Mati memang sesuatu yang niscaya. Setiap yang hidup akan mati. Kendatipun tidak didoakan, ajal tetap akan tiba. Malaikat Maut bukan petugas yang gampang terserang lupa. Demensia pun enggan menyerang Malaikat Maut. Jadwal kematian sudah jelas.
Akan berbeda andai kalimat itu ditambahi kata sambung. Contoh: agama Islam juga melarang mendoakan orang agar mati. Apalagi: agama Islam juga melarang mendoakan orang agar cepat mati. Doakan orang lain agar baik-baik saja.
“Bayangkan,” kata Andi Karman lewat aplikasi perpesanan, “Daeng berada di tengah keramaian, lalu mengumandangkan awal ayat empat belas dalam Surah Taha.”
Doktor linguistik yang masih berusia muda itu memicu imajinasi saya. Bayangkan saya berada di tengah keramaian dan menyatakan “inna nii anallah”. Ayat itu mesti saya baca secara utuh, tidak boleh main penggal. Sesungguhnya Aku adalah Allah. Bisa dituduh sesat, padahal mengutip ayat.
Maka dari itu, selamat berpuasa. Saya pun akan mengistirahatkan jemari saya dari kebiasaan mengumbar cuitan kelakar dangkal. Jangan sampai gara-gara “haram hukumnya orang ziarah dikubur” lantas publik tersinggung.
Saya bisa dianggap sesat, padahal sedang menyuguhkan cara membedakan “di” sebagai imbuhan dengan “di” selaku kata depan.
Serius. Saya juga akan berhenti mengumandangkan maklumat “haram hukumnya orang merokok menjadi imam salat”. Khawatir ahli isap mengamuk-amuk. Padahal, maksud saya sederhana. Jika seseorang sedang merokok, jangan salat. Apalagi menjadi imam! [kp]
Tulisan terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H