Bukan dalam rangka menyalahkan agama yang dianut pelaku, bukan. Kita perlu menggali penyebab terorisme hingga ke akar-akarnya. Kita perlu menelaah bagaimana agama diajarkan sehingga memicu perilaku teror. Setelahnya, mencari cara untuk mengantisipasi pembelajaran agama sedemikian.
Ajaran "merasa saklek sebagai yang paling benar" bisa menyulut kebencian kepada penganut agama lain. Apabila penganut suatu agama terus dicekoki kebencian, lambat laun dadanya jadi ceret tempat merebus air hingga mendidih. Lama-lama kebencian itu meluap, lalu melukai, atau bahkan membunuh pemeluk agama lain dianggap bukan kejahatan kemanusiaan.
Pemerintah dan organisasi keagamaan tidak usah bersikeras menyatakan bahwa agama dan terorisme tidak bertautan. Terorisme berkedok agama sudah ada sejak dahulu. Bukan "barang baru". Tidak hanya terjadi dalam satu agama pula, melainkan hampir menimpa seluruh agama.
Hal mendesak yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan pemuka agama adalah bagaimana satu nilai dalam agama tidak diproduksi atau tidak digunakan untuk memprovokasi umat agar melakukan kekerasan yang melukai nilai kemanusiaan.
Pemerintah dan pemuka agama mendingan memikirkan cara untuk meredam rebaknya khotbah kebencian, khotbah yang menganjurkan pencapaian sakral dan abstrak, termasuk khotbah yang bertujuan politis atas nama perasaan "agama saya yang paling benar".
Terorisme mileniaristik atau terorisme yang tidak mempunyai tujuan duniawi juga mesti ditahan, ditangkal, dan diredam. Kita juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa ada tindakan teror yang manipulatif, seperti terorisme yang hanya mengejar keuntungan pribadi dan golongan.
***
Tak dinyana, sekawanan tikus menyusup ke dalam lumbung. Khrisna tidak perlu membakar habis lumbung padinya. Jika itu ia lakukan, keluarganya bisa dilanda ancaman kelaparan. Khrisna hanya perlu memperbaiki konstruksi lumbung agar jalan-jalan tikus tertutup semua, bukan merobohkan atau membakar lumbung.
Salam takzim, Khrisna Pabichara (Twitter/IG: @1bichara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H