Sebagai seorang figur publik, lumrah jikalau Bang Jebret kena jepret netizen. Komentar khas milik Bung Jebret lambat laun berpotensi dibenci alih-alih dinanti. Dari situ Om Jebret bisa belajar tabah, bisa pula belajar tangguh. Perbaiki diri. Tahan lidah. Pelajari kapan mesti lebay dan bilamana harus kalem.
Bayangkan kejadian seperti ini. Saya masuk ke jamban untuk menguras isi kandung kemih, tetapi harus segera buru-buru ke depan televisi karena teriakan Jebret seperti gawang segera jebol. Padahal, cuma tembakan ke gawang. Melenceng pula. Jauh pula dari mistar dan tiang gawang.
Penggemar Bung Jebret memang tidak sedikit. Harus kita akui, memang ada segelintir penonton yang suka dihibur ketika menonton balbalan. Hanya saja, kadar lebay mesti diturunkan. Biar tidak berisik, biar tidak bikin mual.
Barangkali Om Jebret perlu belajar pada Bung Sambar Mangundikarta. Pewara acara olahraga di TVRI itu tahu sekali kapan mesti meledak-ledak. Tidak selalu berteriak nyaring hingga urat leher mau putus. Intensitas penggunaan istilah yang "mengguncang kamus" sebaiknya agak dikurangi. Carikan istilah pengganti untuk umpan cuek dan tendangan kepo. Usahakan istilah pengganti yang lebih mencerahkan.
Satu hal yang patut disyukuri, masih ada pihak yang mau memberikan kritik. Alangkah nahas nasib jikalau kita masih ada, tetapi orang-orang menganggap kita sama sekali tidak ada. Dengan berpuasa, Jebret dan fan bisa mengasah keterampilan batin: memeluk maaf, menolak marah.
*** Â
Ada dua kebiasaan yang kerap kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sengaja maupun tidak sengaja. Pertama, memperbanyak keluh dan memperkurang syukur. Kedua, mempersering marah dan memperjarang maaf.
Puasa menjadi ajang bagi kita semua, termasuk penggemar Liverpool dan Bung Jebret, untuk meningkatkan keterampilan batin. Penyakit hati mesti kita sembuhkan. Jika belum bisa sembuh total, setidaknya berkurang.
Kebiasaan memperbanyak keluh dan memperkurang sabar bisa kita obati. Caranya mudah. Kita hanya perlu menikahi syukur dan mencerai keluh. Ada masalah, syukuri. Dari masalah yang ada kita bisa mengasah tabah.
Kebiasaan mempersering marah dan memperjarang maaf bisa kita sembuhkan. Caranya mudah. Kita hanya perlu memeluk maaf dan menolak marah. Ada yang menyakiti hati, maafkan. Bukan meluapkan dan melaungkan kemarahan.
Apakah Ramadan tahun ini bisa kita gunakan untuk meningkatkan keterampilan batin? Semoga. [kp]