Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Saudade, Ramadan, dan Merayakan Kehilangan Mendalam

12 April 2021   07:07 Diperbarui: 12 April 2021   17:46 2047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadan di depan mata. Bulan puasa tiba di hadapan kita. Karunia yang patut kita rayakan dengan penuh sukacita. Pada sisi lain, sehari sebelum hari pertama Ramadan acapkali menghadirkan perasaan dukacita. Kita kerap dilanda derita karena ingatan dan kenangan atas orang tercinta.

Ya. Hari pertama Ramadan bisa jadi akan menyiksa. Anak yang sudah tiada, orangtua yang telah pergi untuk selamanya, kekasih hati yang sudah berpulang ke dekapan-Nya. Hari pertama bulan puasa sering bekerja sama dengan kenangan untuk menyiksa perasaan kita.

Lagu religi mengalun lembut di telinga, mata kita berkaca-kaca. Tadarus membelai telinga, dada kita sesak karena rasa kangen. Selagi mempersiapkan masakan untuk makan sahur bersama, pipi kita mendadak basah. Yang sudah pergi tiba-tiba membayang di pelupuk mata.

Tidak, tidak. Bukan hanya yang telah pergi untuk selamanya, kita juga kerap dihantui rindu akibat mengingat anak atau kerabat dekat yang tidak berada di sisi kita, yang berada jauh di rantau, yang terpisah samudra dan benua, yang tidak mampu kita rengkuh ke dalam pelukan.

Ramadan memang punya kuasa menggali telaga kenangan. Benak kita dengan sukarela dan penuh sukacita menghangatkan kenangan. Nostalgia mendalam. Kenangan, yang manis dan yang pahit, sontak muncul seperti film usang yang diputar berkali-kali oleh ingatan.

Ingatan mengharu biru itu, kenangan yang tiba-tiba muncul itu, menggenapi perasaan kita ketika menyambut hari pertama berpuasa. Ingatan mengharu biru itu, kenangan yang tiba-tiba muncul itu, nostalgia mendalam itu, punya sebutan khusus. Dalam bahasa Portugis disebut saudade.

Ya, saudade. Kata itu belum kita serap ke dalam bahasa Indonesia. Perasaan rindu bercampur aduk dengan perasaan sedih. Rindu yang pilu, rindu yang memilukan. Rindu yang ditanak di atas tungku kenangan. Ya, kenangan yang tidak sanggup dihapus oleh waktu.

Adalah Tim Lomas dari Universitas London Timur (University of East London) yang pertama kali mengudar beberapa kata dari berbagai negara yang dapat menggambarkan kontur perasaan. Kata-kata itu sangat unik, khas, dan spesifik. Terkadang padanannya tidak ada dalam bahasa lain.

Saudade termasuk dalam beberapa kata itu. Proyek Leksikografi Positif. Positive Lexicography Project. Begitulah Lomas menamai risetnya. Ia kumpulkan kata-kata dari pelbagai bahasa di dunia. Kata-kata yang belum ramah di telinga, tetapi cukup melukiskan sesak di dada.

"Kata-kata menawarkan cara yang sangat berbeda dalam melihat dunia," kata Lomas.

Kata-kata itu disajikan Lomas dalam Journal of Positive Psychology. Ia terabas bahasa lintas negara, meminta pendapat dari banyak pakar, mengumpulkannya dengan telaten, lalu menyajikannya ke hadapan kita. Leksikografi hati, sebutlah begitu.

Ada banyak kata yang diagihkan oleh Lomas kepada kita, tetapi cukuplah saya suguhkan saudade ke hadapan pembaca. Saya pilih kata ini lantaran hari pertama Ramadan sudah di depan mata dan, suka tidak suka, kenangan atas orang tercinta tiba-tiba menggelombang di hadapan kita.

Saudade sendiri tidak hanya rindu sekaligus sendu karena orang tercinta yang telah tiada. Ya, saudade bisa mengobok-obok ingatan kita terhadap tempat, peristiwa, atau seseorang yang jauh dari jangkauan pelukan dan pandangan.

Bagaimana cara kita merayakan rasa kehilangan yang mendalam itu? Hari pertama Ramadan mesti kita rayakan. Kehilangan, sekalipun menyakitkan, juga dapat kita rayakan. Keterpisahan, sungguhpun memilukan, harus tetap kita rayakan. Dengan doa, itulah cara merayakannya.

Doa punya tangan takterlihat untuk melipat jarak, memangkas waktu, dan menjangkau yang tidak terjangkau. Doa punya kuasa tidak tepermanai untuk menubuhkan tabah. Doa punya kemampuan tidak tertandingi dalam menabahkan tubuh. Kuasa doa, kita membutuhkannya.

Selamat datang, Ramadan. Selamat datang, Bulan Harapan. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun