Bom bunuh diri. Tiga kata itu masih lekat dalam ingatan. Peristiwa mengerikan terjadi beberapa hari lalu. Minggu, 28 Maret 2021. Pelakunya masih muda. Pengantin baru pula. Mereka bunuh diri di pintu gerbang Gereja Katedral Makassar.
Tiga hari kemudian, Rabu (31/3/2021), seorang perempuan beraksi. Ia lontarkan peluru di Mabes Polri. Sungguh tindakan penuh nyali. Bagai sudah hilang akal dan hati nurani. Benar-benar cari mati. Dalam sebuah video pendek yang beredar lepas di media sosial, ia terkapar. Mati.
Pasangan pengantin baru di Makassar sama-sama tewas dimakan bom sendiri. Pelaku teror di Mabes Polri mengalami nasib berbeda. Jika yang perempuan diberondong peluru, yang laki-laki terhenti dibekuk polisi. Persamaan pelaku: sama-sama masih muda.
Alangkah menyedihkan. Mereka masih muda. Mereka terjebak ambisi semu, terbuai iming-iming surga, lalu terpikat mencelakai orang lain. Mula-mula terbujuk geng teroris berkedok kelompok kajian, kemudian terperangkap doktrin mengerikan: darah orang lain halal.
Sangat disayangkan. Mereka mati muda, tetapi sia-sia. Andaikan mereka menyempatkan waktu, beberapa jenak saja, membaca kisah anak-anak muda melawan Belanda, mereka mungkin akan berpikir panjang untuk menghabisi nyawa sendiri.
Alih-alih suci, otak mereka yang sudah “dicuci” malah terkotori oleh niat jahat.
***
Salmah Suhartini Saelan namanya. Ia masyhur dengan nama Emmy Saelan. Basse Daeng Kebo’, begitu ia disapa oleh teman-teman seperjuangan. Dari penjajah Belanda, ia menerima sebutan khusus: Onrutstoker alias Si Pembuat Onar.
Emmy lahir pada 15 Oktober 1924 di sebuah kampung di Desa Malangke, Luwu, Sulawesi Selatan. Putri sulung dari pasangan Amin Saelan dan Sukamti itu mati muda. Baru 23 tahun. Ia gugur pada 23 Januari 1947 saat berperang melawan tentara Belanda.
Sinansari Ecip menceritakan kisah Emmy Saelan lewat Jejak Kaki Wolter Mongisidi. Kala itu, pukul 10 pagi, ratusan serdadu KNIL menyerbu markas gerilyawan di Kassi-Kassi. Mereka tiba bersama kendaraan lapis baja.
Gerilyawan terdesak. Wolter Mongisidi memerintahkan pasukannya agar segera mundur. Emmy terus memberondong musuh. Satu demi satu rekannya tumbang. Ia terdesak. Ia melontarkan sebuah granat ke arah tentara Belanda. Granat itu meledak dan menerpa tubuhnya.
***
Robert Wolter Mongisidi. Nama marganya kerap ditulis Monginsidi, padahal marganya Mongisidi (tanpa ‘n’ di antara huruf ‘i’ dan ‘s’). Bote’, begitu ia sering disapa oleh rekan-rekan seperjuangan. Kendatipun masih muda, teman-temannya di Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) mengenalnya sebagai remaja bernyali.
Bote’ lahir pada 14 Februari 1925 di sebuah pesisir di Desa Bantik Minanga, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Putra keempat dari empat bersaudara. Ayahnya Petrus Mongisidi, ibunya bernama Lina Suawa. Selepas Indonesia merdeka, ia kembali ke Makassar.
Laki-laki muda perancang strategi perang gerilya itu, pada 28 Februari 1947, tertangkap oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA). Namun berkat bantuan teman seperjuangan, ia lolos dari bui. Syahrir Kila mengisahkan perjuangan Bote dalam buku Kelaskaran 45 Sulawesi Selatan.
Tersebutlah pada 27 Oktober 1947, teman-teman Bote memasukkan dua buah granat ke dalam roti. Dari roti isi granat itulah Bote melarikan diri dari terungku. Granat diledakkan. Musuh kacau balau. Bote dan kawan-kawan meloloskan diri lewat lubang cerobong asap.
Kisah heroik Bote’ berakhir pada 5 September 1949. Belanda sudah memberinya keringanan. Ia hanya perlu mengajukan grasi, selembar nyawanya akan diampuni. Namun, Bote menolak. Ia pilih mati demi Indonesia. Ia gugur dihantam peluru eksekutor.
***
Emmy Saelan gugur ketika berusia 23 tahun. Robert Wolter Mongisidi mangkat saat berumur 24 tahun. Mereka berdua mati muda. Soal nyali, jangan ditanya. Soal strategi, jangan sangsi. Namun, mereka harus rela menemui Malaikat Maut demi Ibu Pertiwi.
Adapun pasangan muda di Makassar yang meledakkan bom bunuh diri juga masih muda. Mereka juga sangat bernyali. Namun, mereka mengejar sesuatu yang semu. Mereka memburu ambisi kelompok teroris. Soal nyali, jangan ditanya. Soal strategi, sungguh durjana.
Jangan sangka mereka menyerang dengan modal nekat. Tujuan utama mereka bukan seberapa banyak “musuh” yang meninggal, bukan itu. Mereka hanya ingin menyebar rasa takut. Mereka cuma ingin menunjukkan bahwa mereka bisa beraksi sekalipun di tempat ramai.
Tiada berbeda dengan pelaku teror di Mabes Polri. Target mereka bukanlah seberapa banyak polisi yang meninggal, bukan. Mereka hanya menunjukkan nyali bahwa menerobos barikade polisi atau tentara bisa mereka lakukan. Mereka unjuk gigih untuk unjuk gigi.
Jangan duga mereka menyerang asal-asalan, jangan! Mereka memang terlihat serampangan. Padahal, tidak. Target mereka jelas, menebar ancaman. Sasaran mereka jelas, menyebar ketakutan. Mereka membidik dampak setelah pengeboman atau penembakan.
Sebelum mengebom atau menyerang, mereka sudah siapkan surat wasiat. Mereka menjemput maut dengan segala kesiapan. Nyawa bukan lagi sesuatu yang berharga bagi mereka. Berhasil menabur bibit ketakutan sudah cukup bagi mereka.
Jika geng teroris yang merekrut mereka terus dibiarkan merajalela, teror pasti terus terjadi. Kita akan terjebak dalam cengkeraman mereka. Polisi dan tentara mesti bersiaga. Penanggulangan teroris mesti dilakukan dengan terukur dan terencana.
Sekarang juga. Bukan nanti atau kapan-kapan.
***
Andai mereka, teroris milenial itu, membaca kisah Emmy Saelan dan Robert Wolter Mongisidi. Aih, namanya juga berandai-andai. [kp]
Silakan klik:
- Kisah Panjang Terorisme Berkedok dan Bermotif Agama
- Petuah Leluhur dan Bom Bunuh Diri di Gerbang Katedral Makassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H