Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Netizen, Tolong Jauhi Pekerjaan Sampingan Ini

4 April 2021   18:21 Diperbarui: 4 April 2021   19:08 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saudagar ban sepeda dan becak yang tersandung kasus BLBI (Foto: Kompas/Johnny TG)

PUNYA PEKERJAAN SAMPINGAN bukan sesuatu yang aneh. Jika seseorang memiliki lima pekerjaan pun tidak masalah. Sah-sah saja. Banyak pula orang yang memiliki penghasilan tambahan di luar penghasilan utamanya. Penghasilan tambahan itu didapatkan dari pekerjaan sampingan. Itu golongan pertama.

Ada pula orang yang penghasilannya hanya bersumber dari satu pekerjaan. Itu juga sah-sah saja. Sekalipun keteteran karena kehabisan gaji sebelum upah baru tiba, banyak pekerja yang merasa cukup dan bahagia dengan satu pekerjaan saja. Itu golongan kedua.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak punya pekerjaan utama, tetapi punya pekerjaan sampingan yang tidak terhitung jumlahnya. Musim layangan tiba, jadi saudagar layang-layang. Musim gali saluran datang, jadi kuli harian. Apa saja diembat. Pekerja serabutan namanya.

Kelompok keempat menjadi kaum paling enas alias paling pilu. Boro-boro pekerjaan utama, kaum ini malahan tidak punya pekerjaan sampingan. Pekerjaan resminya adalah penganggur. Kadang disebut "pengukur jalanan", kadang dituduh "sampah masyarakat". Padahal, belum tentu. Maksud saya, belum tentu seorang penganggur mahir mengukur jalanan dan bisa menjadi sampah.

Anda berada di kelompok yang mana?

***

Politikus yang tersandung kasus korupsi dana bantuan sosial (Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo)
Politikus yang tersandung kasus korupsi dana bantuan sosial (Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo)

PEKERJAAN SAMPINGAN apa pun boleh Anda lakukan, selama Anda mau. Tentu saja, ada hasil yang kita harapkan dari pekerjaan sampingan itu. Bisa uang, bisa jaringan. Bisa kemuliaan, bisa kekuasaan.

Akan tetapi, ada satu pekerjaan sampingan yang sebaiknya, boleh Anda baca seharusnya, tidak Anda lakukan. Pekerjaan sampingan itu adalah korupsi. Jangan kaget. Biasa saja. Tidak usah juga membelalakkan mata. Korupsi sudah menjadi "pekerjaan umum" di Indonesia.

Apakah korupsi dapat disebut pekerjaan sampingan? Ya. Banyak alasan yang dapat saya jadikan pijakan argumentasi. Yang pasti, fakta membuktikan bahwa diam-diam korupsi diminati oleh banyak orang di negeri tercinta ini.

Juliari Batubara. Itu contoh pertama yang saya agihkan. Tolong koreksi jika saya keliru. Pekerjaan utama Juliari adalah politikus. Ia kader partai banteng moncong putih. Pekerjaan sampingannya ialah Menteri Sosial dan Koruptor. Ia mengemplang dana bantuan sosial.

Jangan kira hanya Juliari seorang, jangan. Banyak politikus di Indonesia yang memilih jalan basah: menyelamatkan uang negara ke kantong sendiri dan, mungkin saja, ke kantong kolega. Rata-rata partai di Indonesia punya "catatan manis" dalam hal sunat-menyunat uang negara.

Apakah hanya pejabat eksekutif yang memilih korupsi sebagai pekerjaan sampingan? Tidak juga. Kalangan legislatif jelas tidak mau kalah. Sebagai bagian dari tiga pilar demokrasi, anggota DPR, DPD, dan MPR juga ada yang korupsi. Sebagian dilakukan perseorangan, sisanya berjemaah.

