya, itu termasuk bagian dari hawa nafsu yang harus kita perangi. Jika pasanganmu punya kebiasaan marah-marah tanpa juntrungan, nasihati. Masih begitu, "gantung" (ghosting) saja. Masih tidak mempan, tinggalkan. Tuman.

Dalam dunia psikologi ada istilah Gangguan Ledakan Amarah. Singkatnya, GLA. Bisa juga disebut Gila! Sebutan lainnya adalah Intermittent Explosive Disorder alias IED. Puasa sejatinya bisa menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan ini.

Mari berkenalan dengan si Gila. Eh, maksud saya si Gangguan Ledakan Amarah alias IED.

Sebenarnya marah termasuk lumrah. Semua orang bisa marah. Semua orang berhak marah. Hanya saja, tidak semua orang mampu mengendalikan diri ketika hatinya dibelit rasa amarah. Perkara mengelola amarah sesulit menegakkan benang basah.

Rasa marah setara posisinya dengan emosi yang lain, seperti sedih, senang, kecewa, atau ceria. Itu sebabnya marah masih manusiawi. Akan tetapi, amarah yang meledak-ledak tanpa alasan yang jelas atau tanpa juntrungan bisa jadi berpangkal dari gangguan mental.

Gangguan ledakan amarah biasanya bersifat spontan dan tanpa alasan. Meledak begitu saja. Ledakannya beragam. Bisa umpatan, jeritan, bahkan ancaman kekerasan yang menyebabkan keselamatan seseorang atau sesuatu terancam.

Saya pernah mengalami gangguan kejiwaan ini. Semasa kecil, dari umur enam tahun hingga menjelang berjakun, saya mudah sekali marah. Berangasan, kata orang Melayu. Bossongang, kata orang Makassar. Setengah mampus saya lawan gangguan ledakan amarah itu.

Apakah bisa saya sembuhkan? Ternyata bisa. Hanya saja, sesekali masih meletup. Kalau dulu tanpa alasan, sekarang kadang karena dipicu oleh peristiwa yang bikin sakit hati. Meski hanya sekali-sekali, batin saya tetap tersiksa. Seusai mengamuk, saya menyesal tiada terkira.

Sekarang lihat pasanganmu. Jikalau ada peristiwa yang membuatnya mengamuk tanpa sebab, lihatlah dengan saksama. Kalau terus-terusan begitu, sebaiknya anjurkan agar pasanganmu mau mengobati hati. Kalau menolak dan tidak mau memperbaiki diri, tinggalkan saja.

Menunggu kekasih hati mengubah tabiat, tetapi yang ditunggu tidak berniat mengubah kelakuan, tiada berbeda dengan menunggu setronton emas batangan terjatuh dari langit. Mustahil terjadi.  

Gangguan ledakan amarah dapat mengancam kesehatan kita (Ilustrasi: Freepik)
Gangguan ledakan amarah dapat mengancam kesehatan kita (Ilustrasi: Freepik)

Gangguan mental ini tidak bisa dipandang enteng, sebab dapat memancing penderitaan fisik. Bagi penderita akan terserang napas pendek atau tersengal-sengal, tremor, kesemutan, dada sesak, kejang otot, hingga sakit kepala. Bagi orang lain, bisa terancam keselamatannya.

Akumulasi dari gangguan ledakan amarah yang sering terjadi dapat mengancam kesehatan fisik. Misalnya risiko stres, penyumbatan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, hingga serangan jantung. Mengerikan!  

Psikolog dari mentalhelp.net, Allan Schwartz, mengutarakan bahwa sebenarnya meluapkan amarah adalah reaksi yang baik. Alasannya, memendam amarah dapat mengganggu kesehatan apabila terlalu sering dilakukan. Hanya saja, kita mesti mencari cara meluapkan rasa marah secara positif. 

Perlu kita ketahui, kemarahan biasanya terpicu oleh harapan yang tidak terpenuhi. Amigdala, satu berkas neuron dalam otak kita, bertugas mengatur lalu lintas emosi. Ketika harapan tidak menjadi kenyataan, amigdala mengirim reaksi impulsif ke hipotalamus. Reaksi itu berupa melawan atau mengelak. 

Setelah itu, korteks prefrontal rasional memeriksa dan mengevaluasi ancaman. Barulah kemudian memutuskan bentuk respons seperti apa yang akan dilakukan. Jika terbiasa meluapkan emosi yang eksplosif atau agresif, amarah bisa meledak-ledak. 

Apa yang saya lakukan untuk mencegah gangguan ledakan amarah? Semasa remaja hingga saat menjelang jatuh cinta kali pertama, saya melakukan meditasi. Itu terapi batin yang saya lakoni. Setiap merasa dada hampir meledak, saya lakukan relaksasi ringan, baru mengheningkan diri.

Jika kemarahan itu tidak bisa saya tahan-tahan, saya ke kamar mandi. Cuci muka. Masih belum mempan, saya guyuri kepala dengan segayung air. Masih tidak mempan, sekalian mandi. Sesudah itu, saya ambil wudu dan salat sunat. Biasanya reda dengan sendirinya.

Manakala saya gagal menahan diri karena tidak bisa bergegas ke kamar mandi, saya larikan kesal kepada pintu. Pernah juga menendang panci. Sekali waktu membanting ponsel. Sesudahnya, saya menyesal amat luar biasa. Ponsel rusak parah, padahal cicilannya belum lunas.

Dulu saya lampiaskan amarah dengan cara membanting barang, karena saya pikir itulah cara teraman agar tidak menyakiti orang lain. Maklum, otak remaja saya belum becus membaca perasaan orang. Belakangan saya tahu, orang yang menyaksikan kemarahan itu memeram sakit hati. 

Hingga saat ini riset tentang pengobatan Gangguan Ledakan Amarah (IED) masih terbatas. Sebuah riset pada 2009, diungkap oleh healthline.com, menemukan bahwa fluoksetin dapat mengurangi perilaku impulsif-agresif bagi pengidap IED.

Tidak hanya membahayakan diri sendiri, gangguan ledakan amarah dapat mengancam keselamatan orang lain (Ilustrasi: womenfitness.net)
Tidak hanya membahayakan diri sendiri, gangguan ledakan amarah dapat mengancam keselamatan orang lain (Ilustrasi: womenfitness.net)

Kebiasaan mengalihkan amuk badai amarah itu lazim pula disebut displasemen. Artinya mudah dicerna, yakni 'melampiaskan perasaan negatif kepada benda, seperti membanting pintu atau melemparkan barang, biasanya karena marah atau kesal'.

Baik bossongang, displasemen, maupun gangguan ledakan amarah sama-sama tidak layak kita rawat. Obati. Sembuhkan. Meditasi gagal, cobalah salat. Masih muncul, datangi psikiater. Tidak punya uang untuk membayar bea terapi? Aih, deritamu kenapa bertumpuk sebegitu banyak? Maaf, bercanda.

Tenang saja, Kawan. Beruntunglah kita karena bisa berpuasa. Betul, puasa adalah jalan ninja bagi penderita bossongang, displasemen, dan gangguan ledakan amarah. Puasa melatih kita untuk mengendalikan diri. Tidak bisa kita ingkari, perang terbesar masihlah perang melawan diri sendiri.

Siapa pun Anda, dari mana pun asal Anda, selama Anda ingin mengendalikan amarah, cobalah sesekali berpuasa. Kalau kurang mempan, berpuasalah banyak kali. Ramadan, misalnya, dilalui dengan berpuasa selama 29 atau 30 hari.

Mudah-mudahan puasa kita berkah. Amin. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Segar Selengkapnya
Lihat Segar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun