TERSEBUTLAH KISAH seorang tentara. Letnan Khalid al-Islambuli. Ia anggota organisasi al-Jihad di Mesir. Ia bertugas memimpim kelompok kecil untuk membunuh Presiden Anwar Sadat. Pada 6 Oktober 1981, setelah menghamburkan peluru ke tribune kehormatan tepat ke arah Anwar Sadat, Khalid berteriak lantang.
"Nama saya adalah Khalid al-Islambuli. Saya telah membunuh Fir'aun (Sadat). Dan, saya tidak takut mati," ujar Khalid, sebagaimana diungkap oleh Gilles Kepel dalam Muslim Extremism in Egypt: The Prophet & Pharaoh (1985:192).
Pembunuhan Perdana Menteri Indira Gandhi. Pembunuhan itu dilakukan pada 31 Oktober 1984. Pelakunya, dua orang pengawal Indira Gandhi yang beragama Sikh. Motif utama Satwant Singh dan Beant Singh adalah mendirikan negara agama di Punjab. Selain itu, balas dendam. Pada Juni 1984, tentara India menyerbu Kuil Emas (The Golden Temple) di Amritsar.
Seorang serdadu Israel, teroris bermotif Yahudi, menembaki penjaga Masjid al-Aqsha. Peristiwa itu terjadi pada 11 April 1982. Dua penjaga masjid wafat akibat serangan teror itu. Beberapa hari kemudian ricuh terpicu. Sembilan orang warga Palestina meninggal. Sebulan kemudian, 6 Mei 1982, teroris dari gerakan Khaka, Israel, berusaha meledakkan Masjid al-Aqsha. Untung saja aksi teror itu berhasil digagalkan.
Kisah teror terjadi pada 20 Maret 1995 di Tokyo. Pelakunya, Aum Shinrikyo, satu kelompok yang menggabungkan ajaran Buddha, Hindu, dan Kristen. Kelompok itu menyebarkan gas sarin di kereta api bawah tanah di Tokyo. Sebanyak 12 orang tewas dan sekira 5000 orang terluka.
Rangkaian tindakan terorisme juga pernah menghantui warga Amerika Serikat. Serangkaian teror dilakukan oleh anggota Christian Identity dan sekte lain selama satu dekade. Pada kisaran 1980-an hingga 1990-an rakyat Amerika Serikat dikejar rasa cemas.
Satu lagi, 4 November 1995. Seorang pemuda bersekte Yahudi ekstrem, Yigal Amir, membunuh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Bruce Hoffman dalam Inside Terrorism (1998:89) mengurai alasan Yigal.
"Saya bertindak sendirian atas perintah Tuhan," ujar Yigal kepada polisi, "dan saya tidak menyesal."
***
TERORIS bisa beragama apa saja. Teroris bisa memeluk agama apa saja. Akan tetapi, ketika ia melakukan kejahatan berupa teror, agama yang dianutnya tidak bisa dianggap biang kerok. Jika agamanya yang salah, penganut agama yang sama pasti akan melakukan kejahatan serupa.
Teror atau kekerasan, baik menelan korban nyawa maupun harta benda, bukan sesuatu yang baru terjadi. Sejak zaman Nabi Adam sudah ada peristiwa teror. Belakangan ini, kekerasan itu kerap diakui oleh pelakunya sebagai kekerasan bermotif agama.
Oleh karena itu, teroris dan terorisme tidak bisa dipisahkan dari agama. Memang jelas bahwa biang keladi terorisme bukan agama, tetapi taktis dan teknis menyampaikan ajaran agama bisa menggiring penganutnya melakukan teror.
Sebanyak 16 dari 49 kelompok teroris yang aktif pada tahun 1995 merupakan teroris keagamaan. Setahun kemudian, 1995, jumlah kelompok teroris kian menjamur hingga mencapai 56 kelompok aktif. Memasuki tahun 2000-an, kelompok teroris makin marak. Terdapat 32 kelompok teroris beraliran kiri, 24 kelompok teroris etnik-nasionalis dan etnik-separatis, dan 52 kelompok teroris keagamaan.
Mengapa agama bisa menjadi kedok atau motif terorisme?
James W. Jones, dalam Blood Tat Cries Out From the Earth: The Psychology of Religious Terrorism (2008:22), menjelaskan bahwa terorisme keagamaan tidak hanya dimotivasi oleh agama, tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Semua terorisme, bahkan terorisme keagamaan sekalipun, adalah fenomena yang multidimensi dan multifaktor.
Setakat itu Mark Sedgwick, melalui Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism (2004:795--796), mengatakan bahwa terorisme keagamaan, termasuk al-Qaeda, memunyai tujuan keagamaan sekaligus politik.
Kekerasan berbentuk terorisme terjadi ketika faktor agama menyatu dengan keadaan khusus yang bersifat politik, sosial, atau ideologis. Tatkala agama menyatu dengan ungkapan kekerasan dari aspirasi sosial, kebanggaaan pribadi, dan gerakan untuk mengadakan perubahan politik, maka terjadilah teror.
Mengapa terorisme yang berkedok atau bermotif agama mampu bertahan lama?
Itu soalan menarik. Agama merupakan kekuatan pendorong munculnya kekerasan berkategori terorisme. Begitu pendapat David Rapoport dalam Messianic Sanctions for Terror dalam Comparative Politics, Volume 20, No. 2 (Januari 1988:195--213).
Gerakan teroris, menurut Rapoport, bertahan dalam jangka waktu yang lama karena terpicu oleh semangat dan militansi keagamaan, meskipun harus menghadapi tantangan dan rintangan yang tidak kecil. Setidaknya ada tiga contoh sempalan yang dapat diajukan.
Komplotan Zealots-Sicaari, sekte dalam agama Yahudi, mampu bertahan selama 27 tahun. Sekte itu berkembang pada tahun 66 hingga 73 M. Kelompok Tugs, sebuah sekte dalam agama Hindu, berkembang dari abad ke-7 hingga abad ke-13. Tugs bertahan selama kurang lebih enam abad. Kelompok Assassins, sebuah sekte Syi'ah Ismaili, bertahan selama dua abad, yakni sejak tahun 1090 hingga 1275.
Jelaslah bahwa agama bukanlah khayalan belaka yang tidak mempunyai pengaruh terhadap perbuatan manusia. Agama malah digunakan oleh para pemimpin kelompok teroris untuk memanipulasi para pengikut mereka yang tidak terpelajar maupun terpelajar. Agama dijadikan motivasi yang rasional oleh teroris untuk melakukan terorisme.
Terorisme yang termotivasi oleh agama merupakan fenomena yang rasional. Fenomena itu sudah ada sebelum zaman modern. Fenomena itu dapat dipelajari dan dimengerti. Bagaimanapun, kita tidak bisa memungkiri bahwa agama menjadi sumber motivasi luar biasa yang dapat membuat laki-laki dan perempuan bersedia mengangkat senjata, membawa bom bunuh diri, bahkan membunuh orang, sekalipun harus mengorbankan jiwa.
Suka tidak suka, kita harus mengakui dan menerima fakta itu.
***
Bukan dalam rangka menyalahkan agama yang dianut pelaku, bukan. Kita perlu menggali penyebab terorisme hingga ke akar-akarnya. Kita perlu menelaah bagaimana agama diajarkan sehingga memicu perilaku teror. Setelahnya, mencari cara untuk mengantisipasi pembelajaran agama sedemikian.
Ajaran "merasa saklek sebagai yang paling benar" bisa menyulut kebencian kepada penganut agama lain. Apabila penganut suatu agama terus dicekoki kebencian, lambat laun dadanya jadi ceret tempat merebus air hingga mendidih. Lama-lama kebencian itu meluap, lalu melukai, atau bahkan membunuh pemeluk agama lain dianggap bukan kejahatan kemanusiaan.
Pemerintah dan organisasi keagamaan tidak usah bersikeras menyatakan bahwa agama dan terorisme tidak bertautan. Terorisme berkedok agama sudah ada sejak dahulu. Bukan "barang baru". Tidak hanya terjadi dalam satu agama pula, melainkan hampir menimpa seluruh agama.
Hal mendesak yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pemuka agama adalah bagaimana satu nilai dalam agama tidak diproduksi atau tidak digunakan untuk memprovokasi umat agar melakukan kekerasan yang melukai nilai kemanusiaan.
Pemerintah dan pemuka agama mendingan memikirkan cara untuk meredam rebaknya khotbah kebencian, khotbah yang menganjurkan pencapaian sakral dan abstrak, termasuk khotbah yang bertujuan politis atas nama perasaan "agama saya yang paling benar".
Terorisme mileniaristik atau terorisme yang tidak mempunyai tujuan duniawi juga mesti ditahan, ditangkal, dan diredam. Kita juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa ada tindakan teror yang manipulatif, seperti terorisme yang hanya mengejar keuntungan pribadi dan golongan.
***
Tak dinyana, sekawanan tikus menyusup ke dalam lumbung. Khrisna tidak perlu membakar habis lumbung padinya. Jika itu ia lakukan, keluarganya bisa dilanda ancaman kelaparan. Khrisna hanya perlu memperbaiki konstruksi lumbung agar jalan-jalan tikus tertutup semua, bukan merobohkan atau membakar lumbung.
Salam takzim, Khrisna Pabichara (Twitter/IG: @1bichara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI