Liverpool kalah. Gugur sudah. Impian merengkuh gelar juara di Liga Champions Eropa punai. Sebelumnya, harapan menjuarai Liga Primer Inggris pupus. Begitu pula dengan asa mengangkat Piala FA dan Piala Carabao. Tahun ini Liverpool nirgelar, tahun puasa gelar.
Di tanah air, penggemar bolasepak tengah bersatu menyerukan "gerakan pembisuan massal". Itu gara-gara komentator Bung Jebret yang dianggap berisik, lebay, dan tidak bermutu tatkala memandu siaran langsung olahraga.
Masalah merembet ke mana-mana. Admin @SiaranBolaLive mengajukan kritik. Cocot Valentino Jebret disebut-sebut sebagai cocot paling mengganggu di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, gelar ditambah dengan sematan "cocot silit".
Bung Jebret tidak terima. Valentino Simanjuntak tersinggung. Ia mengancam akan memolisikan admin. Jika dalam 1 x 24 jam sang admin tidak merespons somasi Pak Jebret, admin dilaporkan kepada polisi dengan tameng UU ITE. Pendek kata, meja hijau.
Selain Liverpool dan Jebret, kita tengah berada di bulan penuh berkah. Bulan penggodokan batin, bulan pengojlokan hati. Puasa bukan sekadar berlatih memerangi lapar, dahaga, dan sanggama, melainkan sekaligus mendidik hati dengan berbagai keterampilan batin.
***
Penggemar Liverpool, terutama yang muslim, tidak perlu hanyut terbawa arus kecewa. Perasaan sakit karena gagal mencapai tujuan adalah sesuatu yang lumrah. Boleh kecewa, sangat boleh, asalkan tidak berlarut-larut. Pengalaman puluhan tahun puasa gelar sudah cukup menjadi guru.
Dari kekalahan semalam, fan Liverpool bisa mengasah keterampilan batin. Selama ini kita malas bersyukur, tetapi rajin berkeluh. Terik sedikit, mengeluh. Giliran kehujanan, mengeluh lagi. Soal kecil, dikeluhkan. Masalah besar, dikeluhkan.
Singkat kata, mengeluh lebih sering kita pilih sebagai jalan ninja dibanding mensyukuri keadaan. Lihatlah pada sisi lain. Manchester United pernah 41 tahun puasa gelar, dari 1911 hingga 1952. Jadi biasa saja. Jangan kolokan kalau diledek. Ingat, sedang berpuasa.
Klub tetangga MU, Manchester City, malah lebih lama puasa gelar. Mereka butuh 49 tahun, dari 1955 hingga 2004, baru bisa mencicipi gelar juara Liga Inggris. Juara Liga Champions? City masih bermimpi. Jangan baperan jika dirisak. Ingat, sedang berpuasa.
Satu hal yang patut disyukuri adalah fakta bahwa Liverpool sudah berbuka puasa. Pada 2019 jadi penguasa Liga Champions; pada 2020 mengangkat trofi Liga Primer Inggris. Lewat berpuasa, suporter Liverpool bisa mengasah keterampilan batin: menikahi syukur dan mencerai keluh.
***
Pendukung Jebret, terutama yang muslim, tidak perlu berkecil hati. Begitu pula dengan Abang Jebret Tersayang. Selama hayat masih dikandung badan, kritik dan cerca niscaya ada. Tidak perlu sewot, apalagi mengancam main lopar-lapor. Biarlah UU ITE juga digunakan polisi untuk menyidik penipu daring (online).
Sebagai seorang figur publik, lumrah jikalau Bang Jebret kena jepret netizen. Komentar khas milik Bung Jebret lambat laun berpotensi dibenci alih-alih dinanti. Dari situ Om Jebret bisa belajar tabah, bisa pula belajar tangguh. Perbaiki diri. Tahan lidah. Pelajari kapan mesti lebay dan bilamana harus kalem.
Bayangkan kejadian seperti ini. Saya masuk ke jamban untuk menguras isi kandung kemih, tetapi harus segera buru-buru ke depan televisi karena teriakan Jebret seperti gawang segera jebol. Padahal, cuma tembakan ke gawang. Melenceng pula. Jauh pula dari mistar dan tiang gawang.
Penggemar Bung Jebret memang tidak sedikit. Harus kita akui, memang ada segelintir penonton yang suka dihibur ketika menonton balbalan. Hanya saja, kadar lebay mesti diturunkan. Biar tidak berisik, biar tidak bikin mual.
Barangkali Om Jebret perlu belajar pada Bung Sambar Mangundikarta. Pewara acara olahraga di TVRI itu tahu sekali kapan mesti meledak-ledak. Tidak selalu berteriak nyaring hingga urat leher mau putus. Intensitas penggunaan istilah yang "mengguncang kamus" sebaiknya agak dikurangi. Carikan istilah pengganti untuk umpan cuek dan tendangan kepo. Usahakan istilah pengganti yang lebih mencerahkan.
Satu hal yang patut disyukuri, masih ada pihak yang mau memberikan kritik. Alangkah nahas nasib jikalau kita masih ada, tetapi orang-orang menganggap kita sama sekali tidak ada. Dengan berpuasa, Jebret dan fan bisa mengasah keterampilan batin: memeluk maaf, menolak marah.
*** Â
Ada dua kebiasaan yang kerap kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sengaja maupun tidak sengaja. Pertama, memperbanyak keluh dan memperkurang syukur. Kedua, mempersering marah dan memperjarang maaf.
Puasa menjadi ajang bagi kita semua, termasuk penggemar Liverpool dan Bung Jebret, untuk meningkatkan keterampilan batin. Penyakit hati mesti kita sembuhkan. Jika belum bisa sembuh total, setidaknya berkurang.
Kebiasaan memperbanyak keluh dan memperkurang sabar bisa kita obati. Caranya mudah. Kita hanya perlu menikahi syukur dan mencerai keluh. Ada masalah, syukuri. Dari masalah yang ada kita bisa mengasah tabah.
Kebiasaan mempersering marah dan memperjarang maaf bisa kita sembuhkan. Caranya mudah. Kita hanya perlu memeluk maaf dan menolak marah. Ada yang menyakiti hati, maafkan. Bukan meluapkan dan melaungkan kemarahan.
Apakah Ramadan tahun ini bisa kita gunakan untuk meningkatkan keterampilan batin? Semoga. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H