Setya Novanto. Itu contoh kedua yang saya sodorkan. Tolong ralat jikalau saya keliru. Pekerjaan utama Setyo sebelum diberhentikan secara tidak hormat adalah Ketua DPR RI. Jabatan yang amat mentereng. Setara dengan Presiden RI. Ia ketahuan mencomot uang negara.

Bagaimana dengan kalangan yudikatif? Tenang, Kawan. Percayalah, "kuli meja hijau" rentan melakukan korupsi. Banyak hakim, jaksa, dan panitera yang terciduk mengantongi uang dengan cara yang tidak sah. Karena "disuapi", misalnya.

Kayat. Itu nama ketiga yang saya ajukan. Tolong perbaiki andai saya keliru. Ia seorang hakim. Ia bertugas di Pengadilan Negeri Balikpapan. Lantaran tergiur syahwat materiel sesaat, ia terciduk. Tidak tanggung-tanggung. Operasi Tangkap Tangan.

Apakah hanya petinggi negara atau pejabat publik yang bisa mengorupsi uang negara? Tidak juga. Staf kantor desa yang meminta pungutan secara liar juga terbilang korup. Guru yang telat datang mengajar juga terhitung korup. Takarannya saja yang berbeda.

Tunggu dulu. Ada kepala sekolah yang menyelewengkan dana BOS. Pegawai level rendah punya peluang juga untuk korup. Ikut pelatihan, jumlah hari disunat. Aturan lima hari, ternyata cuma tiga hari. Giliran bagi-bagi honor, ngeyel minta jatah lima hari.

Ada yang lebih parah. Pernah terjadi peristiwa, yakni guru dan dosen yang meminta sertifikat, padahal tidak menghadiri pelatihan. Belum lagi rektor yang mengemplang karya ilmiah orang lain dan ia akui sebagai karyanya.

Itu semua korupsi. Pekerjaan utama mereka macam-macam, pekerjaan sampingannya korupsi.

***

Bekas Ketua DPR RI, Setya Novanto (Foto: Tribunnews/Dany Permana)
Bekas Ketua DPR RI, Setya Novanto (Foto: Tribunnews/Dany Permana)

UNTUNG SAYA PENGUSAHA. Oh, jauhkan rasa syukur keblinger macam itu kalau Anda juga pernah menyuap pejabat demi kemudahan tertentu. Tidak sedikit pengusaha yang menyuap orang lain. Padahal, di rumah belum tentu mereka mau dan pernah menyuapi anak-anak mereka.

Sjamsul Nursalim. Itu nama keempat yang saya kemukakan. Tolong ingatkan jikalau saya keliru. Sjamsul ini rampok kelas keju. Empat triliun rupiah. Ada koma dan angka di belakang koma. Ia kabur setelah "mengamankan uang hasil pajak rakyat".

Beberapa hari lalu, ia diberikan "surat penghargaan" oleh KPK. Piagam "SP-3" namanya. Silakan berimajinasi. Setelah puluhan tahun menikmati uang negara, setelah leluasa berniaga di rantau, setelah berkali-kali menghindari mata petugas, sekarang ia boleh kembali ke tanah air.

Mantap benar nasib Sjamsul yang ini. Triliunan, Brader. Bukan uang yang sedikit. Saya takut bilang "petugas penyidik kurang tangkas mencari bukti", tidak. Saya belum sebernyali itu. Saya juga ngeri mengatakan "KPK sudah mengiris-iris hati rakyat", tidak. Saya belum seberani itu.

Yang pasti, saya tidak kenal siapa gerangan Sjamsul Nursalim. Saya berani mengatakan itu. Beliau tidak mengenal saya, sebaliknya juga begitu. Maaf, saya kenal nama dan tahu paras. Namun, saya tidak tahu di mana beliau berada.

Menggiurkan. Pekerjaan sampingan Sjamsul menghasilkan triliunan. Bikin ngiler. Uang sebegitu bisa kita belikan beribu truk kerupuk. Atau, jengkol. Ah, saya jengkel. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun