Mengapa agama bisa menjadi kedok atau motif terorisme?
James W. Jones, dalam Blood Tat Cries Out From the Earth: The Psychology of Religious Terrorism (2008:22), menjelaskan bahwa terorisme keagamaan tidak hanya dimotivasi oleh agama, tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Semua terorisme, bahkan terorisme keagamaan sekalipun, adalah fenomena yang multidimensi dan multifaktor.
Setakat itu Mark Sedgwick, melalui Al-Qaeda and the Nature of Religious Terrorism (2004:795--796), mengatakan bahwa terorisme keagamaan, termasuk al-Qaeda, memunyai tujuan keagamaan sekaligus politik.
Kekerasan berbentuk terorisme terjadi ketika faktor agama menyatu dengan keadaan khusus yang bersifat politik, sosial, atau ideologis. Tatkala agama menyatu dengan ungkapan kekerasan dari aspirasi sosial, kebanggaaan pribadi, dan gerakan untuk mengadakan perubahan politik, maka terjadilah teror.
Mengapa terorisme yang berkedok atau bermotif agama mampu bertahan lama?
Itu soalan menarik. Agama merupakan kekuatan pendorong munculnya kekerasan berkategori terorisme. Begitu pendapat David Rapoport dalam Messianic Sanctions for Terror dalam Comparative Politics, Volume 20, No. 2 (Januari 1988:195--213).
Gerakan teroris, menurut Rapoport, bertahan dalam jangka waktu yang lama karena terpicu oleh semangat dan militansi keagamaan, meskipun harus menghadapi tantangan dan rintangan yang tidak kecil. Setidaknya ada tiga contoh sempalan yang dapat diajukan.
Komplotan Zealots-Sicaari, sekte dalam agama Yahudi, mampu bertahan selama 27 tahun. Sekte itu berkembang pada tahun 66 hingga 73 M. Kelompok Tugs, sebuah sekte dalam agama Hindu, berkembang dari abad ke-7 hingga abad ke-13. Tugs bertahan selama kurang lebih enam abad. Kelompok Assassins, sebuah sekte Syi'ah Ismaili, bertahan selama dua abad, yakni sejak tahun 1090 hingga 1275.
Jelaslah bahwa agama bukanlah khayalan belaka yang tidak mempunyai pengaruh terhadap perbuatan manusia. Agama malah digunakan oleh para pemimpin kelompok teroris untuk memanipulasi para pengikut mereka yang tidak terpelajar maupun terpelajar. Agama dijadikan motivasi yang rasional oleh teroris untuk melakukan terorisme.
Terorisme yang termotivasi oleh agama merupakan fenomena yang rasional. Fenomena itu sudah ada sebelum zaman modern. Fenomena itu dapat dipelajari dan dimengerti. Bagaimanapun, kita tidak bisa memungkiri bahwa agama menjadi sumber motivasi luar biasa yang dapat membuat laki-laki dan perempuan bersedia mengangkat senjata, membawa bom bunuh diri, bahkan membunuh orang, sekalipun harus mengorbankan jiwa.
Suka tidak suka, kita harus mengakui dan menerima fakta itu.
***