Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Colliq Pujie: Perempuan Perkasa dari Tanah Bugis

12 April 2021   17:51 Diperbarui: 12 April 2021   18:06 3237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya (kiri), Jajang C. Noer (tengah), dan Luna Vidya (kanan) saat membacakan naskah I La Galigo di MIWF 2015 (Foto: Tribunnews/Sanovra Jr.)

***

Pementasan I La Galigo bersama Yayasan Lontar dan Perpusnas RI (Gambar: Dokpri)
Pementasan I La Galigo bersama Yayasan Lontar dan Perpusnas RI (Gambar: Dokpri)

Butuh 20 tahun bagi Colliq Pujie dan Matthes untuk menyalin naskah epos terpanjang di dunia. Warisan leluhur I La Galigo mengabadi hingga hari ini karena pandangan futuristik Colliq Pujie. Beliau berhasil menyalin 12 bab dari serakan kisah Sawerigading dan We Cu Dai.

Masih belum utuh, tetapi pekerjaan intelektual yang dilakoni oleh Colliq Pujie sungguh luhur dan mulia. Bayangkan, beliau menyalin 12 itu dalam 2.851 halaman folio. Tulisan tangan beliau ketika menyalin I La Galigo mencapai 300.000 bait syair.

Naskah salinan Colliq Pujie kini tersimpan dengan baik di perpustakaan Universitas Leiden. Dari naskah itulah peneliti dari antero dunia membaca dan mengeja kisah Sawerigading. Dari sana pula Unesco, pada 2011, menetapkan I La Galigo sebagai Warisan Dunia (Memory of the World).

Pada 13 September 2014, tiga tahun setelah ditetapkan sebagai warisan dunia, saya dan Ilham Anwar mendapat kesempatan menggelar pertunjukan pembacaan dramatik (dramatic reading) I La Galigo di Galeri Indonesia Kaya. Pementasan yang diiringi orkestra musik tradisional Bugis-Makassar racikan Jamal Gentayangan. Terima kasih Yayasan Lontar dan Perpustakaan Nasional RI karena bersungguh-sungguh menaja hajat elok itu.

Setahun kemudian, 4 Juni 2015, saya kembali bersentuhan dengan buah pena Colliq Pujie. Kali ini dalam gelaran pembacaan naskah I La Galigo dalam empat bahasa. Saya kebagian bahasa Bugis dan Makassar, Jajang C. Noer bahasa Indonesia, dan Luna Vidya dalam bahasa Inggris. Gelaran sakral itu tersaji saat pesta literasi Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015.

Perjalanan Colliq Pujie di dunia kecendekiaan memang patut dilestarikan. Perjuangan beliau kala menentang kolonial Belanda juga patut diapresiasi. Sayang sekali, beliau baru dianugerahi tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma. Hingga saat ini beliau belum dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

***

Saya (kiri), Jajang C. Noer (tengah), dan Luna Vidya (kanan) saat membacakan naskah I La Galigo di MIWF 2015 (Foto: Tribunnews/Sanovra Jr.)
Saya (kiri), Jajang C. Noer (tengah), dan Luna Vidya (kanan) saat membacakan naskah I La Galigo di MIWF 2015 (Foto: Tribunnews/Sanovra Jr.)
Dari jejak Colliq Pujie, timbul satu pertanyaan menarik. Masihkah ada intelektual perempuan yang sudi bertungkus lumus menekuri karier di bidang kecendekiaan dan kesusatraan?

Saya percaya, jawabannya adalah "ya". [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun