AKTOR DRAKOR TENAR, Lee Jong Suk, pernah menjadi pusat perbincangan warganet Indonesia. Kala itu, Jong Suk menggelar jumpa fan di Jakarta. Sayangnya, terjadi kegaduhan luar bisa. Pihak Imigrasi dan promotor berseteru. Visa gara-garanya. Jong Suk dan staf akhirnya dideportasi.
Promotor di Jakarta tentu mencium aroma cuan yang sengit sehingga mendatangkan Jong Suk. Terbukti dengan tumpah ruahnya fan di balairung Kasablanka (Sabtu, 3/11/2018). Pemeran yang berakting bagus dalam "While You Were Sleeping" sempat tertahan di Kantor Imigrasi Jakarta.
Kabar Jong Suk tertahan di Kantor Imigrasi Jakarta marak dibincangkan oleh warganet. Pro dan kontra bermunculan. Hal itu bermula dari unggahan Jong Suk di Instagram. Sebuah foto berlatar suasana bandara beserta keterangan yang mengejutkan.
"Saya belum pernah mengalami masalah seperti ini sebelumnya. Jadi, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Ibu, saya pulang terlambat hari ini," ujar Jong Suk lewat akun @jongsuk0206.
Alinea penutup itulah yang hangat dipercakapkan oleh netizen. Pihak Imigrasi tidak salah, sebab mereka hanya menegakkan aturan. Siapa pun warga negara asing yang memasuki wilayah RI mesti mematuhi hukum keimigrasian yang berlaku.
Penyanyi asal Filipina, Christian Bautista, juga pernah mengalami hal serupa. Ia dideportasi dari Indonesia lantaran menyalahgunakan visa. Pada 2012, Christian menggunakan visa kunjungan singkat selaku turis, tetapi ia malah tampil mengisi acara di sebuah stasiun televisi.
Pada awal 2021, seorang turis asal Amerika Serikat menjadi sorotan warganet Indonesia. Kristen Grey namanya. Masuk ke tanah air dengan menggunakan visa kunjungan turis, ternyata bikin bisnis desain grafis. Sudah itu, ia mengajak WNA lain untuk datang ke Bali lewat "jalan belakang".
Sergei Kosenko, bule asal Rusia, pernah pula merasakan getirnya dipulangkan secara paksa ke negara asalnya. Ia petantang-petenteng di Bali. Sebuah motor sengaja ia buang ke laut. Videonya viral di media sosial. Warganet Indonesia yang ramah ternyata anti pada turis yang songong.
Semula, istilah jalan tikus hanya digunakan sebagai varian untuk 'jalan yang kecil-kecil di pedusunan atau pengunungan'. Lambat laun, gang-gang sempit di kota-kota pun disebut jalan tikus. Jika terkena macet, pengendara bisa mengambil jalan tikus.
Biasanya, orang menggunakan jalan tikus biasanya karena ingin cepat sampai ke tempat tujuan. Bisa juga lantaran menghindari kejaran atau pantauan aparat hukum. Ambil contoh, kala polisi melakukan razia, pengemudi sepeda motor mengambil jalan tikus untuk menjauhi polisi.
Itu pula sebabnya jalan tikus sering dipadankan dengan jalan pintas. Dalam makna sebenarnya, jalan pintas berarti 'jalan yang lebih dekat agar cepat sampai ke tempat tujuan'. Adapun makna kiasnya adalah 'cara bertindak yang tidak mengikuti aturan'. Bisa jadi terobosan, bisa pula berupa pelanggaran.
Terkait jalan dan pelanggaran, kita juga mengenal istilah jalan belakang. Jalan ini lazim dipakai untuk mencapai sesuatu dengan tidak menggunakan saluran resmi atau melanggar prosedur yang sebenarnya. Masuk bekerja di kantor tertentu, misalnya, terkadang menggunakan jalan belakang atas bantuan dan petunjuk orang dalam.
Ada juga istilah jalan serong. Wah, jalan ini setingkat lebih busuk di atas jalan belakang dan jalan tikus. Dalam arti sebenarnya, jalan serong bermakna 'jalan yang tidak lurus'. Dalam makna kias, jalan serong berarti 'perbuatan yang curang, tidak jujur, atau tidak sebagaimana mestinya'.
Memasuki negara lain berarti bersiap mematuhi aturan di negara yang dimasuki. Mau tidak mau harus begitu. Kalau melanggar, biasanya dideportasi. Adapun makna kasar deportasi adalah 'pengusiran dari wilayah hukum negara tertentu'. Namanya juga diusir, pasti ada asap sehingga api tersulut.
Lukas Enembe, misalnya. Beliau seorang pejabat negara. Kedudukannya sangat strategis. Selaku Gubernur Papua, ia mestinya paham seluk-beluk menyeberangi perbatasan negara. Sisik meliknya pasti mudah dilacak. Bikin malu satu negara jikalau seorang gubernur tidak paham aturan keimigrasian.
Mengapa bikin malu negara? Sebab, Lukas seorang pejabat. Sekalipun tujuannya menyeberang ke Papua Nugini untuk terapi atas penyakit yang tidak ia ungkapkan, caranya memasuki negara lain sangat tidak bermartabat.
Lukas memakai jalan tikus agar tiba di Vanimo tanpa diketahui oleh pejabat imigrasi Indonesia dan Papua Nugini. Artinya, Lukas ingin mengelabui dua negara. Kelakuan sedemikian tidak etis ditunjukkan oleh seorang pejabat. Apa pun alasannya, apa pun pemicunya.
Lain halnya dengan Lee Jong Suk. Artis drakor tersohor itu datang ke Indonesia karena undangan penyelenggara jumpa penggemar. Penyelenggara mestinya berhati-hati agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Salah visa, misalnya. Kalau benar mau jumpa fan, ambil visa kerja.
Adapun Lukas, beda perkara. Ia naik ojek dari Pasar Skouw. Berboncengan tiga pula. Sudahlah menyeberang secara ilegal, melanggar jumlah penumpang motor pula. Untung kalau memakai helm. Kalau tidak, makin memalukan. Faktanya, ia dideportasi oleh pihak imigrasi Papua Nugini.
Pertanyaannya sekarang: kalau memang ingin berobat, mengapa Lukas harus mengambil jalan tikus? Jika merasa tidak bersalah apa-apa, mengapa ia mesti memilih jalan serong? Kalau merasa benar, kenapa harus lewat jalan belakang?
Ah, sudahlah. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H